Belum
genap enam bulan menikah, hubungan Juno dan Santi, mendingin. Mereka tak lagi
mengobrol sehangat dahulu. Santi jadi suka berdiam diri, sedangkan Juno tak
enak hati mengganggu. Ada kepedihan yang terpendam di hati Santi, sedangkan
Juno tak berhasrat lagi menyelidik. Entah berapa kali sudah Juno bertanya
tentang masalah itu, tapi Santi hanya bungkam.
Di
tengah kekhawatirannya, Juno menduga, istrinya cuma butuh waktu untuk melupakan
peristiwa tragis yang baru saja terjadi. Satu kejadian yang tentu memilukan bagi
setiap wanita sejati. Tepat sebulan yang lalu, Santi keguguran. Mimpi menimang
bayi yang menggemaskan, pupus seketika. Padahal, kehendak untuk memiliki anak
segera, telah digadang-gadang di awal pernikahan.
Sejak
kehilangan bakal bayi, Santi mulai memperlihatkan gelagat aneh. Ia sering
murung dengan beban pikiran yang hanya diketahuinya sendiri. Juga meracau tak
jelas, seakan mengobrol dengan makhluk tak kasat mata. Bahkan ia kerap
melanglang ke segala penjuru kampung, sampai lupa waktu dan jalan pulang. Karena
lakunya itu, warga kampung mencapnya gila, tapi Juno tak merisaukan.
Malam
ini, Santi semakin mengganas. Tak hanya meracau, ia juga meronta-ronta, sampai suara
dentuman-dentingan kasurnya, terdengar di telinga Juno. Sang suami yang terpaksa
tidur di kamar sebelah setelah sikap Santi tak bersahabat, bergegas mengecek
apa yang terjadi. Dan seketika, dilihatnyalah sebuah keanehan: Santi menggila
dengan mata tertutup, seperti dihantui mimpinya sendiri.
“Bu,
sadar!” tegas Juno, sembari menggenggam erat tangan sang istri yang
terus-terusan mencakar wajahnya sendiri.
Tak
berselang lama, Santi pun menyibak matanya. Perlahan-lahan, ia meredakan
sikapnya yang liar. “Anak kita, Pak… Anak kita dicuri setan!” katanyanya,
kalap, dengan wajah yang kini dihiasi bekas cakaran.
Juno
jadi semakin prihatin. “Sudahlah, Bu. Jangan berpikir aneh-aneh. Ikhlaskan saja
apa yang telah terjadi,” nasihatnya, sambil membelai rambut istrinya yang
kusut.
“Apa?
Semudah itu Bapak bilang?” bentak Santi.
Juno
tetap menanggapi dengan kelemah-lembutan, “Bukan begitu maksudku, Bu. Aku juga
sedih kita tak jadi punya anak. Tapi kita harus menerima kenyataan kalau…”
“Kalau
aku telah keguguran!” sela Santi seketika. “Kalau saja Bapak jadi suami yang
bertanggung jawab, yang mendampingiku selama masa kehamilan dengan baik, aku
yakin semua ini tak akan terjadi. Tapi Bapak malah keluyuran entah ke mana, entah
dengan alasan pekerjaan kantorlah, apalah.”
“Tapi
aku melakukan semua itu untuk Ibu dan bakal anak kita,” tegas Juno.
“Aku
tak percaya! Atau Bapak punya wanita simpanan yang lain? Aku sudah tak cantik
lagikah di mata Bapak?” tuduh Santi dengan wajah menyolot.
“Apa
Ibu bilang?” balas Juno dengan nada suara yang tak terkendali. Tapi ia segera
sadar bahwa amarah istrinya tak akan mereda jika ditanggapi dengan amarah juga.
“Aku tak akan bermain serong, Bu. Sungguh, tak ada yang lebih cantik daripada Ibu,” suaranya merendah lagi. “Maafkan
aku kalau begitu, Bu. Aku memang salah. Tapi aku janji, aku tidak akan
mengulanginya jika Ibu hamil lagi.”
Mendengar
kalimat penyesalan dari sang suami, perasaan Santi pun meluluh. Sedikit demi
sedikit, ia berusaha meredakan kegilaannya. Ada keyakinan mulai bersemi dalam
dirinya, bahwa sang suami tak akan pernah tahu kalau ia telah membawa bakal
bayi dalam pernikahan mereka, sebuah pernikahan yang disegerakan atas desakannya di awal
perkenalan. Suaminya juga tak akan tahu, bahwa ia pulalah setan yang telah
menumbalkan sang bakal bayi untuk nama baiknya sendiri.
“Bu, yakinlah, rasa sayangku tak akan berkurang sepanjang waktu,” tutur Juno, sembari memeluk sang istri, tanpa ada
kecurigaan kalau ia telah didustai untuk ke sekian kalinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar