Sejak
dahulu, di awal perkenalan kita, aku tahu kau telah menyukaiku. Tanpa penegasan
pun, aku bisa menerkanya. Isyarat-isyarat yang kau berikan, jelas membuatku
pantas meyakini itu. Tentang sikapmu yang gugup saat kita bersetatap, tutur katamu
yang terbata-bata jika kita mengobrol, atau kebiasaanmu memerhatikanku secara
diam-diam, adalah serangkaian tanda hati yang selalu kau tunjukkan.
Dalam
durasi kebersamaan kita yang berlangsung lama, di awal-awal, sikapmu tampak
biasa saja. Seperti perempuan pada umumnya, kau hanya bisa menampakkan isyarat
hati, sembari menunggu seorang lelaki untuk menegaskan perasaannya kepadamu. Tapi
belakangan, kau tampak berbeda. Kau jadi lebih berani untuk bertanya tentang perasaan kepadaku, bahkan kepada lelaki yang lain,
dengan cara yang lebih gamblang.
Kini,
wujud perhatianmu terlihat jelas. Kau suka dekat-dekat padaku dengan segala alasan
yang kau buat-buat. Kau suka bertanya kepadaku tentang soal-soal yang seharusnya
kau tahu sendiri jawabannya. Bahkan kepadaku, kau suka berbasa-basi perihal topik
yang remeh-temeh. Dan jelas bisa kupastikan bahwa kaulah yang lebih sering
menyapaku lebih dahulu, ataukah bertanya tentang kabarku lebih sering.
Dari
semua sikapmu kepadaku, kau harus tahu jika sudah tak ada jalan untuk merenggut hatiku.
Tingkah lakumu, tak akan sedikit pun berpengaruh. Semua sudah terlambat. Aku
telah menutup hatiku untukmu, atau untuk perempuan mana pun juga. Aku tak akan
pernah mencintai siapa-siapa lagi, selain dia yang telah lebih dahulu merenggut
perasaanku di masa lalu. Hanya kepadanyalah aku berharap tentang cinta yang
abadi.
Memang
sial bagimu, sebab pengharapanku pada seorang wanita yang kumaksud, tak akan
lekang oleh waktu. Tak akan ada yang bisa menggantikanya dalam memoriku. Bahkan
ia terus beranak-pinak dalam bentuk kenangan. Waktu pun tak akan bisa menghapus
lembaran kenangan yang telah kutumpuk dalam waktu yang panjang itu. Semua akan
abadi, sebagaimana cinta yang tak terpatri pada raga, tapi pada rasa yang tak
akan pernah mati.
Sungguh,
karena dialah, aku tak pernah benar-benar sendiri dalam hidup. Aku memeluknya begitu
dalam, meski itu hanya dalam angan dan mimpiku. Raganya tak sempat kumiliki, hingga
ia jatuh di pelukan raga yang lain. Isi hatiku tak sempat terucap, hingga ia terikat
pada hati yang lain. Diriku terlalu tegar memendam, sedang dia tak tahan
menunggu waktu. Sampai ujung-ujungnya, yang tersisa hanya pengharapanku yang
tak berujung.
Karena
rasa yang tak sampailah, aku memilih tak mengikatkan perasaan pada perempuan
yang lain, termasuk kau. Aku memilih berharap pada cintanya, meski kenyataan
telah membuatku kecewa berulang kali. Dan sampai kapanpun, aku tetap
terperangkap dalam dilema yang sama. Aku tak bisa berpaling, sebab aku membenci
diri yang terlanjur kucintai. Aku ingin melupakannya, sedang di saat yang sama,
aku ingin selalu mengingatnya.
Pangkal
dari persoalan ini, adalah kesalahanku sendiri. Aku terlalu gemar menumpuk
kenangan tentangnya sepanjang waktu. Membuatnya merajai anganku sendiri. Sampai
kanangan itu pula yang membuatku tak bisa lepas dari jerat bayang-bayangnya. Kurelakan
saja perasaanku terluka, tanpa ia tahu. Dan atas itu, ia tak patut kupersalahkan.
Semua itu terjadi karena aku terlalu mencintai angan-anganku. Aku terlalu
mencintai ilusi yang tak mungkin lagi jadi kenyataan.
Dan,
pada satu sore di pelataran kampus yang sepi, kau kembali bertanya tentang
arah hatiku. Sebuah pertanyaan yang tak ingin kudengar darimu. “Apa kau tak pernah
berniat untuk mendapatkan seorang kekasih?” tanyamu, saat kita sudah melewatkan
waktu yang banyak untuk berbasa-basi.
Aku
pura-pura bersikap polos dan tak paham maksud pertanyaanmu, “Memangnya kanapa?”
Kau
tampak kebingungan memberiku respons. Seakan takut isi hatimu
terkuak. “Tak apa-apa. Aku hanya bertanya. Aku penasaran saja, sebab sedari
dulu aku mengenalmu, tapi kau tak sekali pun memiliki seorang kekasih. Kau
masih normal kan?” tanyamu.
Aku
jelas sedikit tersinggung. “Ya, iyalah. Anggaplah aku seperti lelaki yang lain.
Aku hanya ingin sendiri saja.”
“Aku
tak percaya,” sergahmu. “Aku paham, tak ada orang yang benar-benar ingin
sendiri. Kemungkinannya hanya dua: bisa jadi karena tak punya nyali untuk
mengungkapkan perasaan, atau karena hati telah dilukai begitu dalam oleh
harapan dan kenyataan cinta. Kau yang mana? Kau harus memilih, sebab jika bukan
kedua-duanya, berarti kau bukan lelaki yang normal, karena kau telah dewasa dan
tampak tak berhasrat pada seorang wanita pun,” cerocosmu, sambil menatap mataku
dalam-dalam.
“Aku
kedua-duanya!” tegasku, seperti berat memilih salah-satunya.
Kau
malah tergelak. “Siapa perempuan-perempuan itu?”
“Kurasa,
kau tahu,” jawabku segera, tanpa sedikit pun keberanian untuk berkata jujur,
bahwa kaulah sosok yang kumaksud selama ini. Yang kumaksud “dia” adalah kau.
Raut
wajahmu tampak merenung. Seperti menerka-nerka perempuan yang kumaksud.
Seketika,
kekasihmu yang ke sekian kalinya, datang manghampiri kita. Tak berlangsung
lama, kau akhirnya pergi meninggalkan aku sendiri. Kau seakan lupa, bahwa
kemarin-kemarin kau merengek, seperti memohon kepadaku untuk menjadi kekasihmu, kala
hatimu sedang terluka oleh kekasih yang lain. Sekarang, lukamu telah sembuh
ditinggal pergi seorang kekasih, hanya karena kau punya kekasih baru. Entah berapa
kali sudah kau melakukan hal semacam itu.
Dan
lagi, aku terluka dan terus berharap untuk ke sekian kalinya, pada orang yang
sama: kau. Aku memilih begini saja, sebab aku tak ingin menjadi orang yang ke sekian
kalinya dalam hatimu, sedangkan menjadi yang pertama juga tak mungkin lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar