Jumat, 12 Mei 2017

Jangan Kau

Sejak dahulu, di awal perkenalan kita, aku tahu kau telah menyukaiku. Tanpa penegasan pun, aku bisa menerkanya. Isyarat-isyarat yang kau berikan, jelas membuatku pantas meyakini itu. Tentang sikapmu yang gugup saat kita bersetatap, tutur katamu yang terbata-bata jika kita mengobrol, atau kebiasaanmu memerhatikanku secara diam-diam, adalah serangkaian tanda hati yang selalu kau tunjukkan.
 
Dalam durasi kebersamaan kita yang berlangsung lama, di awal-awal, sikapmu tampak biasa saja. Seperti perempuan pada umumnya, kau hanya bisa menampakkan isyarat hati, sembari menunggu seorang lelaki untuk menegaskan perasaannya kepadamu. Tapi belakangan, kau tampak berbeda. Kau jadi lebih berani untuk bertanya tentang perasaan kepadaku, bahkan kepada lelaki  yang lain, dengan cara yang lebih gamblang.

Kini, wujud perhatianmu terlihat jelas. Kau suka dekat-dekat padaku dengan segala alasan yang kau buat-buat. Kau suka bertanya kepadaku tentang soal-soal yang seharusnya kau tahu sendiri jawabannya. Bahkan kepadaku, kau suka berbasa-basi perihal topik yang remeh-temeh. Dan jelas bisa kupastikan bahwa kaulah yang lebih sering menyapaku lebih dahulu, ataukah bertanya tentang kabarku lebih sering. 

Dari semua sikapmu kepadaku, kau harus tahu jika sudah tak ada jalan untuk merenggut hatiku. Tingkah lakumu, tak akan sedikit pun berpengaruh. Semua sudah terlambat. Aku telah menutup hatiku untukmu, atau untuk perempuan mana pun juga. Aku tak akan pernah mencintai siapa-siapa lagi, selain dia yang telah lebih dahulu merenggut perasaanku di masa lalu. Hanya kepadanyalah aku berharap tentang cinta yang abadi.

Memang sial bagimu, sebab pengharapanku pada seorang wanita yang kumaksud, tak akan lekang oleh waktu. Tak akan ada yang bisa menggantikanya dalam memoriku. Bahkan ia terus beranak-pinak dalam bentuk kenangan. Waktu pun tak akan bisa menghapus lembaran kenangan yang telah kutumpuk dalam waktu yang panjang itu. Semua akan abadi, sebagaimana cinta yang tak terpatri pada raga, tapi pada rasa yang tak akan pernah mati.

Sungguh, karena dialah, aku tak pernah benar-benar sendiri dalam hidup. Aku memeluknya begitu dalam, meski itu hanya dalam angan dan mimpiku. Raganya tak sempat kumiliki, hingga ia jatuh di pelukan raga yang lain. Isi hatiku tak sempat terucap, hingga ia terikat pada hati yang lain. Diriku terlalu tegar memendam, sedang dia tak tahan menunggu waktu. Sampai ujung-ujungnya, yang tersisa hanya pengharapanku yang tak berujung.

Karena rasa yang tak sampailah, aku memilih tak mengikatkan perasaan pada perempuan yang lain, termasuk kau. Aku memilih berharap pada cintanya, meski kenyataan telah membuatku kecewa berulang kali. Dan sampai kapanpun, aku tetap terperangkap dalam dilema yang sama. Aku tak bisa berpaling, sebab aku membenci diri yang terlanjur kucintai. Aku ingin melupakannya, sedang di saat yang sama, aku ingin selalu mengingatnya. 

Pangkal dari persoalan ini, adalah kesalahanku sendiri. Aku terlalu gemar menumpuk kenangan tentangnya sepanjang waktu. Membuatnya merajai anganku sendiri. Sampai kanangan itu pula yang membuatku tak bisa lepas dari jerat bayang-bayangnya. Kurelakan saja perasaanku terluka, tanpa ia tahu. Dan atas itu, ia tak patut kupersalahkan. Semua itu terjadi karena aku terlalu mencintai angan-anganku. Aku terlalu mencintai ilusi yang tak mungkin lagi jadi kenyataan.

Dan, pada satu sore di pelataran kampus yang sepi, kau kembali bertanya tentang arah hatiku. Sebuah pertanyaan yang tak ingin kudengar darimu. “Apa kau tak pernah berniat untuk mendapatkan seorang kekasih?” tanyamu, saat kita sudah melewatkan waktu yang banyak untuk berbasa-basi.

Aku pura-pura bersikap polos dan tak paham maksud pertanyaanmu, “Memangnya kanapa?”

Kau tampak kebingungan memberiku respons. Seakan takut isi hatimu terkuak. “Tak apa-apa. Aku hanya bertanya. Aku penasaran saja, sebab sedari dulu aku mengenalmu, tapi kau tak sekali pun memiliki seorang kekasih. Kau masih normal kan?” tanyamu.

Aku jelas sedikit tersinggung. “Ya, iyalah. Anggaplah aku seperti lelaki yang lain. Aku hanya ingin sendiri saja.”

“Aku tak percaya,” sergahmu. “Aku paham, tak ada orang yang benar-benar ingin sendiri. Kemungkinannya hanya dua: bisa jadi karena tak punya nyali untuk mengungkapkan perasaan, atau karena hati telah dilukai begitu dalam oleh harapan dan kenyataan cinta. Kau yang mana? Kau harus memilih, sebab jika bukan kedua-duanya, berarti kau bukan lelaki yang normal, karena kau telah dewasa dan tampak tak berhasrat pada seorang wanita pun,” cerocosmu, sambil menatap mataku dalam-dalam.

“Aku kedua-duanya!” tegasku, seperti berat memilih salah-satunya.

Kau malah tergelak. “Siapa perempuan-perempuan itu?”

“Kurasa, kau tahu,” jawabku segera, tanpa sedikit pun keberanian untuk berkata jujur, bahwa kaulah sosok yang kumaksud selama ini. Yang kumaksud “dia” adalah kau.
 
Raut wajahmu tampak merenung. Seperti menerka-nerka perempuan yang kumaksud.

Seketika, kekasihmu yang ke sekian kalinya, datang manghampiri kita. Tak berlangsung lama, kau akhirnya pergi meninggalkan aku sendiri. Kau seakan lupa, bahwa kemarin-kemarin kau merengek, seperti memohon kepadaku untuk menjadi kekasihmu, kala hatimu sedang terluka oleh kekasih yang lain. Sekarang, lukamu telah sembuh ditinggal pergi seorang kekasih, hanya karena kau punya kekasih baru. Entah berapa kali sudah kau melakukan hal semacam itu. 

Dan lagi, aku terluka dan terus berharap untuk ke sekian kalinya, pada orang yang sama: kau. Aku memilih begini saja, sebab aku tak ingin menjadi orang yang ke sekian kalinya dalam hatimu, sedangkan menjadi yang pertama juga tak mungkin lagi. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar