Selasa, 09 Mei 2017

Hari Baru

Kulihat lagi dirimu. Seperti biasa, kau akan berlaku manja tiap kali menyadari kehadiranku. Tunduk tersipu, hingga ponimu jatuh terurai. Tersenyum ceria, hingga lengukungan di sekitar bibirmu, tergambar jelas. Pipimu mengembang. Hidungmu berdenyut-denyut. Sudut-sudut matamu pun meruncing jika begitu, seperti turut tertawa. 
 
Lalu tanpa beban, kau berkitar-kitar di pasir pantai yang mulai terasa lembap dan dingin. Dengan tingkah riang, kau berjengket-jengket ke segala arah, seperti seorang balerina. Sesekali berjongkok untuk menyeruk pasir dengan tanganmu, untuk kau hempaskan ke udara, ke arahku. Sesekali-kali juga, kau membalik badan, lalu berlari-lari kecil, seperti minta dikejar.

Sedang kau terus bertingkah, aku hanya terus mengukuti langkahmu. Membidikmu menggunakan lensa kamera dengan penuh perhatian. Merekam setiap detail ragamu yang dibalut cahaya senja yang merah-jingga. Menjadikan sepertiga matahari di ujung laut sebagai latar visual. Sedangkan desir ombak dan kesiut anging, sebagai latar suaranya. 

Setelah beberapa menit menari-nari, kau akhirnya kelelahan. Tingkah menggemaskanmu pun berhenti, padahal aku berharap kau melakukannya lebih lama lagi. Kau lalu menghampiriku, menarik tanganku menuju sebuah titik. Dengan sedikit memaksa, kau kemudian memintaku untuk duduk di sampingmu, menikmati suasana sore yang hampir berlalu.

Kuletakkanlah kamera tepat di depan kita, menyorot kita, agar aku laluasa merangkulmu. 

“Kau lihat senja di sana?” tanyamu sambil menunjuk ke tepi barat, saat kita tengah duduk bersanding di ujung pantai yang pasangnya mulai meninggi.

Aku pun menoleh padamu, kemudian membelai rambutmu yang aur-auran diterpa angin laut. “Memangnya ada apa dengan senja?”

Kau lalu menyandarkan kepalamu di bahuku. “Entahlah. Kadang-kadang senja membuatku cemas. Senja bagaikan pembatas antara dua hal yang berlawanan. Antara siang dan malam, terang dan gelap, kenyataan dan harapan, atau antara kebersamaan dan perpisahan,” katamu, dengan tatapan yang sayup-sayup, sembari menyusupkan jari-jarimu di antara jari-jariku; menyandingkan dua cincin pernikahan kita. “Aku takut jika senja berlalu, dan kau tak lagi di sampingku.” 

Mendengar kecemasanmu itu, seketika, membuatku yakin atas kesetiaanmu. “Kau tak usah khawatir. Biar pun hari-hari berganti dan semuanya berubah, aku tak akan pernah meningggalkanmu. Anggaplah aku seperti gulungan ombak yang selalu memeluk pantai, kau,” balasku, sembari mengelus-elus punggung telapak tanganmu.

Kau lalu menarik kepalamu dari bahuku, memandangiku, seperti meminta penegasan. “Bagaimana aku bisa memegang janjimu? Bagaimana agar aku yakin bahwa hatimu tak akan berpaling kala waktu mengubah segalanya?”

“Memang tak ada yang abadi. Aku tahu, suatu saat kau akan menua dan tak secantik sekarang. Aku tahu, suatu saat kita akan terpisah oleh maut. Tapi yakinlah, di antara ketidakabadian itu, kau tak akan tergantikan. Hari ini, aku mendekapmu untuk menyusun kenangan. Esok ketika kau ditakdirkan pergi lebih dulu, aku akan tetap bersamamu, dalam rangkaian kenangan,” terangku, sambil menatap bola matamu yang jenih.

“Bagaimana jika kebersamaan kita hanya sejenak, lalu kenangan tentangku dalam memorimu, terkubur, bahkan terganti dengan kenangan yang lain, oleh perempuan yang lain?” tanyamu lagi.

“Aku tak akan pernah mendekap raga yang lain, hingga kaulah satu-satunya penghias kenanganku selamanya,” tuturku, lalu menarik bahumu, menjatuhkanmu kembali dalam pelukanku.

Seketika, kau tampak tersipu dan bersandar manja di pundakku. Kau seperti meyakini saja, bahwa aku tak akan berpaling ke lain hati. 

Dan tak sampai setengah jam, semua menjadi gelap, seperti malam yang mengganti siang. Kebersamaan kita dalam layar persegi pun, berakhir. Aku tak merekam lebih lama lagi tentang kebersamaan kita di hari-hari terakhir itu. Sampai akhirnya, peristiwa memilukan terjadi: kau direnggut waktu lebih dahulu, menghilang di tengah laut dalam sebuah kecelakaan kapal, tepat delapan tahun lalu. Jasadmu, hilang entah di mana, tapi tidak dengan kenanganku bersamamu.

Hari-hari pun berganti begitu cepat. Segalanya turut berubah. Dalam kesendirianku sepanjang waktu, tak bisa jua kutepis bayang-bayang lain yang menerobos masuk ke dalam memoriku. Sebuah bayangan diri yang sedikit demi sedikit, turut mengisi ruang memoriku. Hingga akhirnya, hari ini, tepat di titik kau bertingkah lugu sewindu lalu, aku hendak menyampaikan maaf padamu, sebab esok, aku akan menghianati janjiku: aku akan menikah dengan seorang wanita yang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar