Kamis, 25 Mei 2017

Goresan Luka

Darmin kagum melihat keponakannya, Musli. Anak muda yang membantunya mengelola usaha perdagangan beras itu, sungguh cerdas. Enam bulan bekerja, usaha dagang yang dikelolanya, mengalami perkembangan pesat. Maklumlah, Musli memang sarjana ekonomi yang baru saja datang dari kota. Darmin memintanya pulang kampung, dan Musli menerimanya dengan senang hati.
 
Melihat kedewasaan Musli, sungguh membuat Darmin bangga. Ia bak ayah kandung yang melihat anaknya sukses. Itu tak berlebihan, sebab Darmin telah menganggap Musli sebagai anak kandungnya sendiri. Apalagi, ia memang tak dikaruniai anak sepanjang pernikahannya. Sedangkan Musli, telah ditinggal pergi kedua orang tuanya semasih duduk di kelas II sekolah dasar, pada sebuah kecelakaan mobil. 

Demi kebaikan Musli, Darmin rela memosisikan dirinya sebagai sosok ayah yang baik. Semua dilakukannya tanpa pamrih. Bahkan sampai saat ini, ia tetap memegang teguh janji kepada ayah Musli, sebelum saudara kandungnya itu, pergi untuk selama-lamanya. Ia telah berjanji untuk mendidik Musli agar menjadi orang yang sukses. Dan janji itu, kini, tampak jadi kenyataan.

Atas kasih sayangnya yang mendalam pada Musli, kecemasan pun sering kali melanda perasaan Darmin. Seperti juga malam ini. Sudah hampir  jam 12 malam, Musli tak juga tiba di rumah. Padahal biasanya, ia akan sampai sekitar jam 10 malam, tak berselang lama setelah gudang penjualan beras, ditutup. Jelas saja, ada kekhawatiran dalam perasaan Darmin, kalau-kalau terjadi apa-apa dengan keponakannya itu.

Setelah menunggu untuk waktu yang terasa begitu lama bagi Darmin, Musli akhirnya tiba di rumah. Tapi kali ini, ia datang dengan segudang tanda tanya. Setelah turun dari mobil yang dikendarainya seorang diri, tampaklah tubuhnya yang mengenaskan. Tampilannya aur-auran. Pelipis kanannya, lebam. Bahkan lengan kanannya terluka, seperti terkena sabetan senjata tajam.

“Apa yang terjadi, Nak?” tanya Darmin seketika, sembari menuntun Musli mamasuki rumah.

“Beberapa orang, mencuri di gudang beras, Paman. Mereka menguras habis uang yang tersimpan di sana,” tutur Musli, lalu terdiam sejenak, mengendalikan napasnya yang terengah-engah. “Aku telah mencoba menghalau mereka. Tapi aku menyerah. Aku kalah jumlah.”

Darmin benar-benar tersentak mendengar kabar itu. Ia tak menduga, ada juga berandalan yang berani bertindak sadis di kampungnya yang tak terlalu ramai. “Tapi kau baik-baik saja kan? Apa perlu aku membawamu ke rumah sakit?”

Musli melepaskan batuknya. “Aku baik-baik saja, Paman. Luka yang kualami juga tak terlalu parah. Sebaiknya, aku diobati di rumah saja. Apalagi, sekarang sudah lewat tengah malam, sedangkan jarak menuju rumah sakit lumayan jauh,” tutur Musli.

Darmin kemudian membaringkan Musli di atas kasur. Dengan cekatan, ia mengobati luka Musli yang tidak terlalu parah.

Mendengar apa yang telah terjadi, benar-benar membuat Darmin terkesan pada Musli. Sungguh, rumor buruk atas diri Musli, tak pernah berhasil menghasutnya. Omongan-omongan orang bahwa Musli berlaku tak terpuji di belantara kota, menjadi penikmat minuman keras dan barang-barang haram, tak dihiraukannya juga. Baginya, mustahil orang sebertanggung jawab keponakannya, melakukan tindakan seperti itu.

Dan setelah melilitkan perban di lengan Musli, Darmin pun menuturkan pesan dari ayah Musli yang sedari dulu disimpannya. Ia merasa, sekaranglah saatnya. “Nak, mungkin sudah waktuya aku menyampaikan sebuah wasiat dari ayahmu.”

“Ayahku punya wasiat, Paman?” tanya Musli seketika.

“Iya. Menjalang kepergian ayahmu dahulu, ia berpesan padaku untuk menyimpan rahasia besar padamu,” kata Darmin, lalu menarik napas dalam-dalam untuk memantapkan niatnya. “Sejujujrnya, kau tak pantas menganggap dirimu sebagai pesuruhku, Nak. Usaha perdagangan beras yang selama ini kita kelola, sesungguhnya milikmu. Ayahmulah yang dulu mendirikannya.”

“Apa?” tanya Musli, tersentak.

“Tapi sesuai pesan ayahmu, aku tak boleh memberitahukannya padamu, sebelum kau dewasa dan siap mengelolanya dengan baik. Dan melihat sikap dan tanggung jawabmu selama ini, aku rasa, sudah saatnya kau mengambilalihnya dariku,” terang Darmin.

Kali ini, Musli benar-benar kaget. Ia tak menyangka, skenario besarnya adalah perbuatan sia-sia. Ia tak menyangka, keputusannya menggoreskan luka pada dirinya sendiri dan memperlakukan tubuhnya dengan zalim hanya untuk mengambil uang lebih dari yang selama ini ia dapatkan sebagai gaji dari Darmin, tak ubahnya muslihat yang tak perlu.

“Apa kita perlu lapor polisi?” tanya Darmin, setelah Musli hanya termangu mendengar penjelasannya.

Musli menggeleng. “Sebaiknya jangan, Paman.”  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar