Jumat, 26 Mei 2017

Album Penutup

Hidup penuh pertentangan. Berharap untuk menyesal, bertemu untuk berpisah, bahagia untuk sengsara, seperti hakikat hidup untuk mati. Semua bersatu-padu dalam durasi yang tak menentu. Hanya soal waktu kapan pertentangan itu silih berganti. Sama halnya tentang rangkaian kisah kita yang penuh suka-duka, yang telah terseret waktu, menjauh dari masa lalu.
 
Entah siapa yang salah. Sepanjang waktu berlalu, kita larut saja dalam kebodohan yang sama. Menikmati kebersamaan dengan canda dan tawa. Membalut kenangan dengan perayaan kecil yang selalu kita elu-elukan. Bertindak seakan-akan siang tak lagi berganti malam. Padahal kita sama-sama paham, kalau semua itu, hanya semantara, hingga waktu mengubahnya jadi petaka.

Aku tahu betul, kita sama-sama takut di penghujung waktu kebersamaan. Di sepertiga durasi hidup rata-rata manusia biasa, yang telah kita lewati dalam kebersamaan yang mengesankan sebagai dua orang teman kecil, kita seakan-akan telah terperangkap kenangan dengan sejuta warna. Ada cerita panjang dari masa lalu yang tak ingin kita akhiri dengan cara apa pun.

Sampai akhirnya, kelulusan dari bangku sekolah menengah atas, benar-benar menjadi pembatas antara masa lalu dan masa depan kita. Seperti yang selalu kita takutkan semenjak mengerti arti cinta, kita akan berpisah, hingga tersakiti secara diam-diam. Kau akan pergi jauh ke daratan di seberang laut untuk menjadi pembelajar sejati, meninggalkanku, di antara lautan yang membentang luas.

Jelas, sedari awal, kita menyadari kalau kebersamaan akan berujung perpisahan. Tapi seperti biasa, kita selalu punya cara untuk menertawakan kekalutan dengan tingkah munafik. Bukannya berkeluh-kesah, kita malah pura-pura bahagia di detik-detik terakhir kebersamaan. Kita merayakannya. Entah dengan menyusuri bebukitan, melanglang ke tengah kota, atau mengobrol sampai lupa waktu.

Dan kurasa, menghabiskan waktu di puncak bukit, di tepi pantai, adalah momen paling berkesan di akhir kebersamaan kita. Di atas bukit batu yang curam, kita duduk sembari memandang ke arah matahari yang nyaris tenggelam. Kita bercanda dengan segala macam tingkah, hingga gelap memaksa kita pulang. Atau kita merenung, sambil menghitung jarak bentang lautan yang akan memisahkan kita.

“Jika daratan di ujung sana saja tak tampak, besok-besok, bagaimana caranya kita bisa saling mengindrai seperti sekarang?” ketusku, saat kita larut dalam kegalauan masing-masing.

Kau tergelak. Seperti tanpa beban. “Kau tahu, kita tak pernah merencanakan untuk bertemu, apalagi menjadi sahabat sekian lama. Semua terjadi begitu saja. Sampai akhirnya, kita harus menerima kenyataan bahwa besok, kita akan berpisah. Tapi sebagaimana katamu kalau hidup hanyalah kumpulan pertentangan yang silih berganti, maka besok, waktu akan mempertemukan kita lagi. Kita hanya perlu menunggu. Entahlah.”

Aku jadi terenyuh mendengar kata-kata itu, meluncur lancar dari mulutmu. “Tapi menunggu itu, penuh ketidakpastian. Aku takut jarak dan waktu akan menyesatkanmu dariku, hingga membuatmu lupa padaku.” 

Kau sontak menoleh padaku. Menatap mataku lekat-lekat. “Aku tahu. Tapi bukankah di sela jarak, selalu ada rindu yang merekatkan?” 

“Tapi bolehkah aku yakin kalau rindumu hanya untukku?” tandasku seketika.

Tiba-tiba kau mengalihkan pandanganmu ke langit, “Sepertinya gerimis. Bukankah sebaiknya kita pulang sebelum deras?”

Aku turut menengadah, lalu mengiyakan inginmu.

Akhirnya, tanpa menuntut penegasanmu atas maksud hatiku, kita beranjak pergi, menerobos titik-titik hujan yang tipis. Kita pulang dengan membawa teka-teki yang masih menggantung di langit-langit hati. Hingga di sepertiga sisa perjalanan pulang, hujan turun begitu deras. 

Tanpa pikir panjang, kupercepat laju sepeda motor di antara jarak pandangku yang terbatas. Dan tanpa kuduga, sebuah truk dari arah berlawanan, menapaki sisi lajur yang kulalui. Aku tertabrak. Terpelanting entah ke mana. Hingga semua jadi gelap. 

Tiga hari kulalui tanpa kesadaran. Aku jadi tak tahu apa-apa. Hingga akhirnya, aku pun siuman. Pelan-pelan, kusibak mataku dengan sedikit berat, sebab perban melilit kepalaku nyaris sampai menutupi alis. Dan kulihatlah diriku terbaring di kasur rumah sakit. Aku terbangun seperti anak yang baru saja terlahir di dunia. 

Dari arah sampingku, suara sanak-saudara, terdengar sangat riuh. Mereka mengucapkan kata-kata kesyukuran secara bertubi-tubi. Tapi di sela itu, aku mendengar kata-kata bermakna lain, kata-kata yang mencoba menguatkan hatiku. Dan ketika kuintip ujung kakiku sendiri, aku tahu maksud mereka. 

Air mataku pun menetes.
 
Dan tak berselang lama, kau pun datang menjengukku, meski seharusnya kau telah pergi ke pulau seberang.

“Bagaimana keadaanmu?” Kau bertanya dengan wajah semringah, seperti mencoba menghibur hatiku.

Kuterawang wajahmu baik-baik. “Kau siapa?”

Kau tampak menelan ludahmu sendiri. Seperti tak habis pikir. “Kau tak mengenaliku? Aku Elena, teman baikmu sejak kecil. Teman sekolahmu juga,” jelasmu, sambil menggenggam tanganku.

“Aku tak mengenalimu,” kataku lagi, tegas.

Berulang kali kau mencoba membangkitkan kenangan tentang kita, berulang kali juga aku mengelak, berkata kalau aku tak tahu atau tak ingat. Sampai akhirnya, kau pergi dengan perasaan kecewamu yang sangat mendalam. Perasaan yang kutahu jelas, begitu menyakitkanmu.

Dan hari ini, setelah kau benar-benar pergi ke pulau seberang, kusibak sealbum foto yang kau tinggalkan. Kurasa-rasa kembali kebersamaan kita di masa lalu yang begitu mengesankan. Dan jelas saja, aku masih mengingat semua rangkaian cerita di balik foto itu. Aku tak pernah sedikit pun melupakan tentangmu di alam kesadaranku. 

Kini, maaf atas semua kebohohongan yang telah kuucapkan. Kurasa, itulah yang sebaiknya kulakukan. Atas peristiwa tragis yang telah terjadi, aku tak pantas lagi berkhayal menjadi malaikat pelindungmu. Aku tak mungkin lagi menuntunmu mendaki bukit di tepi pantai, seperti kesenangan kita di hari-hari yang lampau. Sepasang kakiku telah tiada. Teramputasi.

Bersama kenangan yang masih membuncah di memoriku, kuejalah seuntai kata di balik sampul album foto yang kau tinggalkan: Satu pertentangan dalam hidup yang paling aku benci, bahwa kau mengingatku, lalu melupakanku. Aku mohon, berusahalah untuk mengingatku kembali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar