Minggu, 04 Juni 2017

Cinta Pertama

Jauh di masa lampau, aku kerap melihat ibuku menyibukkan diri di taman. Saat pagi, dengan penuh kesabaran dan ketelatenan, ia senantiasa membersihkan, memangkas, dan menyiram segala macam tanaman bunga di halaman rumah. Dan kala sore hari, kami sekeluarga sering melewatkan kebersamaan di taman itu, entah untuk sekadar bersantai, atau bercengkerama tentang kisah-kisah kami sehari penuh.
 
Semua gambaran itu, akhirnya sirna sejak dua bulan yang lalu. Di taman, aku tak lagi melihat ibuku seceria dahulu. Raut wajahnya tampak layu di antara bunga-bunga yang masih bermekaran di bawah pemeliharaanku. Tiap kali duduk di bangku taman, ia hanya akan berdiam diri, termenung, sambil mengusap-usap cincin pernikahan di jari manisnya. Atas semua itu, aku bisa memastikan, perubahan sikapnya terjadi setelah cinta pertamanya, ayahku, meninggal dunia.

Dan pada satu pagi, saat aku selesai mengurus tetumbuhan yang terhampar indah, aku pun menghampiri ibuku di bangku taman. Aku hendak mengobrol sekaligus mengikis kesedihannya yang mendalam. Ada ketidaksabaran di hatiku, melihat sikapnya yang tak juga berubah. “Apa satu bulan belum cukup bagi Ibu untuk mengikhlaskan kepergian Ayah?” Aku bertanya lugas, sedikit segan.

Ia sontak menoleh padaku. “Itu tak mudah, Nak. Bagimana pun juga, rasa cinta antara kita dan dia, tak akan menghilang begitu saja,” katanya, dengan mata yang berkaca-kaca. “Aku selalu merindukan kebersamaan kita dahulu. Jika saja itu masih mungkin.”

“Aku paham, Bu. Tapi setidaknya, kesedihan jangan sampai membuat Ibu lupa untuk membangun masa depan. Bagaimana pun juga, aku yakin, Ayah tak akan pernah menginginkan kita bersedih sepanjang waktu kepergiannya,” kataku, kemudian bertutur sedikit lancang, “Jika aku bisa setabah ini, ibu juga harus bisa. Ada baiknya jika kita berdoa untuknya ketimbang terus-terusan bersedih, Bu.”

Sorot matanya, menatapku semakin tajam. Kuduga, ia tersinggung atas nasihatku, dan amarahnya akan meluap. Tapi ketakutanku, salah. Ia bisa mengerti maksud perkataanku. “Ya. Kau benar. Tapi aku butuh waktu, Nak,” katanya.

Selepas itu, aku diam saja, sambil mengkhayalkan betapa dalamnya luka yang ditorehkan cinta yang dalam. Bias-bias tanya, muncul juga di benakku, tentang apa gunanya kita mencintai jika akhirnya perpisahan yang pasti, akan membuat kita bersedih setengah mati.

Setelah terdiam beberapa saat, ibuku  pun mengalihkan pembicaraan pada topik yang lain. “Nak, umurmu sudah hampir tiga puluh tahun. Sudah waktunya kau menikah,” katanya, dengan satu senyuman yang kaku. “Kau tahu sendiri, kondisiku tak akan selalu baik seperti sekarang. Aku takut jikalau aku pergi menyusul Ayahmu, sedangkan kau belum juga menemukan pendamping hidup.”

Lagi-lagi, aku semakin tak habis pikir, bagaimana ibuku yang terluka karena cinta, menginginkan aku menuju luka yang sama. Jelas saja, aku sulit menerima nasihat itu, “Bu, mencari dan menemukan seorang pendamping hidup, tak semudah membalik telapak tangan. Kurasa, ibu sendiri yang pernah menasihatiku untuk mencari pendamping hidup dengan baik,” melasku, kemudian lekas memuji, “Sulit mencari wanita sebaik Ibu.”

Seketika, senyuman ibuku terlihat lebih menawan. Sesaat, kekakuan di wajahnya, tampak sirna. “Kau hanya perlu menjadi lelaki sebaik Ayahmu,” pesannya.
 
Aku tersenyum saja.

Akhirnya, obrolan pagi itu berakhir. Aku masih dengan kebekuan hatiku tentang cinta, sedangkan ibuku masih dengan kenangan indahnya tentang cinta.

Tak terasa, waktu cepat berlalu, hingga sampailah aku di keadaan seorang diri. Setelah ditinggal pergi sosok ayah, kini, ibuku pun menyusul. Ia meninggal dengan duka hatinya yang tak kunjung sirna. Rasa sedih dan sepi, akhirnya menghujam perasaanku begitu dalam. Tapi, aku bersyukur, bahwa cukuplah aku yang berkabung ditinggal seorang diri. Aku bersyukur, sebab ibuku tak perlu merasakan kehilangan yang mendalam untuk kedua kalinya.

Kini, di tengah kesendirian, kukecap lagi harapan dan nasihat ibuku yang tak sempat kuwujudkan: tentang pendamping hidup. Tapi sekuat apa pun keadaan meruntuhkan anggapanku tantang candunya racun cinta, tetap tak mengubah apa-apa. Sampai saat ini, aku masih saja dengan sikap yang sama. Aku masih betah sendiri. Aku belum berhasrat menjatuhkan perasaan pada seorang wanita. Tidak kepada siapa pun, sebab aku mengerti bahwa cinta pasti berujung luka.

Sungguh, aku mengerti pahitnya mencintai dan dicintai begitu dalam dan buta-buta. Aku tahu itu dari kisah ayah dan ibuku. Sepeninggal ayah, ibuku terus hidup dengan duka yang meresap di hatinya. Ia tak bisa bangkit lagi. Padahal jika aku jadi dia, aku tak akan mengambil sikap yang sama, sebab aku selalu ragu ada cinta yang benar-benar sejati. Selalu banyak rahasia yang menyelubungi kata cinta yang manis.

Seketika, aku teringat lagi atas sebuah rahasia antara aku dan ayahku. Satu rahasia besar yang tersembunyi dari ibuku. Rahasia itu kuketahui menjelang kematian ayahku.

“Nak, aku ingin menitip pesan padamu, yang tak mungkin kutitipkan kepada yang lain, bahkan pada Ibumu,” kata ayahku, terbata-bata.

“Apa Ayah? Katakana saja,” pintaku.

Dengan napas yang tersengal-sengal, ia kemudian menerangkan, “Maafkan aku, Nak. Kau bukanlah anakku satu-satunya. Sejujurnya, aku telah menikah dengan seorang wanita yang lain. Aku memiliki seorang anak darinya, seorang perempuan, saudarimu sendiri.”

Waktu itu, aku sungguh kaget dan tak percaya. Tapi melihat keadaannya yang memprihatinkan, rasa iba, mampu juga meredam semua jenis perasaanku yang lain padanya.

“Aku mohon sepeninggalku, kau harus  bertemu dengannya. Bagaimana pun juga, kalian bersaudara. Aku ingin kalian saling menjaga,” pintanya, lalu menerangkan alamat rumah istri keduanya; istri rahasianya.

Atas rahasia besar itu, juga atas kesedihan yang mengantarkan ibuku menuju kematian, aku mengerti bahwa cinta hanya tentang tinggal-meninggalkan, luka-melukai, khianat-mengkhianati. 

Namun, kesimpulan itu belum benar-benar membunuh benih cintaku. 

Hingga, di waktu yang lalu itu pula, kala cintaku sedang mekar-mekarnya pada seseorang wanita, kutelusurilah alamat yang diberikan ayahku. Hingga akhirnya kutemukan sebuah kenyataan pahit, bahwa seseorang yang selama itu kudambakan menjadi mendamping hidup adalah saudara kandungku sendiri. 

Sejak saat itu, cinta pertamaku terenggut dan harus terbunuh. Setelahnya, aku tak ingin lagi mengenal cinta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar