Kamis, 25 Mei 2017

Tumbal

Belum genap enam bulan menikah, hubungan Juno dan Santi, mendingin. Mereka tak lagi mengobrol sehangat dahulu. Santi jadi suka berdiam diri, sedangkan Juno tak enak hati mengganggu. Ada kepedihan yang terpendam di hati Santi, sedangkan Juno tak berhasrat lagi menyelidik. Entah berapa kali sudah Juno bertanya tentang masalah itu, tapi Santi hanya bungkam. 
 
Di tengah kekhawatirannya, Juno menduga, istrinya cuma butuh waktu untuk melupakan peristiwa tragis yang baru saja terjadi. Satu kejadian yang tentu memilukan bagi setiap wanita sejati. Tepat sebulan yang lalu, Santi keguguran. Mimpi menimang bayi yang menggemaskan, pupus seketika. Padahal, kehendak untuk memiliki anak segera, telah digadang-gadang di awal pernikahan.

Sejak kehilangan bakal bayi, Santi mulai memperlihatkan gelagat aneh. Ia sering murung dengan beban pikiran yang hanya diketahuinya sendiri. Juga meracau tak jelas, seakan mengobrol dengan makhluk tak kasat mata. Bahkan ia kerap melanglang ke segala penjuru kampung, sampai lupa waktu dan jalan pulang. Karena lakunya itu, warga kampung mencapnya gila, tapi Juno tak merisaukan.

Malam ini, Santi semakin mengganas. Tak hanya meracau, ia juga meronta-ronta, sampai suara dentuman-dentingan kasurnya, terdengar di telinga Juno. Sang suami yang terpaksa tidur di kamar sebelah setelah sikap Santi tak bersahabat, bergegas mengecek apa yang terjadi. Dan seketika, dilihatnyalah sebuah keanehan: Santi menggila dengan mata tertutup, seperti dihantui mimpinya sendiri.

“Bu, sadar!” tegas Juno, sembari menggenggam erat tangan sang istri yang terus-terusan mencakar wajahnya sendiri.

Tak berselang lama, Santi pun menyibak matanya. Perlahan-lahan, ia meredakan sikapnya yang liar. “Anak kita, Pak… Anak kita dicuri setan!” katanyanya, kalap, dengan wajah yang kini dihiasi bekas cakaran.

Juno jadi semakin prihatin. “Sudahlah, Bu. Jangan berpikir aneh-aneh. Ikhlaskan saja apa yang telah terjadi,” nasihatnya, sambil membelai rambut istrinya yang kusut.

“Apa? Semudah itu Bapak bilang?” bentak Santi.

Juno tetap menanggapi dengan kelemah-lembutan, “Bukan begitu maksudku, Bu. Aku juga sedih kita tak jadi punya anak. Tapi kita harus menerima kenyataan kalau…”

“Kalau aku telah keguguran!” sela Santi seketika. “Kalau saja Bapak jadi suami yang bertanggung jawab, yang mendampingiku selama masa kehamilan dengan baik, aku yakin semua ini tak akan terjadi. Tapi Bapak malah keluyuran entah ke mana, entah dengan alasan pekerjaan kantorlah, apalah.”

“Tapi aku melakukan semua itu untuk Ibu dan bakal anak kita,” tegas Juno.

“Aku tak percaya! Atau Bapak punya wanita simpanan yang lain? Aku sudah tak cantik lagikah di mata Bapak?” tuduh Santi dengan wajah menyolot.

“Apa Ibu bilang?” balas Juno dengan nada suara yang tak terkendali. Tapi ia segera sadar bahwa amarah istrinya tak akan mereda jika ditanggapi dengan amarah juga. “Aku tak akan bermain serong, Bu. Sungguh, tak ada yang lebih cantik daripada Ibu,” suaranya merendah lagi. “Maafkan aku kalau begitu, Bu. Aku memang salah. Tapi aku janji, aku tidak akan mengulanginya jika Ibu hamil lagi.”

Mendengar kalimat penyesalan dari sang suami, perasaan Santi pun meluluh. Sedikit demi sedikit, ia berusaha meredakan kegilaannya. Ada keyakinan mulai bersemi dalam dirinya, bahwa sang suami tak akan pernah tahu kalau ia telah membawa bakal bayi dalam pernikahan mereka, sebuah pernikahan yang disegerakan atas desakannya di awal perkenalan. Suaminya juga tak akan tahu, bahwa ia pulalah setan yang telah menumbalkan sang bakal bayi untuk nama baiknya sendiri.

Bu, yakinlah, rasa sayangku tak akan berkurang sepanjang waktu,” tutur Juno, sembari memeluk sang istri, tanpa ada kecurigaan kalau ia telah didustai untuk ke sekian kalinya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar