Kamis, 20 April 2017

Tempat Berpulang

Matahari nyaris tenggelam di balik bukit. Sisa cahaya temaram yang tampak membias di lembah-lembah. Menerpa pemukiman warga dan tumbuh-tumbuhan yang terhampar sampai jauh. Maka kuputuskanlah untuk menyudahi pekerjaanku sore ini. Bergegas menyusuri semak belukar, hingga sampai di rumah sebelum gelap. Meninggalkan kebun kopi milikku yang sempit, sampai esok hari. 
 
Di persimpangan jalan, mataku kembali terpaku pada sebuah rumah tua yang agak menjauh dari pemukiman ramai. Rumah yang tampak reyot dan lapuk. Di sana, kulihat lagi sosok Darun yang hidup tanpa anak dan istri. Lelaki renta yang bertahan hidup dari hasil kerja serabutan. Kadang jadi buruh pemetik kopi, penjual kayu bakar dan sayur-mayur, hingga menjadi seorang tukang penggali kubur.

Rasa prihatin melihat Darun termenung sendiri, menuntunku singgah sejenak. Niatku hendak bercakap-cakap dengannya, agar ia merasa tak sendirian hidup di dunia. Aku tak lupa memberinya dua sisir pisang yang kupanen dari kebun. Setidaknya, itu bisa jadi tambahan pengganjal perutnya, setelah sekian lama ia hidup dengan pangan seadanya, dengan hanya mengandalkan buah nangka di depan rumahnya. Tanpa istri, jelas tak ada makanan yang layak.

Sebelum kepergian istrinya, hidup Darun sebenarnya tak terlalu melarat. Istrinya adalah sosok yang cerdas dalam urusan dapur. Tak perlu bahan-bahan mahal untuk meracik makanan enak. Cukup memanfaatkan tanaman sayur-mayur di halaman rumahnya saja, hidangan yang lezat, sudah bisa dihidangkan. Aku tahu itu, sebab dahulu, aku sesekali mampir kala dipaksa mereka untuk singgah bersantap ria bersama.

Kini, Darun yang hidup seorang diri di rumah sederhananya, benar-benar kesepian. Apalagi, selama beristri, ia tak sekali pun dikaruniai anak. Padahal, kehadiran sosok anak adalah harapan terbesarnya. Hingga pada sebelas tahun yang lalu, istrinya pun menghilang entah ke mana. Meski segala upaya telah dilakukan untuk menemukan sang istri, tetap saja tak ada tanda-tanda  untuk menelusuri keberadaannya.

Dan, semenjak kepergian istrinya, Darun sungguh banyak berubah. Fisiknya semakin tak keruan. Kurus dan dekil. Tampak tak terurus. Begitu pun dengan perilakunya. Setelah sang istri tak ada, perlahan-lahan, sifat emosionalnya mulai redam. Bahkan, ia tak lagi berselera menyentuh tuak, keluyuran entah ke mana, berjudi, hingga bermain-main dengan perempuan murahan di kota. Tapi itu bukan pertanda yang baik, sebab ia malah jadi pemurung dan pendiam. 

Berubahnya kehidupan dan sikap Darun atas segala yang menimpanya, sontak mengubah reaksi orang-orang terhadapnya. Warga desa tak dibuat risau lagi atas tingkahnya yang beringas. Tak terdengar lagi suara bentakannya seperti dahulu, kala menghardik istrinya yang hanya bisa mengangis dan menjerit kesakitan. Rumahnya benar-benar senyap. 

Kini, Darun lebih sering terlihat merenung di depan rumahnya. Duduk di bawah pohon nangka yang katanya, dahulu, ditaman oleh sang istri.

“Sepertinya, hidupku tak lama lagi, Nak,” tutur Darun, sambil terbatuk-batuk, melepaskan dahaknya. Wajahnya tampak kuyu dan penuh kepasrahan.

“Kenapa bilang begitu, Pak?” tanyaku, penasaran.

“Aku sudah siap menyusul istriku. Aku ingin meminta maaf padanya atas semua yang telah kulakukan,” katanya, seakan-akan ia bisa memastikan bahwa istrinya telah meninggal.

Aku pun berusaha membesarkan hatinya. “Jangan berpikiran begitu, Pak. Bapak harus jaga diri, biar panjang umur. Berdoalah, agar suatu saat, istri Bapak datang kembali.”

Ia hanya terdiam. Seperti menganggap saranku seperti tak akan membuahkan hasil apa-apa.

Beberapa detik berselang, ia pun mengungkapkan permintaan anehnya. “Nak, aku pesan, kalau aku sudah meninggal, kuburkanlah aku tepat di bawah pohon nangka ini, di samping batu ini,” pintanya, sambil menunjuk pada sebongka batu berukuran kepala manusia.

Aku menoleh padanya, menyiratkan tanya yang terpendam atas permintaannya itu.

“Aku ingin dekat dengan istriku,” sambungnya. “Tolong, laksanakanlah pesanku ini ketika ajalku sampai.”

Aku mengguk saja, dengan dugaan bahwa alasan permintaannya itu karena ia ingin jasadnya dinaungi oleh sebuah pohon nangka peninggalan istrinya, yang ia anggap sangat berarti dalam hidupnya.

Tak lama berselang aku pun pamit, bergegas pulang ke rumah. Hingga esok paginya, kusaksikanlah bukti bahwa kata-katanya, memang tak mengada-ada. Setelah aku hendak menitipkan sarapan pagi untuknya, di tengah perjalanan menuju kebun, kutemukan ia tergeletak di tengah rumahnya sendiri, tak bernyawa.

Dan, untuk prosesi penguburan sebelum tengah hari, kusampaikanlah pesannya kepada para warga, agar ditunaikan dengan baik. Liang kuburnya pun dibuat tepat di titik yang ia tunjukkan padaku sehari sebelumnya. Dan betapa kagetnya aku, juga segenap warga, sebab di balik tanah yang dipintanya, ditemukan tulang-belulang sesosok manusia.


Senin, 17 April 2017

Buku dan Musik

Kemarin, kala hari sudah sore, Malik dirundung kegalauan yang sangat. Ia merasa begitu bosan setelah hampir seharian mengurung diri di kamar. Sejak pagi, ia hanya tidur, bangun, dan tidur lagi. Karena itu, ia memutuskan berkunjung ke sebuah toko buku. Niatnya mencari bahan bacaan bernuansa baru, untuk menyelingi tumpukan bukunya dengan materi yang berat dan membosankan.
 
Untuk perburuannya itu, Malik tak ingin melanglang ke tengah kota, menerobos kemacetan yang parah. Pilihannya jatuh pada toko buku yang tak jauh dari rumahnya. Hanya berjarak sekitar setengah kilo meter. Apalagi, ia memang telah menargetkan sebuah buku terbitan baru, sebuah novel, yang terpampang di beranda akun media sosial toko buku itu. 

Setiba pada lokasi yang dimaksud, tampaklah keadaan yang senantiasa membuatnya gugup. Kala baru saja memarkirkan sepeda motor, dari balik jendela toko, ia melihat pengunjung seorang diri saja, sesosok perempuan berkacamata, yang juga tengah memilih-milih buku. Dan entah bagaimana, paras perempuan itu, tiba-tiba membuatnya grogi. Malik pun jadi takut salah tingkah.

Dengan perasaan deg-degan, Malik menegarkan diri, lalu melangkah masuk ke dalam toko. Dan seketika, perempuan itu, menoleh padanya. Menyorot tajam, sembari melayangkan satu senyuman manis. Mau tak mau, Malik balas tersenyum, meski terkesan dipaksakan. Hingga setelahnya, dari jarak yang berdekatan, mereka sibuk dengan urusan masing-masing.

Pertama kali bertemu dan tak saling bercakap, tak lantas membuat keadaan itu, jadi biasa saja bagi Malik. Lagi-lagi, sebagai pemendam, ia terperangkap ilusinya sendiri. Hanya menebak-nebak isi pikiran gadis itu terhadapnya, tanpa nyali untuk menyapa. Keadaan yang membuat keringatnya mengucur deras, sampai ia bergegas pergi, setelah mendapatkan sebuah buku yang ia target. 

Di sela-sela rasa penasarannya yang menggebu, Malik tak ingin bertemu lagi dengan gadis itu. Ia takut terjebak dalam ilusi yang menyesatkan. Bahkan, ia berharap kejadian itu berlalu begitu saja, seperti biasa. Namun, takdir berkata lain. Pada momen itulah, bermula sebuah cerita yang kelak dianggapnya sebuah kebetulan. Kebetulan, sebab ia tak pernah merencanakan awal dan akhir ceritanya, hingga ia persangkakanlah itu pada kehendak Tuhan.

Di antara berjuta kemungkinan, Tepat di malam ini, sehari setelahnya, Malik kembali berjumpa dengan gadis itu. Tepat di sebuah pentas musiklah, kejutan itu terjadi. Di tengah ingar-bingar, di antara kerumunan penonton, pandangan mereka, tiba-tiba bertabrakan. Mereka pun berbagi senyuman dan seakan saling menebak-nebak, tanpa bertutur sapa. 

Aku melihat kejadian itu, dan aku tahu ada kecanggungan di antara mereka.

“Doni, aku harus bagaimana?” tanya Malik padaku, setelah menjelaskan panjang lebar tentang kronologi pertemuan mereka sehari sebelumnya, yang ia anggap sebagai kebetulan.

Jelas saja, aku tak bisa memberikan saran yang berarti. Jujur, aku sama sepertinya, seorang lelaki yang tak bernyali dan tak mahir mendekati seorang wanita. “Mungkin sebaiknya kau berkenalan dan meminta nomor teleponnya,” saranku, dengan keyakinan bahwa ia tak mungkin melakukannya.

“Aku tak berani!” Ia tampak kesal pada dirinya sendiri. “Padahal, kukira, ia sudah memberikan tanda-tanda agar aku mulai mendekat, kan? Tapi aku tak berani, Don!”

Kurasa, dugaan Malik memang benar. Sedari tadi, aku pun menyaksikan perempuan itu berlalu-lalang di depan kami, tanpa alasan yang jelas. Bahkan ia duduk di posisi yang dekat dengan kami. Seakan mengirimkan isyarat kepada lelaki yang ia maksud agar segera melakukan pendekatan. Tapi Malik tak melakukan apa-apa. Ia hanya duduk membisu, memandang siluet wajah perempuan itu dari samping. 

Mungkin karena merasa tak ditanggapi, perempuan itu pun menjauh, menuju dekat panggung, menanti penampilan sebuah band yang akan segera dimulai. Lalu, dengan tanpa memedulikan lagi keberadaan kami, ia pun larut dalam alunan musik bersama dua orang temannya. Sedangkan kami, masih di posisi yang sama, hanya memandang gadis itu di sela-sela kerumunan.

Dalam menungan kami masing-masing, mengalunlah lagu Laki-Laki Pemalu, milik Efek Rumah Kaca. Sebuah lagu yang mewakili jati diri kami berdua.

Hampir sejam berlalu, pementasan pun berakhir. Selama itu pula, sikap Malik tak juga berubah. Ia hanya mengintip gadis itu dari kejauhan. Sampai akhirnya, ia kembali menggerutu atas kebodohannya sendiri. Ia merasa menyesal sebab tak melakukan apa-apa, hingga akhirnya perempuan itu pergi, menghilang di balik kerumunan orang yang pulang entah ke mana.

Dan kini, kami pun kembali dalam kegalauan yangs sama. Kami, yang sama-sama pemendam. Dua lelaki yang menjadikan buku dan musik sebagai pelarian atas kekosongan yang mendalam.

“Kau percaya pada kebetulan?” tanya Malik, saat kami berjalan beriringan, hendak pulang ke rumah masing-masing.

Aku menggeleng. “Tidak. Sepanjang yang aku tahu, kebetulan itu hanyalah hasil akhir yang tidak kita duga, padahal sebenarnya, kita telah menempuh serangkaian sebab-akibat hingga sampai pada akhir yang kita sebut kebetulan itu. Maksudku, kebetulan itu logis.”

Raut wajah Malik tampak tak setuju. “Tapi bagaimana bisa, dari tak terhingga kemungkinan, aku bisa dipertemukan kembali dengannya malam ini?” katanya, dengan nada penekanan. Ia terkesan ngotot memaksakan pendapatnya bahwa pertemuan ia dengan gadis itu, terjadi atas campur tangan Tuhan, karena kebetulan.

Otakku cepat berpikir untuk mencari argumentasi yang ampuh. “Ya, itu karena kalian sama-sama suka musik. Yang kemarin juga begitu, karena kalian sama-sama suka buku. Intinya, semua itu terjadi karena alasan yang logis,” jelasku.

“Tapi kan, tadi, aku sama sekali tak berencana datang ke pentas musik ini. Jika saja kau tak mengajakku, mungkin kami tak akan bertemu. Nah, kenapa bisa kebetulan begitu, bahwa kau akan mengajak dan aku turut saja,” katanya lagi, masih bertahan pada kesimpulan yang sama.

“Itu karena aku suka musik. Dan aku tahu, kau pun suka musik. Dan bodohnya, kita menempuh jalan hingga sampai di sini, berdiam diri di sini, hingga bertemu dengannya. Kita telah menempuh jalan untuk itu. Apa lagi?” tegasku.

Ia berusaha mencerna maksud penjelasanku beberapa saat, kemudian mengelak dengan menuturkan harapannya yang mendalam pada gadis itu. “Ya, sudahlah. Aku tak peduli lagi itu kebetulan atau kebenaran. Yang pasti, aku tahu sekarang kalau ia suka buku dan musik, sama sepertiku. Dan karena alasan itulah, aku harap kami bertemu lagi suatu saat nanti, entah kerena kebetulan atau tidak, terserah.”

Aku hanya mengangguk, seakan mengaminkan harapannya yang kian melangit.

Tak lama berselang, ia kembali meminta solusi padaku atas kerisauan hatinya. “Apa kau ada saran, bagaimana aku bisa berjumpa lagi dengannya?”

Aku berdeham. “Ya, tergantung, kalau kau tetap percaya pada kebetulan-kebetulan, besok-besok, datanglah lagi ke toko buku atau di pementasan musik. Bisa jadi, di tempat-tempat itu, kalian akan bertemu lagi, secara kebetulan,” kataku, bermaksud mengolok-olok jalan pikirannya.

Ia terlihat kesal dengan jawabanku. “Baiklah. Aku memang tak akan menyerah bahwa pertemuanku dengannya adalah sebuah kebetulan. Tapi untuk hari-hari selanjutnya, aku ingin perjumpaan yang lebih pasti.”

“Kenapa tanya ke saya kalau begitu? Mana aku tahu?” sanggahku. “Sudahlah, kau jangan meninggikan khayal terus-menerus. Kalau berkenalan dengannya saja kau tak bernyali, mana bisa kau dapat kontaknya, mengobrol dengannya, menyatakan perasaan padanya?” kataku, terkesan seperti menasihati diri sendiri.

Ia pun menggangguk-angguk pasrah. Seperti berharap Yang Maha Kuasa kembali merangkai kebetulan untuknya esok hari.

Dan sambil melangkah pulang, kembali kubuka obrolan singkatku dengan seorang perempuan kemarin malam. Seseorang gadis yang kukagumi sejak lama, meski kami tak pernah sekali pun mengobrol. Seorang gadis yang kini membuat Malik terobsesi. Aku tahu tentangnya dan berhasil mendapatkan nomor teleponnya dari seorang teman baikku yang lain, yang sedang memadu kasih dengan teman baik gadis itu.

Aku: Besok malam, kamu ke pentas musik kan?

Dia: Ini dengan siapa, ya?

Aku: Kau tak perlu tahu. Sampai jumpa di sana.

Kamis, 13 April 2017

Segitiga

Masih pagi sekali, Sugiro berjalan-jalan di sekeliling kompleks, di sekitar rumah sederhannya berdiri. Ia berlari-lari kecil sembari meregangkan ototnya. Menunggu matahari sedikit meninggi, saat ia harus berangkat ke pasar, menjual sayur-mayur dari ladang sempit miliknya sendiri. Begitulah rutinitasnya setiap hari, termasuk di hari libur.
 
Setelah keringatnya berjatuhan, Sugiro pun menghentikan olahraganya. Ia lalu duduk di sebuah kursi, di depan rumahnya, sembari menghangatkan badan di bawah terpaan sinar matahari pagi. Dan kembali lagi, ia menyaksikan Doni Sumarjan, lelaki yang kaya raya, seorang pengusaha tambang, juga menyendiri di teras rumahnya.

Dari jarak 15 meter, di selang rumah mereka yang berhadap-hadapan, Sugiro hanya memandangi Doni di sela-sela terali pagar dengan pikiran yang aneh.  Beberapa bulan yang lalu, entah kenapa, tetangganya itu berubah jadi pendiam. Padahal bertahun-tahun hidup sebagai tetangga, Sugiro tahu betul watak Doni sangat tenang, murah senyum, dan gemar menyapa lebih dahulu.

Dan kini, keadaan berubah. Sekitar sepuluh menit berlalu, mereka tak juga saling menyapa. Doni tak kunjung menunjukkan raut wajah bersahabat. Ia hanya memandang kosong, ke sisi yang berbeda dengan Sugiro. Di sisi lain, Sugiro merasa segan jika harus memulai percakapan terlebih dahulu. Ia khawatir menggangu ketenangan tetangganya itu. 

Sugiro memang sangat menghormati sosok Doni. Pasalnya, Doni sering berlaku derma padanya. Mungkin karena itulah, komunikasi mereka, tak terlalu mencair. Masih ada keseganan di hati Sugiro. Ditambah lagi, mereka tak selalu berjumpa setiap hari, sebab Doni keseringan menghabiskan waktunya di luar kota. Namun di luar kekakuan itu, mereka tak pernah ada masalah sedikit pun.

Setelah merasa yakin bahwa pagi ini akan berlalu tanpa obrolan yang hangat lagi, Sugiro  pun berdiri. Ia berencana untuk mandi, sarapan, dan mempersiapkan diri menuju pasar. Tapi sebelum Sugiro benar-benar pergi, Doni menyahut, mengajaknya untuk duduk bersama, menikmati hidangan pagi yang mewah.

Sugiro menurut.

“Usahamu baik-baik saja, Sugi?” tanya Doni.

“Ya, seperti biasa, Pak. Hasilnya cukuplah untuk kebutuhan saya dan istri,” jawabnya, tanpa bertanya balik. Ia takut menuturkan pertanyaan yang tak sopan, dan malah membuat tetangganya itu tersinggung, terutama tentang perubahan sikap Doni.

“Syukurlah kalau begitu. Tapi ini, ada sedikit uang untuk kebutuhan Bapak. Ambillah. Aku mohon, jangan ditolak. Apalagi, Bapak membutuhkan uang lebih untuk kebutuhan istri Bapak yang sedang hamil,” tawarnya, terkesan menekan.

Dengan perasaan sungkan, Sugiro pun menyambut sebuah amplop berisi uang, yang ketebalannya melebihi yang biasa. Ia tak kuasa menolak. Apalagi, ia sadar sendiri akan kebutuhannya menjaga kesehatan sang istri, demi keselamatan jabang bayinya kelak, yang telah ia nanti selama sepuluh tahun. “Terima kasih, Pak,” tuturnya. 

“Iya, sama-sama,” balas Doni, sembari tersenyum singkat. “Oh, iya, bilang ke istri Bapak, tak usah lagi datang kerja ke sini untuk sementara waktu. Sampai nanti selesai melahirkan. Istriku sudah setuju.”

Mulut Sugiro seperti tersekat menyaksikan kebaikan Doni yang beruntun. “Baiklah kalau begitu, Pak. Terima kasih. Nanti aku sampaikan padanya.”

Doni mengangguk-angguk lagi. Setelah berlalu beberapa detik, ia pun menuturkan sesuatu yang aneh. “Maafkan kalau selama ini, aku ada salah pada Bapak, baik yang kasat mata atau pun tidak.”

Sugiro tersenyum. “Kenapa berkata seperti itu, Pak? Jelas saja, Bapak tak punya salah apa-apa padaku. Sebaliknya, akulah yang banyak salah sama Bapak, yang suka merepotkan.”

Doni kembali melayangkan senyuman singkat. “Aku ini, sebenarnya orang kotor, Pak. Bahkan, aku malu pada diriku sendiri. Bapak tak tahu saja apa kesalahanku.”

Sugiro tertawa. “Bapak bisa saja.”

Doni turut melepaskan tawanya yang singkat. Tak berselang lama, ia kembali menuturkan sesuatu yang aneh, “Oh iya, aku punya pertanyaan penting untuk Bapak,” suaranya tertahan sejenak, “Kira-kira, apa yang sebaiknya kulakukan pada seorang lelaki yang bermain serong dengan istriku?” tanya Doni dengan raut wajah yang serius.

“Apa istri Bapak…?” Sugiro tak kuasa memperjelas pertanyaannya.

“Tidak. Aku percaya padanya. Aku hanya ingin bertanya,” jelas Doni.

Sugiro butuh beberapa detik untuk menuturkan jawabanya. “Kalau menurutku, siapa pun lelaki yang menyayangi istrinya, tak akan rela melihat selingkuhan istrinya hidup,” kata Sugiro, sebuah jawaban yang muncul dari lubuk hatinya.

Lagi-lagi, Doni hanya melayangkan senyuman singkatnya, dengan tatapan yang menyimpan beribu tanya.

Setelah melalui sedikit basa-basi, obrolan mereka, kemudian berakhir.

Waktu pun, berjalan cepat. Menjelang tengah malam, Sugiro mendengar jeritan dari rumah Doni. Jeritan keras yang diikuti isak tangis. Sugiro menebak, itu berasal dari istri Doni.
 
“Tolong…” seru suara perempuan itu. 

Dengan sigap, Sugiro pun bergegas memberi pertolongan. Hingga sesampainya di sana, Sugiro pun menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri, Doni terbujur kaku dengan leher yang terikat dan menggantung pada seutas tali.

Sugiro sungguh heran dan terkejut. Rasa-rasa berkecamuk dalam batinnya. Ia jelas tak pernah menduga tentang apa yang disaksikannya. Ia tak akan pernah tahu bagaimana itu bisa terjadi. Tapi sedikit kesadarannya menduga kalau peristiwa tragis itu, berhubungan dengan obrolan mereka pagi tadi.

Tak berselang lama, istri Sugiro pun datang menyusul. Ia tiba dengan raut wajah yang maknanya sulit ditafsir. Ia datang bersama perutnya yang mulai membusung, yang berhasil mengandung bakal anak setelah Sugiro dicap mandul, tak subur.

Kembali Terpendam

Sekian lama berada dalam hubungan persahabatan, aku jadi bertanya-tanya tentang isi hatimu. Apalagi, kau memang tak suka mengumbar isyarat untuk menggambarkan bentuk perasaanmu selama ini. Entah padaku yang pengecut, atau pada lelaki lain yang suka menggodamu, kau senantiasa bersikap tak acuh. Sungguh, kau sosok perempuan yang sulit ditebak.
 
Aku tak tahu persis, kapan aku mulai berhasrat mencampuri urusan hatimu. Semua terjadi begitu saja. Terjadi saat kedekatan kita begitu erat, hingga aku takut seseorang merenggutmu dan kau pun pergi meninggalkanku begitu saja. Ya, kurasa semua itu terjadi karena aku telah melalui waktu yang panjang bersamamu, hingga kenangan  pun mengikat hatiku sendiri, padamu.

Sejak perasaan tak keruan itu muncul, bayang-bayangmu selalu hadir menghias imajinasiku setiap malam. Bergentayangan di khayalku saat terjaga, dan bermain di mimpiku saat terlelap. Kau tak pernah jauh, apalagi lenyap, meski ragamu tak pernah benar-benar kudekap, kecuali pada momen yang mungkin kau anggap biasa saja. Itu sungguh ironis.

Nuansa kelabu, akhirnya kujalani dalam waktu-waktu yang panjang. Menyendiri di kamar sepi, sambil menerka-nerka isi hatimu. Mengharapkanmu hadir di sampingku, sedang aku tak berani memintamu secara langsung. Hanya menginginkanmu dalam diam. Hanya bisa mengirimkan sejuta pesan batin yang tak akan sampai padamu seumur dunia. 

Tapi sekarang, keadaannya berbeda. Malam ini, deru hatiku semakin mengencang. Perasaan yang kupendam, berubah jadi hantu yang begitu menyeramkan. Seketika, aku jadi takut membuka pintu kamar. Takut jika kau tiba-tiba datang menghampiriku. Aku juga takut mengecek telepon genggam. Takut jika kau mengirikanku pesan yang tak terkira.

Serangan batin ini, terjadi karena kelancanganku sendiri. Sore tadi, aku nekat menyisipkan pesan di sela-sela buku bacaanmu. Pesan di secarik kertas itu, berisi curahan hatiku. Kutuliskan kalau aku menginginkammu lebih dari sekadar sahabat, sejak lama. Dan aku yakin, malam ini, kala kau tengah membaca bukumu lagi, kau akan menemukan pesan itu.

Jelas, kelancangan itu kulakukan karena aku tak ingin dipecundangi lelaki lain. Tak ingin jadi pemendam selamanya, dengan nasib yang memprihatinkan. Meski sekarang kusadari, rasa galau di antara dua jawaban yang belum pasti, lebih menyiksa dibanding memendam. Jika dahulu perasaan yang kupendam menjadi urusanku sendiri, kini perasaanku jadi urusanmu juga, setelah aku mengungkapkannya.

Atas kelancanganku yang terlajur, aku pun harus melewati malam yang panjang dengan harap-harap cemas. Berharap kau segera mengirimkan respons seperti yang kuinginkan. Tapi di sela ketegangan itu, timbul juga rasa cemasku, jika kau mengirimiku jawaban yang kutakutkan, sebuah jawaban bahwa kau tak membalas perasaanku dengan setimpal. 

Tapi sepanjang malam yang kulalui dengan pertempuran batin, hingga aku terlelap dalam penantian, berlalu saja tanpa jawabanmu. Pagi-pagi, kala aku terjaga, tak ada satu pun pesan darimu. Maka, sesi waktu yang menegangkan pun berlanjut. Aku harus menghadapimu hari ini dengan perasaan yang tak sewajarnya lagi.

Siang hari menjelang, kita pun bertemu dan saling berhadapan di kantin kampus. Perasaanku sungguh berkecamuk. Tapi sebagaimana baiknya, aku tak ingin terlihat bermasalah. Apalagi, aku yakin, kau juga merasakan kekalutan yang sama. Kuduga, kau hanya  menyembunyikannya. Bahkan bisa jadi, kau hanya pura-pura tak tahu tentang pesan itu, dan berharap aku mengungkapkannya secara langsung.

“Kamu kok hanya diam? Ada masalah apa? Biasanya kau tak sekalem ini,” tanyamu lebih dulu.

Aku menoleh padamu dengan segan. “Tak ada apa-apa.”

Kau mengelak. “Kau jangan bohong. Pasti ada apa-apa. Aku mengenalmu sejak lama. Dan aku tahu, kau tak pernah menghadapiku dengan sikap dan mimik yang kaku seperti itu,” tegasmu. “Ceritalah kalau ada masalah.”

Aku menggeleng dengan kebodohanku, meski kutebak, kau mencoba mengarahkanku pada pembahasan inti. Kau coba menggiringku, memojokkanku, agar aku jujur saja tentang perasaanku padamu. Tapi, lagi-lagi, mentalku belum siap. “Kau tak usah khawatir secara berlebihan. Aku baik-baik saja.”

Kau pun terlihat kecewa melihat tingkahku yang mungkin penuh rahasia di matamu.

Akhirnya, aku coba mengurai rahasia hatimu secara perlahan. “Oh iya, buku yang kau baca kemarin sepertinya bagus, apa kau sudah selesai membacanya?”

Dahimu mengernyit. Entah karena mencoba mengingat-ingat, atau heran karena aku tiba-tiba bertanya tentang buku itu. “Buku yang mana maksudmu?”
 
“Buku yang sampulnya merah. Sepertinya, itu novel,” terangku, pura-pura terkesan menebak.

“Oh, itu. Itu bukan punyaku, itu punya temanku,” katamu. “Aku memang sudah membacanya. Dan kemarin sore, aku telah mengembalikannya. Memangnya, kenapa kau bertanya tentang itu?”

Perasaanku jelas tersentak mendengar penjelasanmu. Nalarku bekerja dengan cepat. Dan kini, mulai kuterka, kalau pertempuran hatiku sepanjang malam tadi, mungkin hanyalah tentang diriku sendiri. “Tak apa-apa. Aku hanya bertanya,” jawabku, dengan kebohongan yang kesekian kalinya.

Tak lama kemudian, seorang perempuan, teman dekatmu, menghampiri kita dengan senyuman yang aneh ke arahku. Seketika, kuyakini sudah kalau aku harus kembali memendam perasaan padamu. Selain itu, aku juga harus segera menyelesaikan kesalahpahamanku dengannya.