Rabu, 31 Mei 2017

Jika Saja Tak Kutahu Namanya

Malam itu, aku dilanda kekalutan. Aku diserang rasa tak keruan yang sebabnya entah apa. Hanya hampa terasa. Aku gelisah tanpa menunggu kabar apa-apa. Aku marah tanpa membenci siapa-siapa. Aku kesepian tanpa tahu bagaimana bisa. Atas itu, aku bingung sendiri, bagaimana cara mengatasinya. Tapi kuduga, mungkin aku cuma butuh sedikit hiburan.
 
Tanpa pikir panjang, kuputuskanlah untuk berkunjung ke sebuah pementasan musik seorang diri. Kurasa itu tepat, sebab konser itu akan menampilkan band favoritku juga, Gigi. Terlebih lagi, aku terlanjur memiliki tiket. Sebuah tiket yang terpaksa kubeli dari sahabatku sendiri yang batal menunaikan hasratnya malam itu, karena terkendala urusan penting. 

Bersama kegalauan yang sangat, aku pun menyusuri jalan-jalan kota dengan sepeda motor bututku. Aku pergi sambil berharap menemukan kedamaian di sana. Tapi kenyataan tak selalu seindah rencana. Baru saja berangkat, aku sudah terpasung di tengah jalan yang sesak. Kendaraan berjejal entah hendak ke mana. Macet pun berkepanjangan, dan aku harus sabar. 

Akhirnya, dengan kejelian memanfaatkan ruang kosong di tengah waktu yang memburu, aku pun sampai dengan balutan peluh. Aku terlambat. 

Kuparkirkan sepeda motorku segera. 

Seketika, terdengarlah lagu Nirwana tengah didendangkan Arman Maulana Cs. Tak ingin kehabisan lagu, kupercepat langkahku mendekat ke lokasi pementasan. Jelas, aku ingin bersuara untuk satu lagu terbaik itu. Tapi belum juga sampai di gerbang pemeriksaan, langkahku terhenti. Mataku tertuju pada satu tiket yang nyaris saja kutapaki.

Setelah memungut dan mengantongi tiket yang entah siapa pemiliknya itu, aku kembali bergegas dengan setengah berlari. Tak lama kemudian, aku tiba di depan gerbang dengan napas yang tersengal-sengal. Segera saja kupersiapkan tiketku sembari mengantre, menunggu tiga orang di depanku selesai diproses.

Sambil menunggu giliran, kuarahkan pandanganku ke segala arah. Aku bermaksud menemukan kalau-kalau ada seseorang yang kelimpungan mencari tiketnya. Dan benar saja, aku melihat seorang gadis di sampingku tampak berdiskusi dengan petugas. Sayup-sayup kudengar, ia memohon agar diperbolehkan masuk tanpa tiket. 

Dengan terpaksa, aku keluar dari baris antrean, lalu menghampiri gadis itu. “Revita Riona?”

Gadis itu lalu berbalik, seakan nama yang kueja di balik tiket, benar-benar namanya.

“Kau kehilangan tiketmu kan?” tanyaku, sambil menyodorkan tiket yang kutemukan sebelumnya.

Ia diam, tertegun, seakan melihat sesosok malaikat penyelamat berdiri di depannya. Dan setelah mengamati satu tiket yang kuulurkan, senyuman manis pun, merekah di wajahnya.

 “Aku mendapatkannya di sana, tadi, di jalan masuk ke sini,” jelasku, sembari balas tersenyum.

Matanya tampak berkaca-kaca. “Terima kasih,” katanya, dengan senyuman yang mengembang makin sempurna.

Aku mengangguk saja.

Seusai sesi kejutan itu, aku dan dia, lalu menuju gerbang pemeriksaan. Di sana, tak ada lagi antrean. Maka tanpa perlu menunggu lama, kami pun masuk ke lapangan pementasan. Kami berjalan beriringan, menuju depan panggung. Dan entah bagaimana, langkah kami, sama-sama melambat. Pada momen itulah, di langit-langit udara, mengalun lagu 11 Januari; sebuah lagu yang tepat menggambarkan waktu pertemuan kami hari itu: 11 Januari.

“Kamu sendiri ke sini?” Ia bertanya, tanpa lebih dulu bertanya tentang siapa namaku.

Aku mengangguk. “Tak ada yang bisa kuajak,” kataku, sedikit gugup, bermaksud menyampaikan kesediaanku kalau-kalau ia bersedia menemaniku menonton konser sampai selesai. Tapi akhirnya, aku sadar, itu terlalu polos. Maka segera kutimpali dengan kalimat yang ternyata tak lebih baik untuk menutupi kegalauanku, “Lagi pula, aku memang lebih suka sendiri. Maksudku, aku karakter lelaki penyendiri.”

Dia tergelak.

“Kau sendiri?” Aku bertanya, tanpa kuasa memandang sorot matanya yang tajam.

Seketika, ia tertunduk, seperti berusaha  mencari kalimat balasan yang tepat. “Aku ada janji bertemu dengan seseorang di sini. Mungkin sedari tadi, dia menungguku,” katanya, lalu menoleh sejenak padaku, melemparkan satu senyuman lagi.

Dan tak berselang lama, seorang dari jarak yang tak terlalu jauh, tampak melambaikan tangan ke arah kami. Seketika aku tahu, ia bermaksud memberikan isyarat pada wanita di sampingku.

“Itu dia,” katanya, dengan raut wajah yang terlihat begitu senang. “Aku pergi dulu ya!”

Tiba-tiba, muncul kekecewaan yang mendalam di hatiku, menyaksikan ia pergi untuk seseorang. Tapi aku tak bisa apa-apa.

Dengan terburu-buru, ia melangkah ke arah lain. Setengah berlari. Lalu, sejenak, langkahnya terhenti, lalu berbalik padaku, “Hai, kamu! Terima kasih sekali lagi!” serunya, kemudian memunggungiku kembali, dan tak mengacuhkanku lagi.

Sikapnya itu, membuatku dilema. Lidahku kelu. Entah kenapa, aku tak mampu membalasnya dengan kata-kata apa pun, meski berjuta rasa ingin kuteriakkan ke arahnya. Aku seumpama sosok yang baru saja bertemu dengan mantan kekasih, yang pergi meninggalkan luka.

Di tengah keguncangan hati, beruntung, akal sehat masih menuntunku berlaku sewajarnya. Demi menjaga perasaanku, juga untuk tidak mengganggu ketenteramannya dengan seorang lelaki yang ia sebut teman, maka kupilih menuju sisi yang berlawanan darinya.

Dalam keheninganku sendiri, terdengarlah lagu Kembalilah Kasih. Aku meresapinya begitu dalam, seakan-akan, aku baru saja ditinggal pergi seorang kekasih. Tak sampai lima menit, lagu Jomblo yang mengalun. Untuk satu lagu itu, aku benar-benar tak bisa menahan diri untuk turut meneriakkan keluh-kesahku, dari hati.

Dan setelahnya, aku harus bersusah payah untuk menikmati konser hingga selesai.

Kini, sungguh, aku tak menyesali apa yang terjadi malam itu. Sebagaimana biasa, aku selalu senang bertemu dengan orang baru yang mampu membuatku terkesan, meski hanya sesaat, termasuk bertemu sosok seperti dia: gadis cantik yang dalam sekejap mampu memberikan semangat hidup yang tak terkira padaku, hingga aku bisa merasakan nikmatnya menjadi seorang lelaki. Kalau ada masalah setelahnya, aku saja yang salah, yang terlalu mudah merasa dan suka memendam.

Demi kesan-kesan indah di malam itu, jika saja aku bisa melenyapkan bagian-bagian kenangan di dalam memoriku, maka aku tak akan menghapus tentang gambaran dirinya. Itu terlalu menguntungkan bagiku. Tapi jika itu mungkin, aku hanya ingin menghapus namanya dalam ingatanku. Nama itu terlalu membahayakan bagi ketenteraman hidupku sebagai pemendam. Itu memberikanku jalan untuk mengenalnya secara sepihak, hingga aku tak bisa lepas dari jerat bayang-bayangnya, tanpa ia  ketahui.

Dan malam ini, seperti yang kusesalkan, petaka atas namanya, kembali menimpaku. Sambil berbaring dan memandang kosong ke langit-langit kamarku yang hampa, kunikmati lagi lagu Kembalilah Kasih, seakan-akan aku pernah memilikinya dan ada kemungkinan kami bersama lagi. Hingga tak cukup lima menit, lagu beralih ke My Facebook. Lagi dan lagi, aku menikmati lagu itu, sembari mengintip akun facebook miliknya, dengan berbekal nama yang unik, yang tak akan kulupa sepanjang waktu: Revita Riona.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar