Untuk
hatiku yang tak pernah terjamah, darimulah aku belajar artinya memendam. Setelah
perkenalan kita di awal waktu, aku mulai belajar bahwa ada seni dalam hati
setiap pengagum rahasia. Seni itu kadang menjelma sebetuk gambar-gambar nan
mengangumkan, atau nada-nada yang menyentuh hati, juga kata-kata yang indah.
Di
sela-sela waktu memendam itu, aku juga belajar tentang harapan darimu. Tentang
betapa menegangkannya mengantungkan nasib perasaan pada orang lain, atau tentang
candunya menggantungkan perasaan orang lain. Entah siapa di antara kita yang
menggantungkan atau digantungkan. Yang pasti, selama memendam, aku menikmati
asyiknya debaran jantung sekian lama, yang tak berakhir dengan kata-kata
kepastian.
Setelah
merasa puas bermain-main dalam ketidakpastian, datanglah juga inginku mencoba nuansa
baru. Kukira, ada baiknya juga untuk belajar soal suka-duka menyayangi. Aku
ingin tahu, bagaimana menantangnya terus-menerus menampakkan perhatian padamu,
sembari membunuh kejemuan untuk kegiatan yang berulang-ulang, semisal bertanya
tentang kabarmu setiap saat atau memelukmu kala bersedih.
Sebagaimana
seharusnya, untuk berbagi kasih sayang secara nyata, kita butuh ikatan yang
pasti, yang lebih dari sekadar pertemanan. Kita butuh mengikatkan diri dalam
hubungan penghambaan, di mana kita tak patut lagi bertanya tentang alasan berkasih
sayang, tetapi kita terikat dalam rangkain kewajiban yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Untuk itu, aku pun menyatakan perasaan padamu, dan kau
menerimanya dengan senang hati.
Di
waktu-waktu setelah kita menyatakan perasaan, aku senantiasa membuaimu
dengan kata cinta, seakan-akan itu adalah jaminan atas kesetianku. Aku pun memaksa diriku
sendiri untuk memperbarui kata cinta itu dalam varian yang berbeda, setiap waktu. Entah dengan
simbol, puisi, atau lagu. Hingga akhirnya, kau pun memasrahkan diri padaku. Kau
seakan hidup dalam surga imajinasi yang kau bangun atas kata-kata cintaku, dan
kau tak bisa ke mana-mana lagi.
Tapi
sebagaimana yang ditakutkan, rasa bosan akhirnya menggerayangiku juga. Aku merasa
jenuh dalam rutinitas hubungan yang itu-itu saja. Aku ingin nuansa yang berbeda
dari sebelumnya. Dan untuk tujuan itu, aku ingin perubahan. Aku berhasrat merasakan candunya kekecewaan
atas sebuah perpisahaan. Sebab kurasa, perlu juga belajar tentang keilkhlasan dalam
melepaskan.
Untuk
benar-benar berpisah, tentu itu tak mudah bagimu. Kutahu betul, kau telah dipasung
oleh kata cinta. Kau telah dikerangkeng dalam dunia khayal bersamaku. Tapi itu
urusanmu. Aku merasa tak punya kepentingan dengan itu. Yang kubutuh hanyalah
rasaku sendiri terhadapmu. Jadi, jika darimu aku pernah menikmati rasanya memendam dan menyayangi, aku pantas
juga menikmati rasanya menyakiti.
Akhirnya,
tepat saat ini, aku menyatakan perpisahan padamu. Aku ingin kau menganggap semua kisah tetang
kita, sebagai hiburan dan pelajaran semata, sama seperti yang kulakukan. Jikalau semua kisah tentang kita
itu tak tergambar dalam dunia nyata, maka hidupkanlah dalam
dunia imajinasi.
“Tidakkah
kau merasa berdosa telah menyakiti perasaan wanita dengan cara yang sadis?” Satu sisi
hatiku yang berhubungan dengan dunia nyata, memberi nasihat.
Tapi
aku, di sisi dunia imajinasi, merasa tak punya salah sedikit pun. “Tapi apa
yang kuperbuat, tidaklah menyakiti siapa-siapa. Itu malah menyakiti diriku
sendiri.”
“Kau
bilang tak melukai siapa-siapa, tapi kau menyebarkan luka di balik
harapan-harapan yang kau susupkan di setiap rangkaian kata ceritamu. Kau memang
terlalu angkuh untuk menyadari kalau dengan cara itu, kau telah melukai seorang
wanita, atau malah melukai banyak wanita. Kau benar-benar pendosa,” kata sisi
kanyataanku.
“Apa salahku? Aku hanya menulis?” sergah aku
di sisi imajinasi.
“Salahmu?
Ya, karena kau menulis. Kau menulis seakan-akan itu bukan tentang siapa-siapa.
Kau menulis seakan-akan semua cuma hasil karanganmu. Tapi kau bohong! Ada
seseorang yang selalu hidup dalam tokoh ceritamu!” hardik sisi kenyataanku lagi.
“Lalu,
apa salahnya? Toh, dia tak akan pernah tahu, sebab aku tak pernah mengatakannya
secara langsung. Aku hanya menuliskannya,” kataku, di sisi imajinasi.
“Kau
belum tahu kalau menulis itu adalah bentuk kejahatanmu? Kau menulis kata-kata dan
menganggap semua itu hanya urusanmu. Kau menulis kata-kata seakan-akan kau tak
berharap seseorang saja atau bahkan semua orang membacanya. Kau bohong!”
tegas diriku di sisi kenyataan. “Sadarlah! Kau berdosa karena kau telah menulis cerita, sambil berdoa
semoga satu hati yang kau tuju, mengejanya sambil berharap-harap cemas!”
Dan tiba-tiba, aku mengingatmu.
Seketika,
aku pun hendak memendam saja semua yang kurasakan padamu, pada dirimu yang
selama ini hanya hidup dalam cerita-ceritaku. Bahkan aku hendak mengurainya dari awal,
lalu menghapus semuanya. Tapi lagi-lagi, dengan dosa yang kusadari, aku
terlanjur menuliskannya.
Maaf.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar