Rabu, 05 April 2017

Gadis Penjaja

Kejayaan Marni telah berlalu. Peruntungannya dari usaha menjual kue, tak lagi bisa diandalkan untuk memperoleh penghasilan yang cukup. Beragam jenis kue tradisional yang ia jajakan, tak lagi diminati orang-orang kekinian. Masyarakat lebih memilih kue-kue modern dengan cita rasa impor, yang unggul dari segi tampilan dan penyajian.

Zaman telah berubah. Marni tak bisa lagi memaksakan keadaan. Rasa dan kualitas bahan kue buatannya, memang tak ada yang berubah. Bakat berdagangnya pun, masih tampak pada kelihaiannya menawarkan jajanan. Yang berubah hanya tampakan dirinya. Wajahnya, tak lagi seelok dahulu.

Marni tak bisa menyalahkan siapa-siapa atas keadaannya. Sedari dulu, ia memang sadar bahwa akan datang suatu masa, saat ia tak mampu lagi menarik minat para pembeli. Ia akan menua, hingga tak  bisa lagi mengggugah selera para pemuda yang usil. Tapi ia tak mau menyerah begitu saja. Sedari awal, ia memang hanya berniat menjual.

Usaha Marni pun tetap berlanjut dengan hasil yang tak menguntungkan. Ia sering kali harus membawa pulang kue jualannya untuk jadi pengisi perutnya sendiri. Kalaupun ada kuenya yang terjual, pembelinya kebanyakan adalah anak-anak yang tak ada tujuan apa-apa selain makan kue. Kalaupun ada pemuda dewasa yang berminat, kemungkinan mereka hanya kasihan melihat dirinya letih menjunjung dan menjinjing kue jualan.

Tapi belakangan, sudah hampir sebulan, keuntungan usaha Marni, kembali meningkat. Ada Andini, anak bungsunya yang tengah libur kuliah. Seorang anak yang memiliki rupa sepertinya semasih muda: cantik. Anak gadisnya itulah yang menggantikan dirinya yang mulai sakit-sakitan, untuk menawarkan jajanan kepada para pembeli.

Keberhasilan Andini menjual kue, di luar dugaan Marni. Kue-kue, ludes terjual setiap hari. Bahkan, ia harus membuat lebih banyak kue lagi untuk memenuhi keinginan para pembeli. Dan karena keanehan itu pula, Marni memendam curiga kepada sang anak. Ia khawatir anaknya tak hanya menjajakan kue.

“Jualanmu laku keras, Nak,” puji Marni, bermaksud mengamati reaksi sang anak untuk menemukan jawaban atas kerisauannya selama ini.

Andini menoleh, dengan tangan yang lincah meramu adonan kue. “Hebat kan, Bu? Aku yakin, besok-besok, pendapatan dari hasil penjualan kue akan semakin meningkat,” tuturnya dengan senyum yang merekah manis.

Melihat reaksi anaknya, Marni semakin curiga kalau ada sesuatu yang disembunyikan sang anak. “Kau memang hebat, Nak. Aku bangga padamu. Tapi…”

“Tapi apa, Bu?” sergah Andini.

Marni berhenti meremas adonan kue. “Kau hanya menjual kue, kan?” sambungnya.

Dahi Andini mengernyit, tak paham arti pertanyaan ibunya. “Maksud Ibu?”

“Maksudku, kau tak dapat gangguan dari para lelaki, kan?” tanya Marni, segan, tak ingin membuat putrinya tersinggung. “Kau tahu sendiri, pemuda di sekitar sini banyak yang nakal-nakal. Kau tak menghiraukan mereka, kan?”

“Ya, iyalah, Bu. Aku hanya menjual kue. Ibu khawatir kalau aku menjual dengan cara yang tak benar? Ibu curiga kalau aku mendapatkan uang yang tidak halal?” tanyanya Andini, ingin memperjelas maksud ibunya.

Marni terdiam saja. Tak bisa mengelak kalau itulah maksud pertanyaannya.

Andini tergelak. “Jangan khawatir, Bu. Aku selalu pegang pesan-pesan Ibu, kalau kita menjual itu, harus dengan cara-cara yang baik. Aku bisa menjaga sikap di hadapan para pemuda usil kok, Bu.”

Seketika, Marni merasa sedikit tenang. “Kalau saja aku tahu dari dulu kalau kau bisa menjual kue dengan baik, mungkin lebih baik kau membantu Ibu mengembangkan usaha penjualan kue dari pada bersekolah,” tuturnya, bermaksud bercanda untuk mencairkan suasana.

Andini hanya membalas dengan tawa yang pendek.

“Tapi sebenarnya, aku masih penasaran, kenapa bisa kau membuat kue jualanmu laris manis. Padahal, kan, kau belum lama belajar menjual,” tanya Marni yang benar-benar ingin menuntaskan rasa penasarannya.

Andini tertawa lagi. “Ibu benar-benar tak tahu! Aku kan kuliah di fakultas ekonomi, Bu. Kalau masalah teknik jual-menjual dan cara mengelola untung-rugi, aku sudah paham, Bu. Makanya, aku tak menjajakan sendiri kue buatan Ibu. Aku titip saja di kios-kios. Lebih efektif begitu, Bu,” katanya. “Itulah gunanya sekolah.”

Seketika, setelah mendengarkan penuturan sang anak yang begitu meyakinkan, perasaan Marni pun jadi tenang. Rasa curiganya, sirna. Ia benar-benar merasa bangga.

“Bu, kalau hasil jualan kue terus meningkat dan hasilnya sudah banyak, aku saran sih untuk buat toko sendiri. Kita buat kue dengan merek sendiri. Kita kemas kue dengan sebaik-baiknya. Aku yakin, penghidupan kita akan lebih baik jika begitu,” saran Andini, sebuah rencana yang sedari dulu diidam-idamkannya.

“Terserah kau saja, Nak. Itulah gunanya kau disekolahkan,” balas Marni, sembari tersenyum lepas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar