Senin, 10 April 2017

Misi Sahabat

Semua hal akan terasa sangat berharga di akhir-akhir waktu. Perjumpaan terasa berharga menjelang perpisahan, kebersamaan terasa bermakna menjelang perceraian, dan kesempatan terasa berarti menjelang terlewatkan. Begitu selalu. Serupa itu pula yang dirasakan Andra, lelaki pemalu yang tak kuasa mengungkapkan perasaannya pada sang pujaan hati. 

Diamnya Andra, bukan tanpa sebab. Sedari awal, ia memang sudah bertekad memendam perasaan hingga datang waktu yang tepat untuk mengungkapkannya. Waktu di kala cinta bukan lagi permainan. Tapi belakangan, ketenangannya sebagai pengagum rahasia, sedikit terusik oleh teman baiknya sendiri, Gibran.

“Apa kau menyukai Tiara?” tanya Gibran.

Andra menggeleng. “Tidak. Memangnya kenapa?”

“Tak apa-apa. Aku hanya ingin tahu. Selama ini, aku lihat, kau punya ketertatikan padanya. Dan sebaliknya, dia juga tertarik padamu. Kalian cocok,” puji Gibran.

Lagi-lagi, Andra menggeleng. “Itu tak penting.”

Beberapa saat kemudian, Gibran mengungkapkan rencanya, “Oke, baiklah. Jadi kau tak akan keberatan jika aku mendekatinya kan?”

Andra tak menolak, tak juga mengiyakan. “Aku yakin, kau tak akan berhasil. Dia itu wanita baik-baik. Dia tak seperti wanita-wanita yang selama ini mudah kau permainkan,” katanya, terkesan meremehkan.

Jelas saja, Gibran merasa tertantang. “Baiklah, akan kubuktikan.”

“Lagi pula, kau sudah punya wanita yang kau sebut pacar ketujuhmu itu! Mana mungkin wanita mau jadi yang kedua?” timpal Andra.

“Dasar kuper. Di mana-mana, wanita suka dianggap istimewa, dianggap terbaik. Kau harusnya tahu, seorang wanita akan suka jika seorang lelaki meninggalkan kekasihnya demi dia. Itu akan membuatnya merasa tak tertandingi!” tegas Gibran. “Apalagi, jika kau yang melakukannya. Wanita mana yang rela menolak bunga dariku?”

Andra berdecak. “Kurasa memang tak aka nada, kecuali dia!”

Setelah kesepakatan tak formal terjadi di antara mereka, sebenarnya, Andra merasa sedikit khawatir. Apalagi, ia telah menyaksikan sendiri, betapa tangkasnya Gibran dalam meluluhkan perasaan seorang wanita. Tapi ia tak ingin menyesali apa-apa. Setidaknya, hasil akhir permainan itu akan jadi bukti, apakah Tiara adalah wanita berhati tangguh sepeti yang diidam-idamkannya selama ini, atau tidak.

Seiring waktu, sesi-sesi pengujian pun berlangsung. Gibran memulai pendekatan secara perlahan. Prosesnya tak terlalu sulit. Apalagi, wanita itu memang teman sekampusnya sendiri. Langkah awal ia mulai dengan menelusuri kontak Tiara di dunia maya. Melalui saluran privat itulah, mereka saling mengobrol tentang banyak hal, lalu dipamerkan pada Andra. 

Jelas saja, emosi Andra jadi tak terkendali. Tanda-tanda bahwa ia harus kembali menerima pahitnya hidup sebagai pemendam, semakin menguat. Apalagi, kedekatan Gibran dan Tiara, tidak hanya terjadi di dunia maya yang multitafsir. Beberpa kali sudah, Andra harus menahan perihnya hati melihat sang wanita pujaan, berjalan seiring dengan sehabatnya itu.

Dan pagi ini, kala Andra tak kuasa lagi menahan kemelut perasaannya, ia pun mencoba mengakhiri semua teka-teki. Segera saja ia menghampiri Gibran yang tengah berjalan di samping Tiara. Tanpa aba-aba, bogem mentah pun dipelesatkannya ke perut Gibran. “Dasar lelaki berengsek! Aku mohon, jangan dekati Tiara lagi!”

Gibran yang masih menahan perih di ulu hatinya, benar-benar dibuat heran. Ia tak menyangka sahabat baiknya yang culun itu, berani juga bermain fisik. “Kalau kalah, jangan emosi begitu dong!”
Andra mendekati ke Gibran, bermaksud mendaratkan pukulan lagi.

“Hentikan! Ada apa denganmu Andra? Gibran itu sahabatmu sendiri!” seru Tiara, mencoba melerai.

Andra membatalkan niatnya. Menarik napas dalam-dalam. Perlahan menenangkan diri. “Baiklah, ini yang terakhir kalinya aku melihatmu dekat-dekat dengan Tiara. Besok-besok, jangan lagi. Kalau dengan perempuan lain, aku tak peduli. Tapi jangan dia!” bentak Andra, sambil menyolot ke arah wajah Gibran.

“Memangnya kenapa, Dra? Gibran kan temanku juga. Apa salahnya?” tanya Tiara. Masih belum mengerti tentang sebab pertengkaran dua sahabat itu.

“Itu karena aku peduli padamu. Aku tak ingin dia mempermainkanmu,” kata Andra, sembari menatap ke arah Tiara “Aku menyukaimu!” tegasnya, kemudian berlalu dengan rasa malu. Ia tak menduga akan berani bertutur selancang itu.

Di tengah kekalutannya atas apa yang telah terjadi, Andra kembali ke rumahnya. Ia bermaksud menenangkan diri dan tak ingin berjumpa dengan Gibran ataupun Tiara untuk jangka waktu yang belum ditentukan. Mungkin sampai ia bisa menerima kenyataan bahwa persahabatannya telah berakhir, sembali pasrah menyaksikan pernikahan Gibran dan Tiara, kelak.

Tapi hari ini juga, kala menjelang sore hari, Gibran segera menyusul Andra. Datang dengan raut wajah yang biasa saja. Seakan-akan, tak ada masalah yang terjadi di antara mereka. “Kau tak usah minta maaf atas kejadian tadi. Aku paham bagaimana perasaanmu,” kata Gibran sambil terkekeh.

Andra heran menyaksikan sikap sahabatnya itu. Ia pun bingung, harus bersikap bagaimana.
“Oh, iya, setelah kau mengutarakan isi hatimu pada Tiara siang tadi, sepertinya dia memperi respon yang baik. Setelah aku jelaskan, ia bisa paham,” kata Gibran. “Segera hubungi dia.”

Andra terlihat bengong.

“Aku serius!” tegas Gibran, lalu terkekah. “Kali ini, percuma jika kau bilang tak suka padanya. Lanjutkan, kawan!”

Andra pun mulai paham, misinya dan misi Gibran, kini sudah tercapai secara bersamaan. Satu tujuan yang telah direncanakan sahabatnya sedari awal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar