Jumat, 12 Mei 2017

Tak Terganti

Segalanya telah dilakukan Jumadi untuk merebut hati istinya. Meski raga sang istri masih dalam pelukannya, tapi rasa dan pikiran wanita itu, melayang entah ke mana. Padahal, ia telah memberikan perhatian dan pengorbanan semaksimal yang ia bisa. Bahkan tak terhitung lagi berapa banyak harta-benda yang ia relakan untuk itu. Tapi tetap saja, sang istri, tak bisa berpaling kepadanya.
 
Jumadi benar-benar kehabisan akal. Ia tak tahu lagi, bagaimana meluluhkan hati istrinya yang membatu. Padahal, sang istri dahulu cuma anak nelayan miskin yang seharusnya mudah luluh atas segala macam kenikmatan dunia. Apalagi, banyak sudah perubahan yang dialami Jumilah setelah menikah dengannya. Tidak sekadar hidup dalam kemewahan, utang-utang keluarganya pun, telah diimpaskan oleh Jumadi.

Kalau begitu keadaannya, Jumadi akan kembali teringat pada sosok Landi, pemuda miskin yang selama bertahun-tahun menjadi buruh di kapal penangkap ikan miliknya, demi mencari uang pelunas utang. Pemuda yang datang dari pulau seberang itulah yang selama waktu berlalu, menaksir Jumilah, gadis desa yang cantik jelita. Dan sial bagi Jumadi, sebab Jumilah juga tergila-gila pada lelaki yang belaku santun dan lugu itu.

Bukti bahwa Landi menjadi dalang dari serongnya hati Jumilah, tampak dari sikap Jumilah sendiri. Sering kali, setiap sore, ia akan menghabiskan waktunya di tepi pantai, dengan hanya memandang tepian yang jauh di ujung timur. Ia tampak seperti menunggu seseorang kembali melaut. 

Dan sore ini, Jumilah kembali menampakkan kecenderungan hatinya. Ia kembali merenung di depan pantai, di atas sebuah balai-balai kecil, sambil menatap gulungan ombak sore yang meninggi dan membiaskan lembayung senja. 

“Kamu kenapa sayang? Sejak pernikahan kita, kau tetap saja seperti ini. Apa yang harus kulakukan untukmu?” tanya Jumadi, sesaat setelah duduk di samping istrinya.

Jumilah tak merespons dengan baik. Bahkan ia tak menoleh sedikit pun kepada sang suami.

“Kita kan sudah menikah. Kau istriku, dan aku suamimu. Kita seharusnya saling menyayangi dan saling berbagi cerita tentang masalah apa pun,” tutur Jumadi dengan lemah lembut. “Jika ada yang salah dengan hubungan kita, katakanlah.”

Jumilah seketika berpaling padanya. “Jadi, sampai sekarang, kau tak tahu apa yang salah?” bentaknya, dengan tatapan yang nanar. Jelas tampak kurang sopan. “Salahnya karena kau menikahiku, dan aku tak pernah mau menikah denganmu.” 

Perasaan Jumadi, lagi-lagi terguncang. Tapi tak mengapa baginya, sebab kata-kata semakna itu, sudah sering didengarnya. “Apa ada lelaki lain di hatimu?” tanya Jumadi lagi, masih dengan nada suara yang lemah lembut. “Apa karena Landi, lelaki yang sudah mati di tengah laut itu?”

Jumilah tak menjawab. Ia malah menampakkan kegusaran di raut wajah dan gerak-geriknya. Dan seketika, ia pergi meninggalkan suaminya, sembari menggerutu tak jelas.

Lagi-lagi, Jumadi merasa dipecundangi. Namun ia tak pernah kesal dan membenci istrinya karena begitu. Itu karena ia yakin kalau hanya butuh waktu untuk meluluhkan perasaan sang istri. Ia tahu, bahwa seiring waktu, Landi akan lenyap dari angan-angan Jumilah.

Dan kini, teringat lagi oleh Jumadi, sebuah kesepakatan terselubung antara ia dengan Landi:

“Jika kau ingin Jumilah hidup bahagia, tinggalkanlah dia untukku. Aku akan memberimu sejumlah uang jika kau mau,” tawar Jumadi.

Landi jelas kaget atas tawaran bosnya. Ia menggeleng. Menandakan bahwa ia tak mau perasaannya diperjualbelikan.

“Apa kau ingin memaksakan hidup bersama Jumilah, sedang kau tak punya bekal hidup yang mencukupi. Kau ingin Jumilah sengsara?” tegas Jumadi. “Jika kau bersedia, bukan hanya keluarga Jumilah yang akan hidup enak dan terbebas dari utang-utangnya, utang-utangmu padaku sekalian, biar kuanggap lunas.”

Jelas saja, itu bukan pilihan yang mudah bagi Landi. “Tapi bagaimana dengan Jumilah? Aku takut dia mencariku,” keluhnya.

“Itu masalah gampang. Besok ketika kapal pergi berlayar, kau tak usah ikut. Pulanglah ke kampungmu. Nanti, biar aku sampaikan saja ke teman-temanmu untuk mengabari Jumilah kalau kau jatuh dari kapal saat berada di tengah laut, lalu kau mati dimangsa binatang buas,” tutur Jumadi.

Landi tak menyanggah. Ia hanya terdiam. Sebuah tanda bahwa ia telah setuju.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar