Rabu, 31 Mei 2017

Kata-Kata Peninggalan

Semenjak ibuku pergi, menghilang entah ke mana, banyak perubahan pada diri ayahku. Sikapnya berubah jadi pemurung dan tak berselera lagi berbagi cerita. Ia hanya mengobrol untuk hal-hal penting. Fisiknya pun jadi tak terurus. Ia abai dengan penampilannya. Hingga rambut di sekitar wajahnya, tumbuh subur tanpa pernah dirapikan.
 
Sepintas, aku bisa memahami perubahan ayahku. Sebagai suami yang bertanggung jawab, wajar jika ia berduka kala ditinggal pergi sang istri. Apalagi, kutahu, kepergian sosok yang ia cintai, terjadi tanpa sebab yang jelas. Tentu butuh waktu yang lama untuk benar-benar menghapus rangkaian kenangan di benaknya. Bahkan tak ada jaminan kalau ia akan kembali hidup normal, seperti sedia kala.

Melihat keadaan ayahku, jelas membuatku prihatin. Karena itu, kasih sayangku padanya, semakin bertumbuh, di saat rasa benciku pada sosok ibu, juga semakin bertumbuh. Sebisa mungkin, aku meredakan pilu hatinya dengan sejumlah perhatian, meski ia sering kali menunjukkan ketidaksenangannya tiap kali aku khawatir secara berlebihan.

Sungguh, tak habis-habis kekagumanku pada sosok ayah. Walaupun telah disakiti, ia selalu meminta agar aku tak membenci perempuan yang menghianatinya, ibuku. Sikapnya memang berubah, tapi ia tak sedikit pun menampakkan kebencian atas ibuku yang telah pergi. Bahkan ia tampak menyalahkan dirinya sendiri atas perpisahan itu.

Di tengah kekalutan hatinya, ayahku masih dengan kebiasaan yang sama. Ia  tetap suka mengabiskan waktu di rumah seorang diri. Hanya duduk merenung di hadapan tumpukan kertas dan laptop. Bermesraan dengan buku-buku di ruang bacanya yang sempit, atau mengetik sesuatu di laptop yang tak kutahu apa.

Karena sosok ayah, hidup tanpa seorang ibu, kurasa bukan sebuah masalah. Keberadaan ayah, sudah cukup bagiku. Apalagi, kasih sayangnya padaku, tak pernah berubah-ubah. Meski hanya bekerja sebagai guru bahasa Indonesia berstatus honorer di sebuah sekolah dasar, ia tetap berusaha memenuhi kebutuhan hidup kami. Aku pun melakukan bakti yang serupa. Ringkasnya, kami berdua saling menyayangi.

Namun atas ketidakpeduliannya pada diri sendiri, fisik ayahku pun tumbang diserang penyakit. Keadaannya semakin memburuk dari hari ke hari. Apalagi, ia tak pernah peduli jika aku menyarankannya berobat secara intensif di rumah sakit. Ia pasrah saja dengan keadaan dirinya setiap waktu. Hingga, ia pun kalah. Tepat seminggu lalu, ia meninggal kerena komplikasi penyakit.

Kini, aku benar-benar hidup sendiri. Tapi aku tak ingin larut dalam kesedihan dan kesepian yang mendalam. Sebagaimana pesan ayahku, sedih dan sepi hanyalah hasil dari ketidakcerdasan kita memanfaatkan waktu. Karena itu, aku pun melakoni kebiasaan ayahku dahulu: menghabiskan waktu dengan buku-buku di ruang baca yang sempit, hingga lupa waktu

Kala tengah asyik membaca novel, sebuah kiriman pun sampai di rumahku. Awalnya kukira itu adalah kiriman untuk ayahku. Tapi setelah kuperiksa identitas sosok yang dituju, di sana tertulis jelas namaku. Maka kusibaklah bingkisan itu. Ternyata, isinya adalah buku, sebuah novel berjudul Rumah Kita. Dan betapa kegetnya aku, sebab di sampul novel itu, tertulis terang nama ayahku: Dorman Sumanji Aka.

Bersama rasa penasaran yang menggebu, kubacalah surat yang menyertai kiriman novel itu. Kueja pada sepenggal isi surat: Novel karya almarhum ayah Anda, telah menjadi novel terlaris tiga bulan ini. Kami dari penerbit, berharap anda bisa berbagi kisah tentang proses kreatif almarhum.

Dengan ketakjuban yang semakin meninggi pada sosok ayah, segera saja kulahap kata-kata gubahannya. Aku penasaran juga mengetahui apa yang selama ini ia tulis di dalam kesedihan dan kesendiriannya, setelah ibuku pergi tanpa pamit. Dan beberapa jam kemudian, kutahulah, karyanya itu berkisah tentang kehidupan kami sekeluarga. Setidaknya, aku bisa meyakini itu dari petunjuk yang terpampang di sampul novel: true story.

Betapa mengagumkannya kisah gubahan ayahku. Aku tak menyangka kalau ia bisa merangkai kata dan cerita semenarik itu. Tapi apa yang ia ceritakan, jauh berbeda dari yang kuketahui selama ini. Banyak rahasia baru yang terungkap di dalamnya. Dan kenyataan itu membuatku merasa bingung harus meyakini cerita hidupku dari mana.

Ringkasnya, ia berkisah tentang seorang lelaki yang ditinggal pergi istrinya. Alasannya pelik. Sang suami berkeras untuk mengungkap satu rahasia besar pada sang anak, sedangkan sang istri menolak. Rahasia besar itu tentang status seorang anak dalam keluarga mereka, yang sebenarnya bukan siapa-siapa; hanya anak adopsi. Terjadilah percekcokan yang berujung pada kepergian sang istri, seorang perempuan yang tak bisa mengandung anak sendiri.

Kini, aku merasa dilema. Bimbang, di antara hadir atau tidak pada acara bedah novel karangan ayahku sendiri. Aku bingung sendiri harus berkisah apa, di saat banyak rahasia yang masih belum kuketahui, apalagi kuyakini, tentang hubungan ayah dan ibuku, juga hubungan mereka denganku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar