Senin, 10 April 2017

Bayangan Diri

Sudah tengah malam. Waktu yang tepat bagi Santoso untuk menenangkan diri. Seharian bergelut dengan pekerjaan kantor, benar-benar membuatnya tak punya waktu untuk berleha-leha. Berangkat kerja pagi-pagi sekali, dan pulang pada malam hari, benar-benar rutinitas yang membosankan. Maka sambil menyantap makanan ringan dan menunggu anak semata wayangnya pulang mengerjakan tugas kuliah, ia pun menyalakan televisi.
 
Di depan layar televisi, ia begitu asyik menyaksikan serangkaian tayangan kriminal. Dari krimalitas jalanan, hingga kejahatan kerah putih. Dari pelaku kejahatan kelas teri, hingga kelas kakap. Para penjahat dan pesakitan dengan sejumlah kasus itu, tampak tertunduk malu di dalam layar kaca, diiringi suara presenter yang dengan cakap menguraikan kronologi kejahatan dan dosa-dosa mereka.

Sebagai seorang polisi, jelas saja Santoso bangga atas nama korpsnya. Ada kepuasan tersendiri melihat para pelaku kejahatan, tampak tak berdaya di tangan para polisi. Serangkaian tayangan itu, membuatnya besar kepala, telah menjadi bagian kelompok pembela kebajikan dan pemberantas kejahatan. Ia merasa begitu berharga, sebab telah melindungi masyarakat dari tangan-tangan jahat.

Rasa bangga Santoso sebagai polisi, tidak hanya dipendam begitu saja. Ia acap kali mengunggah kata-kata, gambar, dan video untuk menunjukkan rasa bangganya itu di media sosial. Menunjukkan bahwa korpsnya sangat bertaji dalam menumpas kejahatan. Unggahan statusnya itu pun, banyak menuai pujian dari warga dunia maya. Sebuah kenyataan yang membuatnya merasa semakin berharga.

Seperti juga saat ini, kala ia tengah menyaksikan berita penangkapan gembong narkoba, jari-jarinya pun terasa gatal jika tak mengunggah sejumlah pesan di media sosial. Ia pun menulis: penyalahgunaan narkotika, harus diberantas di negeri ini, demi anak dan cucu-cucu kita. Ia berharap dengan begitu, orang lain mengobarkan semangat yang sama dengan dirinya.

Tiba-tiba, teleponnya berdering. Ada sebuah panggilan dari bawahannya.

“Lapor, Pak! Ini dari saya, Kisram,” kata seorang di ujung telepon.

“Ya, ada apa?” tanya Santoso.

“Begini, Pak. Kami baru saja melakukan operasi di sarang pengedar narkotika,” kata Kisram.

“Ya, sudah. Sikat saja. Kembangkan segera. Lakukan pemeriksaan dan pemberkasan secepatnya. Kalau ada hal penting, laporkan ke saya,” tegasnya.

“Tapi, ada sesuatu yang penting di kasus ini, Pak,” kata Kisram, terdengar sedikit kaku berterus-terang.

“Apa? Katakan sekarang!” tegas Santoso.

Kisram berdeham. “Anu, Pak. Adian, anak Bapak, turut tertangkap di TKP.”

Santoso jadi terenyuh. Ia seakan tak percaya tentang apa yang baru saja di dengarnya.

“Bagaimana tindakan yang harus kami ambil, Pak?” tanya Kisram, memohon petunjuk.

Seketika, Santoso terkenang atas serangkaian pencitraanya di media sosial. Ia jelas tak sudi nama baiknya hancur lebur. “Begini saja, untuk Adian, amankan saja dulu. Dan pastikan, tak ada wartawan yang tahu. Ini perintah!” katanya.

“Baik, Pak!” pungkas Kisram.

Kini, Santoso pun was-was. Ia berharap, tak menjumpai wajah anaknya tengah menunduk di dalam layar televisi esok hari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar