Jumat, 26 Mei 2017

Jarak Waktu


Kita sudah terlalu dekat, dan aku tak suka keadaan itu. Aku takut kau benar-benar memasrahkan perasaanmu padaku, sedang aku masih saja ogah mengiyakan atau menolaknya. Aku tak ingin kau merasa digantungkan oleh perasaanmu sendiri, lalu aku mengutuk diriku sendiri, padahal aku tak melakukan kesalahan apa-apa.

Demi kita, aku mengambil jalan tengah. Kutempuh cara untuk membuat hubungan kita terasa tawar. Sedikit pun, aku tak ingin menunjukkan gelagat perasaanku padamu. Perlahan, dengan begitu, kau akan bosan sendiri, lalu memupuskan harapanmu padaku.

Dan kulihat, rencanaku berjalan baik. Mungkin karena kau gerah sendiri melihat sikapku yang biasa saja, kau pun mulai bertanya tentang arah perasaanku. Tanpa sadar, kau telah membuka jalan bagiku untuk membunuh mimpi-mimpimu sekalian.

“Apa kau tak berhasrat mengikat hati seorang perempuan?” tanyamu, saat kita berjalan beriringan, sepulang dari kampus, sebagaimana pintamu selalu.

Aku pura-pura terheran, seakan-akan tak tahu maksud hatimu. “Entahlah. Tapi untuk sekarang, tidak dulu.”

Kau tampak kecewa dengan jawabanku. Seakan ketakutan jika jalan perasaanmu menuju hatiku, tertutup sudah. “Kenapa?” suaramu tertahan sejenak, “Apa karena sosok perempuan yang sedari dulu mengikat perasaanmu?”

Beberapa saat, aku berusaha mencerna maksud pertanyaanmu. Dan aku ingat, suatu hari, aku pernah mengatakan padamu, kalau aku mendambakan sesosok wanita yang masih kurahasiakan. “Tidak juga. Bukan karena siapa-siapa. Aku hanya merasa belum siap dan belum pantas mencintai seorang perempuan mana pun. Tapi, jika kelak datang waktunya, aku tetap mendambakan sosok wanita sepertinya. Sosok wanita yang tiada duanya.”

Kau terlihat merengut mendengar pujianku untuknya. “Bukankah sebaiknya kau membuka hati pada perempuan yang lain?”

“Sepertinya itu tak mudah. Tak akan ada wanita yang bisa sepertinya,” balasku, sambil menyelaraskan langkahku dengan langkahmu yang tiba-tiba menggerumit.

“Memangnya, dia sosok yang bagaimana?” tanyamu lagi.

“Dia wanita yang pendiam, tertutup, sampai membuatku selalu penasaran,” jelasku, kemudian menoleh padamu sekilas. Hanya sekilas. Aku tak ingin memberimu kesan apa-apa lagi, meski itu sekadar isyarat mata sekali pun. “Aku sendiri tak tahu, kenapa aku menyukai sosok wanita sepertinya.”

Kau tampak menekur. Seperti kebingungan menyusun kata-kata. “Tapi bukankah dia telah pergi meninggalkanmu?”

Aku berdeham. “Kami memang berjarak. Terpisah ruang dan waktu. Tapi karena itulah, aku tak bisa lepas darinya. Selalu ada harapan yang membuatku tak bisa melupakannya. Dan dengan doalah, aku yakin itu akan jadi kenyataan.”

Mulutmu seperti tersekat mendengar penegasanku. Di wajahmu, kulihat satu senyuman merekah terpaksa. Tapi di baliknya, aku melihat kegetiran.

Dan keesokan harinya setelah obrolan kita tentang sosok perempuan rahasiaku, kau pun jadi jarang kujumpai. Kau melanglang entah ke mana. Tapi satu kali, aku melihatmu tertunduk kala berpapasan denganku. Hingga di waktu selanjutnya, kau bernar-benar menghilang dari pengindraanku.

Kini aku kembali bertanya pada diriku sendiri, mungkinkah kau telah menjadi seperti sosok wanita yang kumaksud? Apakah kau telah menjadi sosok wanita pendiam, tertutup, dan berjarak dengan laki-laki, temasuk padaku? Entahlah.

Dan hari ini, dua tahun setelah kau menghilang dari pandanganku, bersembunyi dari jamahan indra para lelaki, aku mendengar kabar bahwa kau telah dipersunting oleh seorang lelaki, sosok yang menjadi prototipe kepribadianku di masa depan. Kau telah menemukan pasangan yang sepadan denganmu.

Di sini, aku masih saja seperti dulu. Aku tetaplah seorang lelaki biasa yang sejujurnya menyukai sosokmu di masa lalu, meski mencita-citakan sosokmu di masa depan. Tapi karena harapanku tak mungkin lagi tentang dirimu, maka aku pun masih tersandera di antara ruang dan waktu, dengan sesosok perempuan rekaan yang pernah kuceritakan padamu, entah siapa, nanti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar