Senin, 17 April 2017

Buku dan Musik

Kemarin, kala hari sudah sore, Malik dirundung kegalauan yang sangat. Ia merasa begitu bosan setelah hampir seharian mengurung diri di kamar. Sejak pagi, ia hanya tidur, bangun, dan tidur lagi. Karena itu, ia memutuskan berkunjung ke sebuah toko buku. Niatnya mencari bahan bacaan bernuansa baru, untuk menyelingi tumpukan bukunya dengan materi yang berat dan membosankan.
 
Untuk perburuannya itu, Malik tak ingin melanglang ke tengah kota, menerobos kemacetan yang parah. Pilihannya jatuh pada toko buku yang tak jauh dari rumahnya. Hanya berjarak sekitar setengah kilo meter. Apalagi, ia memang telah menargetkan sebuah buku terbitan baru, sebuah novel, yang terpampang di beranda akun media sosial toko buku itu. 

Setiba pada lokasi yang dimaksud, tampaklah keadaan yang senantiasa membuatnya gugup. Kala baru saja memarkirkan sepeda motor, dari balik jendela toko, ia melihat pengunjung seorang diri saja, sesosok perempuan berkacamata, yang juga tengah memilih-milih buku. Dan entah bagaimana, paras perempuan itu, tiba-tiba membuatnya grogi. Malik pun jadi takut salah tingkah.

Dengan perasaan deg-degan, Malik menegarkan diri, lalu melangkah masuk ke dalam toko. Dan seketika, perempuan itu, menoleh padanya. Menyorot tajam, sembari melayangkan satu senyuman manis. Mau tak mau, Malik balas tersenyum, meski terkesan dipaksakan. Hingga setelahnya, dari jarak yang berdekatan, mereka sibuk dengan urusan masing-masing.

Pertama kali bertemu dan tak saling bercakap, tak lantas membuat keadaan itu, jadi biasa saja bagi Malik. Lagi-lagi, sebagai pemendam, ia terperangkap ilusinya sendiri. Hanya menebak-nebak isi pikiran gadis itu terhadapnya, tanpa nyali untuk menyapa. Keadaan yang membuat keringatnya mengucur deras, sampai ia bergegas pergi, setelah mendapatkan sebuah buku yang ia target. 

Di sela-sela rasa penasarannya yang menggebu, Malik tak ingin bertemu lagi dengan gadis itu. Ia takut terjebak dalam ilusi yang menyesatkan. Bahkan, ia berharap kejadian itu berlalu begitu saja, seperti biasa. Namun, takdir berkata lain. Pada momen itulah, bermula sebuah cerita yang kelak dianggapnya sebuah kebetulan. Kebetulan, sebab ia tak pernah merencanakan awal dan akhir ceritanya, hingga ia persangkakanlah itu pada kehendak Tuhan.

Di antara berjuta kemungkinan, Tepat di malam ini, sehari setelahnya, Malik kembali berjumpa dengan gadis itu. Tepat di sebuah pentas musiklah, kejutan itu terjadi. Di tengah ingar-bingar, di antara kerumunan penonton, pandangan mereka, tiba-tiba bertabrakan. Mereka pun berbagi senyuman dan seakan saling menebak-nebak, tanpa bertutur sapa. 

Aku melihat kejadian itu, dan aku tahu ada kecanggungan di antara mereka.

“Doni, aku harus bagaimana?” tanya Malik padaku, setelah menjelaskan panjang lebar tentang kronologi pertemuan mereka sehari sebelumnya, yang ia anggap sebagai kebetulan.

Jelas saja, aku tak bisa memberikan saran yang berarti. Jujur, aku sama sepertinya, seorang lelaki yang tak bernyali dan tak mahir mendekati seorang wanita. “Mungkin sebaiknya kau berkenalan dan meminta nomor teleponnya,” saranku, dengan keyakinan bahwa ia tak mungkin melakukannya.

“Aku tak berani!” Ia tampak kesal pada dirinya sendiri. “Padahal, kukira, ia sudah memberikan tanda-tanda agar aku mulai mendekat, kan? Tapi aku tak berani, Don!”

Kurasa, dugaan Malik memang benar. Sedari tadi, aku pun menyaksikan perempuan itu berlalu-lalang di depan kami, tanpa alasan yang jelas. Bahkan ia duduk di posisi yang dekat dengan kami. Seakan mengirimkan isyarat kepada lelaki yang ia maksud agar segera melakukan pendekatan. Tapi Malik tak melakukan apa-apa. Ia hanya duduk membisu, memandang siluet wajah perempuan itu dari samping. 

Mungkin karena merasa tak ditanggapi, perempuan itu pun menjauh, menuju dekat panggung, menanti penampilan sebuah band yang akan segera dimulai. Lalu, dengan tanpa memedulikan lagi keberadaan kami, ia pun larut dalam alunan musik bersama dua orang temannya. Sedangkan kami, masih di posisi yang sama, hanya memandang gadis itu di sela-sela kerumunan.

Dalam menungan kami masing-masing, mengalunlah lagu Laki-Laki Pemalu, milik Efek Rumah Kaca. Sebuah lagu yang mewakili jati diri kami berdua.

Hampir sejam berlalu, pementasan pun berakhir. Selama itu pula, sikap Malik tak juga berubah. Ia hanya mengintip gadis itu dari kejauhan. Sampai akhirnya, ia kembali menggerutu atas kebodohannya sendiri. Ia merasa menyesal sebab tak melakukan apa-apa, hingga akhirnya perempuan itu pergi, menghilang di balik kerumunan orang yang pulang entah ke mana.

Dan kini, kami pun kembali dalam kegalauan yangs sama. Kami, yang sama-sama pemendam. Dua lelaki yang menjadikan buku dan musik sebagai pelarian atas kekosongan yang mendalam.

“Kau percaya pada kebetulan?” tanya Malik, saat kami berjalan beriringan, hendak pulang ke rumah masing-masing.

Aku menggeleng. “Tidak. Sepanjang yang aku tahu, kebetulan itu hanyalah hasil akhir yang tidak kita duga, padahal sebenarnya, kita telah menempuh serangkaian sebab-akibat hingga sampai pada akhir yang kita sebut kebetulan itu. Maksudku, kebetulan itu logis.”

Raut wajah Malik tampak tak setuju. “Tapi bagaimana bisa, dari tak terhingga kemungkinan, aku bisa dipertemukan kembali dengannya malam ini?” katanya, dengan nada penekanan. Ia terkesan ngotot memaksakan pendapatnya bahwa pertemuan ia dengan gadis itu, terjadi atas campur tangan Tuhan, karena kebetulan.

Otakku cepat berpikir untuk mencari argumentasi yang ampuh. “Ya, itu karena kalian sama-sama suka musik. Yang kemarin juga begitu, karena kalian sama-sama suka buku. Intinya, semua itu terjadi karena alasan yang logis,” jelasku.

“Tapi kan, tadi, aku sama sekali tak berencana datang ke pentas musik ini. Jika saja kau tak mengajakku, mungkin kami tak akan bertemu. Nah, kenapa bisa kebetulan begitu, bahwa kau akan mengajak dan aku turut saja,” katanya lagi, masih bertahan pada kesimpulan yang sama.

“Itu karena aku suka musik. Dan aku tahu, kau pun suka musik. Dan bodohnya, kita menempuh jalan hingga sampai di sini, berdiam diri di sini, hingga bertemu dengannya. Kita telah menempuh jalan untuk itu. Apa lagi?” tegasku.

Ia berusaha mencerna maksud penjelasanku beberapa saat, kemudian mengelak dengan menuturkan harapannya yang mendalam pada gadis itu. “Ya, sudahlah. Aku tak peduli lagi itu kebetulan atau kebenaran. Yang pasti, aku tahu sekarang kalau ia suka buku dan musik, sama sepertiku. Dan karena alasan itulah, aku harap kami bertemu lagi suatu saat nanti, entah kerena kebetulan atau tidak, terserah.”

Aku hanya mengangguk, seakan mengaminkan harapannya yang kian melangit.

Tak lama berselang, ia kembali meminta solusi padaku atas kerisauan hatinya. “Apa kau ada saran, bagaimana aku bisa berjumpa lagi dengannya?”

Aku berdeham. “Ya, tergantung, kalau kau tetap percaya pada kebetulan-kebetulan, besok-besok, datanglah lagi ke toko buku atau di pementasan musik. Bisa jadi, di tempat-tempat itu, kalian akan bertemu lagi, secara kebetulan,” kataku, bermaksud mengolok-olok jalan pikirannya.

Ia terlihat kesal dengan jawabanku. “Baiklah. Aku memang tak akan menyerah bahwa pertemuanku dengannya adalah sebuah kebetulan. Tapi untuk hari-hari selanjutnya, aku ingin perjumpaan yang lebih pasti.”

“Kenapa tanya ke saya kalau begitu? Mana aku tahu?” sanggahku. “Sudahlah, kau jangan meninggikan khayal terus-menerus. Kalau berkenalan dengannya saja kau tak bernyali, mana bisa kau dapat kontaknya, mengobrol dengannya, menyatakan perasaan padanya?” kataku, terkesan seperti menasihati diri sendiri.

Ia pun menggangguk-angguk pasrah. Seperti berharap Yang Maha Kuasa kembali merangkai kebetulan untuknya esok hari.

Dan sambil melangkah pulang, kembali kubuka obrolan singkatku dengan seorang perempuan kemarin malam. Seseorang gadis yang kukagumi sejak lama, meski kami tak pernah sekali pun mengobrol. Seorang gadis yang kini membuat Malik terobsesi. Aku tahu tentangnya dan berhasil mendapatkan nomor teleponnya dari seorang teman baikku yang lain, yang sedang memadu kasih dengan teman baik gadis itu.

Aku: Besok malam, kamu ke pentas musik kan?

Dia: Ini dengan siapa, ya?

Aku: Kau tak perlu tahu. Sampai jumpa di sana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar