Selasa, 09 Mei 2017

Terluka Luka

Rona bahagia, tak henti-hentinya terpancar dari wajah Liana. Dua hari lagi, ia akan mengakhiri masa lajangnya. Menikah dengan Rinto, seorang lelaki yang telah lama menduda. Tak sedikit pun ia memedulikan bisik-bisik tetangga yang terus mencibir keputusannya. Malah, gadis desa yang cantik jelita itu, dengan senang hati menerima pinangan seorang lelaki berusia kepala tiga, yang lebih tua 15 tahun darinya.
 
Pantaslah jika dikatakan Liana tengah dibutakan cinta. Diserang sebuah perasaan yang tak bersandar pada kekaguman tampilan fisik semata, melainkan pada laku bajik yang tak ternilai. Begitulah kenyataanya. Apalagi, semua orang tahu, hati Liana luluh pada Rinto seusai lelaki penyendiri itu melakukan sesuatu yang sangat berharga untuknya: menyelamatkan nyawanya.

Dua bulan lalu, kisah heroik itu terjadi. Tepatnya, di satu sore yang hampir berlalu. Kala itu, Liana tengah menuruni bukit seusai mengurus ladang sayur-mayur milik ibunya yang telah menjanda. Dan tepat di tengah jalan setapak, seorang lelaki bertubuh gempal dan bertopeng, mencegatnya dengan tangan kosong. Sontak saja, Liana dibuat kaget dan takut, hingga tak ada pilihan lain selain menghindar.

Di antara semak-semak, di bawah cahaya mentari yang mulai remang, Liana pun berlari sekencang-kencangnya. Sebisa mungkin menjauh dari jangkauan si lelaki misterius, dan sampai di tengah perkampungan, segera. Namun tak sampai dua puluh meter, kakinya malah tersandung akar pepohonon. Ia terjatuh. Lelaki bertopeng itu pun, berdiri tepat di depannya.

Dalam kondisi terpojok, Liana mencoba membela diri. Dengan sigap, ia bangkit lalu menerjang si lelaki misterius dengan sebilah pisau. Serangannya berhasil mengenai lengan kiri si petopeng. Menyobek lengan bajunya, hingga tampaklah oleh Liana, sebuah tato bergambar bunga yang telah terhiasi luka yang dangkal. 

Atas tindakan Liana, lelaki itu pun, nekat bertindak beringas. Tanpa aba-aba, dihantamnya bagian leher Liana dengan secabang kayu, hingga tak sadarkan diri. Entah apa yang terjadi setelahnya, Liana tak tahu. Sampai akhirnya, ia tersadar berada di dalam sebuah rumah kecil, yang menyendiri di kaki bukit.

Hingga pada malam hari itu, di bawah terpaan cahaya pelita, Liana jadi kaget dan penuh tanda tanya atas apa yang disaksikannya. Ia tak habis pikir, bagaimana bisa, lelaki pendiam yang selama ini berpapasan dengannya di tengah jalan kala mendaki bukit menuju kebun, tiba-tiba berdiri di hadapannya.

“Apa yang hendak kau lakukan?” tanya Liana, ketakutan.

Lelaki itu, berjalan mendekat pada Liana. “Tenanglah. Aku tak bermaksud jahat padamu. Minumlah,” katanya, sambil menyodorkan segelas air putih.

Liana bergeser jauh, menuju ke sudut ruangan. Jelas saja ia masih ketakutan dan tak paham apa yang telah dialaminya. “Apa yang terjadi? Bagaimana aku bisa berada di sini?”

Lelaki itu berdeham. “Kau pasti sudah lupa. Tadi sore, ada seorang lelaki yang hendak berlaku bejat padamu,” katanya, sambil merekahkan satu senyuman yang terkesan kaku dan dipaksakan. “Untunglah, aku datang menyelamatkanmu tepat waktu.”

Diam-diam, Liana kembali menyusun rangkaian peristiwa di memorinya. Dalam sekejap, ia mulai mengingat kejadian itu. Perlahan-lahan, rasa takutnya pun menghilang, terhapus oleh laku lugu dan sopan seorang lelaki di hadapannya, yang kemudian ia tahu bernama Rinto.

Berawal dari peristiwa itulah, kisah cinta Liana, bermula. Hari demi hari, ia semakin seiring berpapasan dan mengobrol pendek dengan Rinto di kaki bukit. Dan seiring waktu, Liana merasa semakin jatuh hati. Begitu pun sebaliknya. Hingga dua bulan setelah peristiwa dramatis itu, Rinto datang meminangnya.

Dan menjelang hari pernikahan mereka esok lusa, pagi ini, Liana dan ibunya berkunjung ke rumah kecil Rinto. Mereka hendak berbicang dengan lelaki buruh tani itu, perihal persiapan pernikahan yang akan dihelat di tengah kampung, di kediaman Liana. Membahas tentang tamu-tamu yang akan diundang, juga tentang hidangan yang tepat untuk acara nanti.

Setelah menempuh perjalanan sekitar 15 menit, Liana dan ibunya pun, tiba di pekarangan rumah kecil Rinto. Sesampainya di sana, dalam hitungan detik, Liana masih sempat melihat lengan kekar calon suaminya yang tengah membelah kayu kering untuk perapian. Lengan yang diyakini Liana, persis dengan yang dilihatnya di hari yang tragis dua bulan lalu.

Kedatangan Liana dan ibunya yang tiba-tiba, sontak membuat Rinto kaget setengah mati. Calon suami Liana yang tengah bertelanjang dada itu pun, bergegas masuk ke dalam rumah. Bermaksud membereskan penampilannya. Dan tanpa menunggu waktu lama, ia kemudian muncul dan menyambut tamu pentingnya dengan setelan yang pantas. 

Tak sampai satu jam, perbincangan pun terjadi sedikit alot antara ibu Liana dengan Rinto. Mereka berbagi pendapat tentang sanak saudara yang akan jadi penyambut tamu pada acara pernikahan nanti. Sedangkan pada sisi yang lain, dengan sikap yang tak seperti biasanya, Liana hanya tertunduk di samping sang ibu, dengan raut wajah yang entah apa maknanya. 

Sampai perbincangan usai, sikap Liana masih saja sama. Murung.

Hari pun berganti.

Tepat sehari sebelum acara pernikahan, terjadilah hal yang tidak diduga-duga. Tanpa pamit, Liana pergi entah ke mana. Tak ada yang tahu keberadaanya. Bahkan tepat di hari pernikahannya, Liana tak kunjung datang. Ia menghilang dengan membawa rahasia besar yang diketahuinya seorang diri, mungkin juga Rinto.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar