Tepat
di hari Jumat, tanggal 28 April, hak angket yang diusulkan 26 orang anggota
DPR, dinyatakan diterima dalam sidang paripurna. Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah
yang memimpin sidang hari itu, dengan sigap mengetok palu. Padahal, interupsi
dan sorak-sorai dari peserta sidang masih bergemuruh. Imbasnya, 3 dari 10
fraksi di DPR pun, menarik diri dari ruang persidangan. Ketiganya adalah fraksi
Partai Demokrat, Gerindra, dan PAN. Meski sebenarnya, oknum anggota fraksi
Gerindra dan PAN, juga turut sebagai pengusul.
Keputusan
DPR untuk mengangket KPK, tak pelak, menimbulkan polemik di tengah masyarakat.
Tak sedikit yang menilai angket tersebut hanyalah untuk melemahkan atau
setidaknya mengganggu kinerja KPK. Alasannya, hak angket disahkan seiring
dengan bergulirnya pengusutan kasus megakorupsi proyek e-KTP yang mengakibatkan
kerugian negara sebesar 2,3 triliun, dari total anggaran sebesar 5,9 triliun. Sebuah
kasus yang melibatkan penyelengara negara dari cabang kekuasaan legislatif dan
eksekutif, juga dari pihak swasta sebagai rekanan proyek.
Dugaan
kalau hak angket hanya akal-akalan anggota DPR yang “kebakaran jenggot”, tidaklah
mengada-ada. Pasalnya, kasus korupsi e-KTP, memang disinyalir melibatkan
sejumlah anggota DPR. Dan titik terang terkait itu, terungkap setelah anggota
DPR dari Partai Hanura, Miryam S. Haryani, ditetapkan sebagai tersangka oleh
KPK atas dugaan pemberian keterangan palsu dalam persidangan e-KTP. Melalui
kesaksian Miryam, terkuaklah skenario korupsi berjamaah para anggota dewan,
yang kemudian diduga menimbulkan keresahan bagi oknum tertentu. Terlebih lagi,
Miryam diduga mengetahui secara detail aliran dana korupsi e-KTP.
Polemik
korupsi proyek e-KTP kian memanas setelah dalam persidangan, Miryam
mengaku mendapatkan tekanan dari penyidik KPK saat penyusunan BAP (Berita Acara
Pemeriksaan). Ia lantas mencabut BAP-nya. Tapi penyidik KPK, Novel Baswedan,
yang kemudian hari dihadirkan majelis hakim dalam persidangan, membantah alibi
Miryam. Novel malah menyatakan kalau keputusan Miryam mencabut BAP, terjadi
karena ia mendapat tekanan dari beberapa anggota dewan yang diduga terlibat,.
Di antara nama-nama yang disebut itu adalah
Bambang Sosatyo, Aziz Syamsuddin, Desmond Mahesa, Masinton Pasaribu, dan
Sarifuddin Suding.
Atas
kenyataan yang terpampang di depan publik, penggunaan hak angket DPR terhadap
KPK, akhirnya mendapat penolakan dari kalangan masyarakat yang khawatir atas
masa depan KPK dan proses pemberantasan korupsi. Selain karena sarat dengan
kepentingan politik, serta mendapat sokongan dari oknum yang paranoia terhadap
KPK, hak angket itu juga dinilai, tidak sejalan dengan cita penegakan hukum
dalam proses pemberantasan korupsi, bahkan dinilai melanggar aturan hukum.
Setidaknya, dari kacamata hukum, legal atau tidaknya hak angket tersebut dapat
dikaji dari beberapa persoalan pokok.
Pengambilan Keputusan Dipaksakan
Pengambilan
keputusan dan pelaksanaan terkait hak angket, harus dilakukan sesuai dengan
aturan hukum dan mekanisme kelembagaan yang demokratis. Artinya, hak angket
tidak boleh lahir dari kehendak pribadi anggota DPR. Kerangka ini sejalan
dengan Pasal 20A ayat (2) UUD Tahun 1945 yang mendudukkan hak angket sebagai
hak DPR, bukan hak anggota DPR sebagimana disebut ayat (3) pada pasal yang
sama.
Menindaklanjuti
hak angket sebagai hak kelembagaan DPR, maka secara lebih rinci, Pasal 199 ayat
(3) UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), sebagaimana telah diubah dengan UU No. 42 Tahun 2014,
mempersyaratkan bahwa usulan hak angket yang diajukan minimal 25 orang anggota
DPR dan lebih dari satu fraksi, baru dapat menjadi hak angket jika sidang
paripurna dihadiri oleh lebih dari 1/2 anggota DPR, dan disetujui oleh lebih
dari 1/2 dari anggota DPR yang hadir. Di sini, tampak bahwa demi menjamin hak
angket sebagai aspirasi kelembagaan, maka sidang harus diputuskan setelah
adanya persetujuan mayoritas.
Mengenai
mekanisme pengambilan keputusan terkait persetujuan usul hak angket dalam UU
MD3, memang tidak menyebut secara tegas, apakah melalui musyawarah mufakat atau
mekanisme suara terbanyak (voting). Di sana, usulan hak angket hanya
dipersyaratkan harus disetujui oleh lebih dari 1/2 anggota DPR yang hadir dalam
sidang paripurna. Ini berarti, keputusan membutuhkan persetujuan mayoritas.
Untuk itu, dapat dikatakan bahwa pengambilan keputusan selayaknya tidak
dilakukan secara terburu-buru, agar dapat dicermati pendapat setiap anggota DPR
yang hadir, dan untuk mengukur jumlah pihak yang setuju atau tidak setuju.
Melihat
kenyataan bahwa dalam sidang paripurna, hak angket diketuk palu saat sejumlah
anggota DPR masih menginterupsi, maka sulit untuk tidak mengatakan bahwa hak
angket terkesan dipaksakan. Keputusan yang diambil pimpinan sidang dalam forum musyawarah
yang tidak demokratis itu, jelas tak bisa dibenarkan sesuai aturan. Alasannya,
tanpa adanya kebulatan pendapat atau mufakat, maka mustahil mengukur bahwa
mayoritas peserta sidang telah memberikan persetujuannya. Padahal pengambilan
keputusan terkait persetujuan hak angket mempersyaratkan persetujuan mayoritas.
Objek Angket Tak Masuk Akal
Rapat
Dengar Pendapat (RDP) antara Komisi III DPR dengan KPK pada tanggal 17-18
April, menjadi momentum awal digulirkannya rencana hak angket. Dalam rapat
tersebut, anggota DPR memberikan banyak masukan kepada KPK, yang secara umum
terkait dengan transparansi pengelolaan keuangan, mamajemen kepegawaian,
soliditas pimpinan, juga tentang kerahasiaan perkara yang tengah ditangai KPK.
Pokok-pokok kritik dan saran tersebut, ditanggapi secara positif oleh pihak KPK.
Namun
pada ujung rapat, KPK juga mempermasalahkan terkait kisruh pencabutan BAP oleh
Miryam yang ditengarai akibat adanya tekanan dari oknum anggota DPR,
sebagaimana keterangan penyidik KPK di persidangan. Karena merasa tak terima
dengan tudingan tersebut, komisi III pun meminta agar KPK transparan terkait proses
pemeriksaan Miryam, bahkan meminta agar KPK membukanya secara gamblang. Namun
berdasar pada alasan kepentingan dan kerahasiaan proses penyidikan, KPK menolak
permintaan tersebut. Dan, di sinilah mulai menggaungnya usulan terkait hak
angket.
Permintaan
oknum anggota DPR agar rangkaian dan hasil dari proses penyidikan disampaikan
secara terbuka, jelas merupakan sebuah permintaan yang tidak logis. Pada posisi
ini, sikap KPK, jelas dapat dibenarkan. Bagaimana pun juga, proses penyidikan
mengandung unsur kerahasiaan, yang menurut penyidik, penting untuk dijaga. Hal
tersebut demi menjamin agar proses penyidikan berlangsung dengan lancar, tanpa
hambatan dari pihak-pihak yang berkepentingan.
Penyidik
sebagai penegak hukum yang bersentuhan langsung dengan sebuah perkara, tentu
memiliki otoritas untuk menilai dan menjaga kerahasiaan proses dan hasil
penyidikan. Para penyidik berhak, bahkan berkewajiban untuk merahasiaan
informasi tertentu, untuk nantinya dilanjutkan dalam proses pemeriksaan di forum
peradilan. Bagaimana pun juga, penyidik dan proses penyidikan, memang harus
steril dari campur tangan pihak lain. Terlebih, informasi terkait proses
penegakan hukum, khususnya penyidikan, merupakan informasi yang dirahasiakan,
setidaknya berdasarkan Pasal 17 a UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan
Informasi Publik.
Sekilas,
jika mencermati kenyataan di atas, maka tampaklah ketidakonsistenan para oknum
anggota dewan terkait dengan ruang lingkup transparansi perkara korupsi di KPK.
Pada satu sisi, mereka mengkritik KPK atas manajemen perkara, terutama
kerahasiaan proses penyidikan yang sempat terbukti bermasalah dengan bocornya
sprindik Anas Urbaningrum, tapi di sisi lain, mereka malah secara gamblang
mencampuri, bahkan meminta agar proses penyidikan yang bersifat rahasia, dibuka
ke publik. Tak salah jika kemudian banyak yang menilai angket terhadap KPK,
memang hanyalah buah dari akal-akalan politikus yang kontra bahkan anti-KPK dan
proses pemberantasan korupsi.
Merongrong KPK
Secara
umum, para pengusul hak angket, utamanya Fahri Hamzah, menuturkan bahwa hak
angket terhadap KPK bertujuan untuk mengoreksi dan memperbaiki tata-kelola
kelembagaan dan profesionalitas KPK. Hak angket terhadap KPK, dianggap sebagai
bagian dari fungsi pengawasan yang melekat pada lembaga DPR. Tapi bisakah
dibenarkan DPR mengangket KPK atas dasar fungsi pengawasan tersebut?
Fungsi
pengawasan sebagai hak konstitusional DPR, pada dasarnya tak bisa dilepaskan
dari kedudukan DPR sebagai lembaga pengontrol atas jalannya proses
pemerintahan. Berdasarkan Pasal 70 ayat (3) UU MD3, fungsi pengawasan ini
dilaksanakan melalui pengawasan atas pelaksanaan undang-undang dan APBN. Dengan
begitu, secara garis besar, segenap lembaga pelaksana undang-undang dan
pengguna anggaran negara, dapat menjadi objek pengawasan DPR, yang bisa jadi terejawantahkan
dalam bentuk hak angket.
Lebih
lanjut, menurut Pasal 79 ayat (3) UU MD3, hak angket adalah hak DPR untuk
melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau
kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan
berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang
diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Kebijakan pemerintah
yang dimaksud di sini, memang masih kurang jelas cakupannya. Namun, pada bagian
penjelasan pasal tersebut dinyatakan bahwa pelaksanaan suatu undang-undang
dan/atau kebijakan pemerintah dapat berupa kebijakan yang dilaksanakan sendiri
oleh Presiden, Wakil Presiden, menteri negara, Panglima TNI, Kapolri, Jaksa
Agung, atau pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian.
Dari
uraian di atas, maka jelas bahwa maksud “pemerintah” pada pasal 79 ayat (3),
secara garis besar adalah segenap kelembagaan yang masih di bawah kekuasaan
presiden, yaitu mencakup ranah pemerintah dalam arti sempit, atau bidang
eksekutif. Alasannya sebab pimpinan dari lembaga negara tersebut, masih di
bawah komando presiden, tanpa perlu memedulikan fokus fungsinya pada bidang
administrasi pemerintahan ataukah penegakan hukum.
Lalu,
pertanyaan besarnya, bagaimana dengan KPK?
Jika
merujuk pada UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (UU KPTPK), maka jelas bahwa KPK tidak bisa disamakan dengan lembaga
negara yang lain. Pasal 3 UU KPK menyatakan bahwa dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya, KPK bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.
Kedudukan
yang istimewa ini, tentu tak bisa dilepaskan dari cita-cita mulia pembentukannya,
yaitu memberantas korupsi yang terjadi secara luar biasa. Atas cita-cita itu, KPK
pun diberi kekuasaan untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan
kasus korupsi. Dengan status kelembagaan yang steril serta kewenangan yang
mumpuni, KPK diharapkan mampu memberantas korupsi secara efektif.
Kedudukan
KPK yang istimewa, tidak mengartikan bahwa lembaga ini melaksanakan kewenangannya
dalam ruang gelap, tanpa kontrol. Alasannya karena dalam UU KPTPK, KPK juga diwajibkan
tunduk pada asas keterbukaan dan akuntabilitas. Secara gamblang, Pasal 20 ayat
(1) dan (2) UU KPTPK mewajibkan kepada
KPK untuk menyampaikan laporannya secara terbuka kepada presiden, DPR, dan BPK.
Selain itu, KPK juga diwajibkan bertanggung jawab kepada publik dengan cara
melakukan audit kinerja, menerbitkan laporan tahunan, dan membuka akses
informasi.
Berangkat
dari uraian di atas, maka jelas bahwa KPK juga memiliki sistem pertanggungjawaban dan pengawasan yang ketat. Secara administrasi kelembagaan, KPK
tetaplah lembaga yang mendapat pengawasan maksimal, baik oleh pengawas
internal, maupun pengawas eksternal, termasuk DPR. Namun demikian, jika terkait
fungsi dan kewenangannya dalam memberantas tindak pidana korupsi, KPK tetap harus
steril dari gangguan pihak mana pun, tak terkecuali dari lembaga DPR, apalagi
jika terkait dengan proses penyidikan kasus korupsi.
Muaranya Ke Mana?
Hak
angket DPR terhadap KPK, akhirnya harus dinilai sebagai tindakan yang tidak
tepat, kalau tidak mau dikatakan salah. Secara normatif, sama sekali tak ada
aturan hukum yang membenarkan KPK diangket atas proses penyidikan yang tengah
dilakukannya. Karena itu, dugaan saratnya kepentingan politik dalam mulusnya
hak angket terhadap KPK, tak bisa dimungkiri. Jika tak ada rencana terselubung
untuk membonsai KPK, setidaknya, melalui hak angket, KPK dibuat tak fokus dalam
mengurusi megakorupsi e-KTP yang sedang ditanganinya.
Kini,
bola panas hak angket, telah sampai di pertengahan jalan. Tapi itu bukan
berarti bahwa angket tersebut akan lancar begitu saja. Serangkaian rintangan
masih harus dihadapi para inisiator hak angket. Taruhlah misalnya, pembentukan
panitia khusus (pansus) hak angket untuk menyelidiki objek hak angket yang harus
melibatkan semua fraksi di DPR, sebagaimana ketentuan Pasal 201 ayat (2) UU
MD3. Syarat ini dapat menjadi jegalan jika saja beberapa atau satu fraksi saja yang
sedari awal menolak usulan hak angket, tetap pada sikapnya.
Potensi jegalan
selanjutnya, terjadi pada tindak lanjut hak angket. Jika saja pansus hak angket
terbentuk, maka keputusan mengenai temuannya bahwa ada tidaknya pelanggaran hukum, juga harus
diambil secara politis, yaitu diputuskan dalam sidang paripurna yang dihadiri
lebih dari 1/2 anggota DPR, dan disetujui lebih dari 1/2 yang hadir. Kalau pun sidang
paripurna memutuskan adanya pelanggaran hukum yang dilakukan oleh lembaga yang
diangket, maka dapat dilanjutkan pada Hak Menyatakan Pendapat (HMP). Namun HMP
itu, juga harus diputuskan politis, yaitu diambil dalam sidang paripurna yang
dihadiri 2/3 dari jumlah anggota DPR, dan disetujui dari 2/3 anggota yang
hadir.
Lalu
apa ujungnya jika begitu?
Tentu
tak ada yang bisa memastikan ke mana hak angket ini akan bermuara. Segala
kemungkinan bisa terjadi, sebagaimana politik yang mencair. Apalagi, sedari
awal, nuansa politik memang sarat dalam angket ini. Tapi setidaknya, sebagai
bahan analisis awal, menurut pasal 79 ayat (4) UU MD3, perlu dicatat bahwa HMP
bisa ditempuh DPR untuk menyikapi kebijakan pemeintah yang bersifat nasional
dan internasional, menindaklanjuti hak interplasi dan hak angket, juga untuk
menyatakan bahwa bahwa presiden layak di-impeachment.
Akhirnya,
kita masih bertanya-tanya tentang ujung dari hak angket. Entah sekadar untuk
mengganggu kinerja KPK sementara waktu, melemahkan KPK, atau berbelok pada
tindakan politik yang tak terduga. Entahlah. Yang pasti, sedari
awal, harus dicamkan bahwa KPK independen dan terbebas dari campur tangan pihak
mana pun, terutama dalam pelaksanaan fungsi dan wewenangnya. Ini berarti,
kekuasaan kepresidenan maupun DPR, tidak dibenarkan untuk merecoki dan menggangu KPK dalam upayanya
menegakkan hukum terhadap para perampok uang negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar