Selasa, 09 Mei 2017

Kala DPR Mengangket KPK

Tepat di hari Jumat, tanggal 28 April, hak angket yang diusulkan 26 orang anggota DPR, dinyatakan diterima dalam sidang paripurna. Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah yang memimpin sidang hari itu, dengan sigap mengetok palu. Padahal, interupsi dan sorak-sorai dari peserta sidang masih bergemuruh. Imbasnya, 3 dari 10 fraksi di DPR pun, menarik diri dari ruang persidangan. Ketiganya adalah fraksi Partai Demokrat, Gerindra, dan PAN. Meski sebenarnya, oknum anggota fraksi Gerindra dan PAN, juga turut sebagai pengusul.
 
Keputusan DPR untuk mengangket KPK, tak pelak, menimbulkan polemik di tengah masyarakat. Tak sedikit yang menilai angket tersebut hanyalah untuk melemahkan atau setidaknya mengganggu kinerja KPK. Alasannya, hak angket disahkan seiring dengan bergulirnya pengusutan kasus megakorupsi proyek e-KTP yang mengakibatkan kerugian negara sebesar 2,3 triliun, dari total anggaran sebesar 5,9 triliun. Sebuah kasus yang melibatkan penyelengara negara dari cabang kekuasaan legislatif dan eksekutif, juga dari pihak swasta sebagai rekanan proyek.

Dugaan kalau hak angket hanya akal-akalan anggota DPR yang “kebakaran jenggot”, tidaklah mengada-ada. Pasalnya, kasus korupsi e-KTP, memang disinyalir melibatkan sejumlah anggota DPR. Dan titik terang terkait itu, terungkap setelah anggota DPR dari Partai Hanura, Miryam S. Haryani, ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK atas dugaan pemberian keterangan palsu dalam persidangan e-KTP. Melalui kesaksian Miryam, terkuaklah skenario korupsi berjamaah para anggota dewan, yang kemudian diduga menimbulkan keresahan bagi oknum tertentu. Terlebih lagi, Miryam diduga mengetahui secara detail aliran dana korupsi e-KTP.

Polemik korupsi proyek e-KTP kian memanas setelah dalam persidangan, Miryam mengaku mendapatkan tekanan dari penyidik KPK saat penyusunan BAP (Berita Acara Pemeriksaan). Ia lantas mencabut BAP-nya. Tapi penyidik KPK, Novel Baswedan, yang kemudian hari dihadirkan majelis hakim dalam persidangan, membantah alibi Miryam. Novel malah menyatakan kalau keputusan Miryam mencabut BAP, terjadi karena ia mendapat tekanan dari beberapa anggota dewan yang diduga terlibat,. Di antara nama-nama yang disebut itu adalah  Bambang Sosatyo, Aziz Syamsuddin, Desmond Mahesa, Masinton Pasaribu, dan Sarifuddin Suding.

Atas kenyataan yang terpampang di depan publik, penggunaan hak angket DPR terhadap KPK, akhirnya mendapat penolakan dari kalangan masyarakat yang khawatir atas masa depan KPK dan proses pemberantasan korupsi. Selain karena sarat dengan kepentingan politik, serta mendapat sokongan dari oknum yang paranoia terhadap KPK, hak angket itu juga dinilai, tidak sejalan dengan cita penegakan hukum dalam proses pemberantasan korupsi, bahkan dinilai melanggar aturan hukum. Setidaknya, dari kacamata hukum, legal atau tidaknya hak angket tersebut dapat dikaji dari beberapa persoalan pokok.

Pengambilan Keputusan Dipaksakan

Pengambilan keputusan dan pelaksanaan terkait hak angket, harus dilakukan sesuai dengan aturan hukum dan mekanisme kelembagaan yang demokratis. Artinya, hak angket tidak boleh lahir dari kehendak pribadi anggota DPR. Kerangka ini sejalan dengan Pasal 20A ayat (2) UUD Tahun 1945 yang mendudukkan hak angket sebagai hak DPR, bukan hak anggota DPR sebagimana disebut ayat (3) pada pasal yang sama.

Menindaklanjuti hak angket sebagai hak kelembagaan DPR, maka secara lebih rinci, Pasal 199 ayat (3) UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), sebagaimana telah diubah dengan UU No. 42 Tahun 2014, mempersyaratkan bahwa usulan hak angket yang diajukan minimal 25 orang anggota DPR dan lebih dari satu fraksi, baru dapat menjadi hak angket jika sidang paripurna dihadiri oleh lebih dari 1/2 anggota DPR, dan disetujui oleh lebih dari 1/2 dari anggota DPR yang hadir. Di sini, tampak bahwa demi menjamin hak angket sebagai aspirasi kelembagaan, maka sidang harus diputuskan setelah adanya persetujuan mayoritas.

Mengenai mekanisme pengambilan keputusan terkait persetujuan usul hak angket dalam UU MD3, memang tidak menyebut secara tegas, apakah melalui musyawarah mufakat atau mekanisme suara terbanyak (voting). Di sana, usulan hak angket hanya dipersyaratkan harus disetujui oleh lebih dari 1/2 anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna. Ini berarti, keputusan membutuhkan persetujuan mayoritas. Untuk itu, dapat dikatakan bahwa pengambilan keputusan selayaknya tidak dilakukan secara terburu-buru, agar dapat dicermati pendapat setiap anggota DPR yang hadir, dan untuk mengukur jumlah pihak yang setuju atau tidak setuju.

Melihat kenyataan bahwa dalam sidang paripurna, hak angket diketuk palu saat sejumlah anggota DPR masih menginterupsi, maka sulit untuk tidak mengatakan bahwa hak angket terkesan dipaksakan. Keputusan yang diambil pimpinan sidang dalam forum musyawarah yang tidak demokratis itu, jelas tak bisa dibenarkan sesuai aturan. Alasannya, tanpa adanya kebulatan pendapat atau mufakat, maka mustahil mengukur bahwa mayoritas peserta sidang telah memberikan persetujuannya. Padahal pengambilan keputusan terkait persetujuan hak angket mempersyaratkan persetujuan mayoritas.

Objek Angket Tak Masuk Akal

Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Komisi III DPR dengan KPK pada tanggal 17-18 April, menjadi momentum awal digulirkannya rencana hak angket. Dalam rapat tersebut, anggota DPR memberikan banyak masukan kepada KPK, yang secara umum terkait dengan transparansi pengelolaan keuangan, mamajemen kepegawaian, soliditas pimpinan, juga tentang kerahasiaan perkara yang tengah ditangai KPK. Pokok-pokok kritik dan saran tersebut, ditanggapi secara positif oleh pihak KPK. 

Namun pada ujung rapat, KPK juga mempermasalahkan terkait kisruh pencabutan BAP oleh Miryam yang ditengarai akibat adanya tekanan dari oknum anggota DPR, sebagaimana keterangan penyidik KPK di persidangan. Karena merasa tak terima dengan tudingan tersebut, komisi III pun meminta agar KPK transparan terkait proses pemeriksaan Miryam, bahkan meminta agar KPK membukanya secara gamblang. Namun berdasar pada alasan kepentingan dan kerahasiaan proses penyidikan, KPK menolak permintaan tersebut. Dan, di sinilah mulai menggaungnya usulan terkait hak angket.

Permintaan oknum anggota DPR agar rangkaian dan hasil dari proses penyidikan disampaikan secara terbuka, jelas merupakan sebuah permintaan yang tidak logis. Pada posisi ini, sikap KPK, jelas dapat dibenarkan. Bagaimana pun juga, proses penyidikan mengandung unsur kerahasiaan, yang menurut penyidik, penting untuk dijaga. Hal tersebut demi menjamin agar proses penyidikan berlangsung dengan lancar, tanpa hambatan dari pihak-pihak yang berkepentingan. 

Penyidik sebagai penegak hukum yang bersentuhan langsung dengan sebuah perkara, tentu memiliki otoritas untuk menilai dan menjaga kerahasiaan proses dan hasil penyidikan. Para penyidik berhak, bahkan berkewajiban untuk merahasiaan informasi tertentu, untuk nantinya dilanjutkan dalam proses pemeriksaan di forum peradilan. Bagaimana pun juga, penyidik dan proses penyidikan, memang harus steril dari campur tangan pihak lain. Terlebih, informasi terkait proses penegakan hukum, khususnya penyidikan, merupakan informasi yang dirahasiakan, setidaknya berdasarkan Pasal 17 a UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

Sekilas, jika mencermati kenyataan di atas, maka tampaklah ketidakonsistenan para oknum anggota dewan terkait dengan ruang lingkup transparansi perkara korupsi di KPK. Pada satu sisi, mereka mengkritik KPK atas manajemen perkara, terutama kerahasiaan proses penyidikan yang sempat terbukti bermasalah dengan bocornya sprindik Anas Urbaningrum, tapi di sisi lain, mereka malah secara gamblang mencampuri, bahkan meminta agar proses penyidikan yang bersifat rahasia, dibuka ke publik. Tak salah jika kemudian banyak yang menilai angket terhadap KPK, memang hanyalah buah dari akal-akalan politikus yang kontra bahkan anti-KPK dan proses pemberantasan korupsi. 

Merongrong KPK

Secara umum, para pengusul hak angket, utamanya Fahri Hamzah, menuturkan bahwa hak angket terhadap KPK bertujuan untuk mengoreksi dan memperbaiki tata-kelola kelembagaan dan profesionalitas KPK. Hak angket terhadap KPK, dianggap sebagai bagian dari fungsi pengawasan yang melekat pada lembaga DPR. Tapi bisakah dibenarkan DPR mengangket KPK atas dasar fungsi pengawasan tersebut?

Fungsi pengawasan sebagai hak konstitusional DPR, pada dasarnya tak bisa dilepaskan dari kedudukan DPR sebagai lembaga pengontrol atas jalannya proses pemerintahan. Berdasarkan Pasal 70 ayat (3) UU MD3, fungsi pengawasan ini dilaksanakan melalui pengawasan atas pelaksanaan undang-undang dan APBN. Dengan begitu, secara garis besar, segenap lembaga pelaksana undang-undang dan pengguna anggaran negara, dapat menjadi objek pengawasan DPR, yang bisa jadi terejawantahkan dalam bentuk hak angket.

Lebih lanjut, menurut Pasal 79 ayat (3) UU MD3, hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Kebijakan pemerintah yang dimaksud di sini, memang masih kurang jelas cakupannya. Namun, pada bagian penjelasan pasal tersebut dinyatakan bahwa pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah dapat berupa kebijakan yang dilaksanakan sendiri oleh Presiden, Wakil Presiden, menteri negara, Panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, atau pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian.

Dari uraian di atas, maka jelas bahwa maksud “pemerintah” pada pasal 79 ayat (3), secara garis besar adalah segenap kelembagaan yang masih di bawah kekuasaan presiden, yaitu mencakup ranah pemerintah dalam arti sempit, atau bidang eksekutif. Alasannya sebab pimpinan dari lembaga negara tersebut, masih di bawah komando presiden, tanpa perlu memedulikan fokus fungsinya pada bidang administrasi pemerintahan ataukah penegakan hukum. 

Lalu, pertanyaan besarnya, bagaimana dengan KPK?

Jika merujuk pada UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPTPK), maka jelas bahwa KPK tidak bisa disamakan dengan lembaga negara yang lain. Pasal 3 UU KPK menyatakan bahwa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, KPK bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. 

Kedudukan yang istimewa ini, tentu tak bisa dilepaskan dari cita-cita mulia pembentukannya, yaitu memberantas korupsi yang terjadi secara luar biasa. Atas cita-cita itu, KPK pun diberi kekuasaan untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan kasus korupsi. Dengan status kelembagaan yang steril serta kewenangan yang mumpuni, KPK diharapkan mampu memberantas korupsi secara efektif.

Kedudukan KPK yang istimewa, tidak mengartikan bahwa lembaga ini melaksanakan kewenangannya dalam ruang gelap, tanpa kontrol. Alasannya karena dalam UU KPTPK, KPK juga diwajibkan tunduk pada asas keterbukaan dan akuntabilitas. Secara gamblang, Pasal 20 ayat (1)  dan (2) UU KPTPK mewajibkan kepada KPK untuk menyampaikan laporannya secara terbuka kepada presiden, DPR, dan BPK. Selain itu, KPK juga diwajibkan bertanggung jawab kepada publik dengan cara melakukan audit kinerja, menerbitkan laporan tahunan, dan membuka akses informasi.

Berangkat dari uraian di atas, maka jelas bahwa KPK juga memiliki sistem pertanggungjawaban dan pengawasan yang ketat. Secara administrasi kelembagaan, KPK tetaplah lembaga yang mendapat pengawasan maksimal, baik oleh pengawas internal, maupun pengawas eksternal, termasuk DPR. Namun demikian, jika terkait fungsi dan kewenangannya dalam memberantas tindak pidana korupsi, KPK tetap harus steril dari gangguan pihak mana pun, tak terkecuali dari lembaga DPR, apalagi jika terkait dengan proses penyidikan kasus korupsi.

Muaranya Ke Mana?

Hak angket DPR terhadap KPK, akhirnya harus dinilai sebagai tindakan yang tidak tepat, kalau tidak mau dikatakan salah. Secara normatif, sama sekali tak ada aturan hukum yang membenarkan KPK diangket atas proses penyidikan yang tengah dilakukannya. Karena itu, dugaan saratnya kepentingan politik dalam mulusnya hak angket terhadap KPK, tak bisa dimungkiri. Jika tak ada rencana terselubung untuk membonsai KPK, setidaknya, melalui hak angket, KPK dibuat tak fokus dalam mengurusi megakorupsi e-KTP yang sedang ditanganinya.

Kini, bola panas hak angket, telah sampai di pertengahan jalan. Tapi itu bukan berarti bahwa angket tersebut akan lancar begitu saja. Serangkaian rintangan masih harus dihadapi para inisiator hak angket. Taruhlah misalnya, pembentukan panitia khusus (pansus) hak angket untuk menyelidiki objek hak angket yang harus melibatkan semua fraksi di DPR, sebagaimana ketentuan Pasal 201 ayat (2) UU MD3. Syarat ini dapat menjadi jegalan jika saja beberapa atau satu fraksi saja yang sedari awal menolak usulan hak angket, tetap pada sikapnya.

Potensi jegalan selanjutnya, terjadi pada tindak lanjut hak angket. Jika saja pansus hak angket terbentuk, maka keputusan mengenai temuannya bahwa ada tidaknya pelanggaran hukum, juga harus diambil secara politis, yaitu diputuskan dalam sidang paripurna yang dihadiri lebih dari 1/2 anggota DPR, dan disetujui lebih dari 1/2 yang hadir. Kalau pun sidang paripurna memutuskan adanya pelanggaran hukum yang dilakukan oleh lembaga yang diangket, maka dapat dilanjutkan pada Hak Menyatakan Pendapat (HMP). Namun HMP itu, juga harus diputuskan politis, yaitu diambil dalam sidang paripurna yang dihadiri 2/3 dari jumlah anggota DPR, dan disetujui dari 2/3 anggota yang hadir.

Lalu apa ujungnya jika begitu?

Tentu tak ada yang bisa memastikan ke mana hak angket ini akan bermuara. Segala kemungkinan bisa terjadi, sebagaimana politik yang mencair. Apalagi, sedari awal, nuansa politik memang sarat dalam angket ini. Tapi setidaknya, sebagai bahan analisis awal, menurut pasal 79 ayat (4) UU MD3, perlu dicatat bahwa HMP bisa ditempuh DPR untuk menyikapi kebijakan pemeintah yang bersifat nasional dan internasional, menindaklanjuti hak interplasi dan hak angket, juga untuk menyatakan bahwa bahwa presiden layak di-impeachment.

Akhirnya, kita masih bertanya-tanya tentang ujung dari hak angket. Entah sekadar untuk mengganggu kinerja KPK sementara waktu, melemahkan KPK, atau berbelok pada tindakan politik yang tak terduga. Entahlah. Yang pasti, sedari awal, harus dicamkan bahwa KPK independen dan terbebas dari campur tangan pihak mana pun, terutama dalam pelaksanaan fungsi dan wewenangnya. Ini berarti, kekuasaan kepresidenan maupun DPR, tidak dibenarkan untuk  merecoki dan menggangu KPK dalam upayanya menegakkan hukum terhadap para perampok uang negara. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar