Rabu, 31 Mei 2017

Anak Penjajah

Tak ada jadwal mengajar untuk dosen hari ini. Semua ruangan terpakai untuk penyelenggaraan ujian tertulis masuk perguruan tinggi. Tapi bukan berarti dosen tak punya kegiatan. Negara telah memperbantukan mereka sebagai pengawas ujian. Mereka wajib memastikan proses ujian berjalan dengan baik.
 
Namun belum jam istirahat, Mulkan, sang dosen pengawas, sudah keluyuran lebih dahulu. Kepada temannya, ia beralasan sedang penat dan butuh minum. Padahal sejujurnya, ia bosan saja harus serius mengamati anak baru gede yang juga serius mengerjakan soal. Ia tak mau ambil pusing dengan cara apa para colon mahasiswa itu melulusi ujian.

Sejujurnya, ada juga sedikit rasa bersalah dalam hati Mulkan tiap kali meninggalkan tugas sebelum waktunya. Apalagi, ia digaji atas pekerjaan itu. Tapi ia sudah terbiasa melakukannya. Pada jam-jam mengajarnya sebagai dosen pun, ia sudah terbiasa mempermainkan waktu. Dan beruntung, ia tak pernah mendapat ganjaran apa-apa.

Kantin akhirnya menjadi tempat Mulkan mengulur waktu.

Setelah duduk beberapa saat di salah satu bangku, terlihatlah olehnya seorang lelaki tua yang duduk tak jauh dari arah depannya. Lelaki berpakaian kusut itu, tampak asyik menyeruput kopi hitam seorang diri. Dan timbullah keinginan Mulkan untuk mengobrol dengan sang lelaki yang mungkin telah berstatus kakek. Hitung-hitung, ia hendak beredekah hari ini.

Tanpa menunggu waktu, Mulkan pun mendekat, kemudian berkenalan dengan lelaki yang rambutnya hampir semua beruban. “Ngomong-ngomong, ada urusan apa Om Burhan ke sini?” tanya Mulkan setelah menawarkan sepiring gorengan.

“Aku mengantar cucuku. Kebetulan, dia juga ikut ujian hari ini,” jawab Burhan, sambil tersenyum bangga. Ia merasa senang melihat keramahan Mulkan. Apalagi sedari pagi, ia hanya sibuk memerhatikan penghuni kampus yang saling mengabaikan.

Mulkan mengangguk-angguk. “Cucu Om, ingin masuk jurusan apa?”

Sejenak, Burhan mencoba mengingat-ingat. “Kalau aku tak salah, ia ingin masuk jurusan akuntansi.”

Lagi-lagi, Mulkan mengangguk-angguk. Seperti hendak mengesankan kalau ia penuh perhatian atas obrolan itu. 

“Kau sendiri sedang apa? Mengantar anak?” Burhan balik bertanya, sembari mencicipi gorengan yang sedari tadi ditawarkan lawan bicaranya.

“Oh, tidak Om. Aku belum beristri. Hari ini, aku mengawas anak-anak ujian,” kata Mulkan, sambil tersenyum.

Mata Burhan menatap tajam, seperti ingin memastikan tebakannya, “Kamu dosen?”

Mulkan mengangguk lagi. Kali ini ia bermaksud mengatakan ‘iya’.

“Luar biasa. Masih muda sudah jadi dosen,” puji Burhan, diikuti decak-decak kagum. “Tiga tahun lalu, anak bungsuku juga ingin jadi dosen di fakultas ekonomi ini, sama sepertimu. Tapi ya, sistem telah banyak berubah. Kampus sudah otonom. Apa-apa, butuh jaringan,” kata Burhan, sambil memberikan isyarat tanda kutip dengan kedua jari telunjuk dan jari tengahnya.

Perhatian Mulkan, seketika tertuju pada kisah yang dituturkan Burhan. Ia terdiam saja, sambil mendengarkan dengan takzim.

“Sekarang, menjadi pemenang, tidak lagi didasarkan kemampuan pribadi, tapi latar belakang keluarga. Kalau punya orang tua pejabat, akan mudah jadi pejabat. Kalau tidak, ya, biar uang yang bicara. Kalau tidak ada uang juga, ya, apa boleh buat,” sambung Burhan setelah melihat Mulkan memerhatikannya saja dan tak hendak menyela.

Mulkan sedikit tersentak mendengar kesimpulan Burhan. Sebagai orang yang kini berada di dalam sistem, ia jelas memahami apa yang dimaksud lelaki tua itu.

“Di masa seleksi tiga tahun lalu itu, hanya satu kuota dosen untuk fakultas ekonomi. Dan sial, pesaing anakku adalah seorang anak rektor yang masih menjabat saat ini. Ya, akhirnya, anakku pun kalah dalam proses seleksi yang kurasa patut dipertanyakan,” kenang Burhan dengan raut wajah yang tampak menerawang jauh ke masa lalu. “Saat ini, keadilan memang mahal. Orang yang bertahta dan berduit, dengan tega mencuri hak orang lain demi kesenangan mereka sendiri.”

Mulkan semakin terenyuh. “Terus, anak Om sekarang di mana?”

Senyuman pun merekah di wajah Burhan. Cerita pahit yang baru saja dituturkannya, seakan terhapus. “Anakku sekarang ada di Amerika. Baru saja ia menyelesaikan studi lanjutannya di sana. Dan atas prestasinya yang gemilang, ia diminta jadi dosen oleh pihak kampusnya sendiri. Aku rasa ia akan menerima tawaran itu.”

“Syukurlah,” kata Mulkan dari lubuk hatinya. Ia sedikit merasa tenang mengetahui akhir kisah yang baik untuk anak Burhan, serasa ia menjadi bagian dari cerita perjuangan itu.

“Aku selalu yakin, orang punya jalan untuk sukses, asalkan sabar dan berusaha. Dan kesuksesan yang terbaik dan membahagiakan, adalah yang diraih melalui keringat sendiri, bukan hasil dari cara-cara culas,” tutur Burhan, seperti hendak menasihati semua jiwa-jiwa yang tak adil.

Mulkan bergeming saja mendengar itu.

Ujian selesai. Anak-anak berhamburan ke luar ruangan.

Selepas berbasa-basi sejenak untuk topik yang berbeda, Burhan pun undur diri untuk menemui cucunya, seorang perempuan, yang sedang menunggu di depan ruangan.  Ia bergegas pergi, tanpa menghadap lebih dahulu kepada pemilik warung.

Di sisi lain, Mulkan masih duduk saja. Ia tampak tertegun, merenungi isi obrolan yang baru saja berlangsung. Ia tak hendak beranjak segera untuk menemui adik perempuannya yang juga selesai mengikuti ujian, entah untuk bertanya atau memberikan semangat. 

Sebagaimana sikap orang tuanya selalu, Mulkan tak mau ambil pusing atas nasib sang adik. Kalaupun adiknya gagal, jalur mandiri masih terbuka. Dan keluarganya, punya tahta dan uang.

Setelah puas merenung, Mulkan pun beranjak. Tapi sebelum itu, ia akan menyelesaikan urusan tagihan dengan sang pemilik warung, Mijan.

“Ini, Pak,” kata Mulkan, sambil meyodorkan uang pecahan Rp. 50 ribu. “Itu sekaligus untuk membayar minuman bapak tua tadi. Selebihnya, ambil saja  buat Bapak.”

Mijan tersenyum. “Tapi, Bapak Burhan Mulia sudah bayar, Nak, pas ia pesan tadi.”

Burhan sedikit kecele. “Oh, tak apa-apa kalau begitu, Pak. Kembaliannya ambil saja semua,” katanya, kemudian berbalik, hendak melangkah pergi. Tapi, ia terganjal satu keanehan yang tiba-tiba muncul di benaknya, dan patut dipertanyakan. “Kok Bapak tahu nama lengkap bapak tua tadi?”

Mijan tersenyum lagi. “Dia itu mantan rektor empat periode yang lalu. Mantan rektor di sini!” tegasnya

Dan untuk ke sekian kalinya, Mulkan terperanjat. Dengan rasa kalah yang tak terperi di dalam hatinya, ia pun beranjak pergi. Jelas saja, sedari awal, ia merasa tak patut dianggap anak muda sukses, melainkan pecundang yang hanya bisa bergantung pada ayahnya. Ya, ayahnyalah, seorang rektor yang sedang menjabat saat ini, yang berhasil menyingkirkan anak Burhan saat ujian penerimaan dosen tiga tahun lalu, demi anaknya sendiri, Mulkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar