Rabu, 31 Mei 2017

Harga Diri

Hari ini, Juhri tak ikut kondangan. Padahal yang berhajat adalah tetangganya sendiri. Bahkan lokasi acara dengan rumahnya, cuma diselingi tiga buah rumah dan sebuah masjid. Tapi sebagaimana ketetapannya sedari awal, ia tak akan melangkahkan kaki ke sana. Banyak hal yang ia takutkan, terutama omongan miring orang-orang kala ia muncul di kerumunan warga.
 
Tak hadir kondangan, tak lantas membuat Juhri aman. Seperti biasa, ia tahu, anaknya, Karim, akan merengut dan memaksanya turut. Juhri tahu pasti, kalau Karim, seorang anak laki-laki yang manja, tak akan senang menghadiri acara tanpa dirinya. Seperti dulu, anak kelas II SD itu akan hadir di satu acara dengan tujuan utama: menyombongkan dan mengelu-elukan sang ayah saat berceramah, di antara teman-teman sepermainannya.

Demi mengantisipasi sikap Karim, jelas saja, Juhri telah mempersiapkan sejumlah alasan. Bakal alasannya, klasik. Ia akan pura-pura tak enak badan dengan segala macam komplikasi penyakit, hingga sang anak iba dan tak memaksa lagi. Berbohong pada anaknya sendiri, rela ia lakukan sekali ini saja, ketimbang harus setengah mati menegakkan harga diri di tengah kerumunan warga.

Dan sebagaimana biasanya, setiap kali ada hajatan, anak-anak sekolah di desa akan dipulangkan sebelum waktunya, sebab guru-guru juga butuh waktu untuk mempersiapkan diri menuju acara. Semua  ingin hadir di pesta dengan penampilan terbaik. Maka, saat masih jam 10 siang, Karim pun tiba di rumah dengan riang-gembira. Cekatan, ia bergegas mengganti seragam sekolahnya dengan pakaian pesta yang pantas.

Setelah merasa siap, Karim pun menghadap kepada ayahnya. “Aku sudah siap ke pesta, Ayah!” serunya, sambil memamerkan penampilannya pada sang ayah yang tengah berselonjoran di atas sofa. Dan setelah menyaksikan penampilan ayahnya yang biasa saja, ia mulai menaruh curiga. “Ayah tak pergi ke pesta pernikahan?”

Sambil melepas batuk yang dibuat-buat, Juhri pun memelas. “Hari ini, aku merasa tak enak badan, Nak. Badanku panas dingin. Aku sakit kepala dan sempoyongan. Sepertinya, aku tak bisa hadir, Nak.”

Karim pun jadi bersungut-sungut. “Ayah…,” keluhnya, bermaksud membuat sang ayah iba. “Kalau tidak sama Ayah, aku pergi dengan siapa? Ibu kan ke kampung, dan tak tahu kapan pulangnya.”

Juhri lalu bangun dari pembaringan. Ia kemudian merangkul dan mengusap-usap rambut anak semata wayangnya. “Maafkan aku, Nak. Tapi kali ini, aku benar-benar tak  bisa.”

Raut wajah Karim, semakin muram. Ia seakan tak terima dengan keputusan ayahnya, meski dengan alasan apa pun.

“Kau pergi sendiri saja, Nak. Kan acaranya cuma di seberang rumah. Kau hanya perlu berjalan kaki beberapa detik, lalu sampai,” pesan Juhri, terkesan memohon.

“Aku ingin pergi kalau sama Ayah! Aku malu jika harus pergi sendiri! Aku takut teman-teman sekolah akan memandang rendah padaku,” bantah Karim. Jelas saja ia masih ingat rasanya hadir di pesta dengan tamu terhormat.

Mendengar keluh-kesah anaknya, Juhri kembari teringat di hari-hari kemarin, saat ia masih berstatus sebagai tokoh agama, sebagai seorang imam desa. Di masa itu, dengan berwibawa, ia sering berceramah di acara pernikahan warga desa, dengan pesan utama: menjaga keluarga dari perbuatan tercela.

“Apa Ayah tak dipanggil untuk berpidato lagi?” tanya Karim yang masih belum mengetahui status sang ayah di struktur pejabat desa dan di mata masyarakat.

“Yang ceramah nanti, bukan aku, Nak. Yang punya hajatan memanggil penceramah dari luar,” tutur Karim. “Pergilah, Nak. Kali ini, Ayah tak bisa menemanimu.”

Tanpa senyuman dan kata-kata lagi, Karim pun melangkahkan kaki dengan berat. Ia pergi ke pesta tanpa tahu kalau Ayahnya hanya pura-pura sakit. Ia pergi tanpa tahu kalau ayahnya telah mengundurkan diri sebagai imam desa. Dan ia juga tak akan sampai tahu kalau pengunduran diri ayahnya itu, berhubungan dengan kepergian ibunya. Yang sesungguhnya terjadi, ibunya tidaklah sekadar pulang kampung, tetapi juga menghindari hujatan warga desa, setelah ia ketahuan menggelapkan dana pembinaan keagamaan desa untuk kepentingannya sendiri.

“Nak, kalau warga desa tanya tentang aku, bilang saja kalau aku sedang sakit,” pesan Juhri, seakan butuh meyakinkan sang anak atas alasan yang sedari tadi diungkapkannya.

Karim menggangguk pelan sambil berungut-sungut, kemudian meneruskan langkahnya, pergi ke pesta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar