Senin, 27 Maret 2017

Tak Perlu Cantik

Anton patut berbangga diri, sebab bisa memperistri Aminah, gadis cantik yang dielu-elukan pemuda desa semasih gadis. Mengalahkan banyak lelaki dalam meluluhkan hati sang istri, jelas sebuah pencapaian hebat. Tapi satu hal yang sedari dulu ia wanti-wanti, bahwa ia harus lebih banyak bersabar, tiap kali menyaksikan mata para lelaki yang suka melirik kecantikan istrinya.  
 
Ketakutan Anton, belakangan mulai terbukti. Hari demi hari, dugaannya bahwa sang istri bermain mata dengan lelaki lain, semakin kuat. Buktinya, sikap sang istri banyak berubah. Wanita yang dinikahinya 15 tahun lalu itu, tiba-tiba jadi pendiam, tanpa alasan yang jelas. Seakan-akan ada rahasia besar yang ditutup-tutupinya. 

Kecurigaan Anton semakin kuat kala melihat tingkah laku istrinya yang suka bersolek. Sang istri jadi rutin merias wajah. Beragam jenis aroma parfum pun, merebak dari pakaian modisnya setiap hari. Padahal, ia tak hendak ke mana-mana dan tak ada acara apa-apa. Atas semua keganjilan itu, Anton yakin, istrinya menjamu tamu terlarang kala ia masih berada di kantor.

Biarpun dugaannya terus menghantui, Anton tak lantas bertindak gegabah. Ada ketakutan kecil dalam dirinya, kalau-kalau kecurigaannya itu, hanya kasimpulan sesat. Ia jelas tak ingin salah menuduh. Karena itu, ia perlu bukti. Maka, beberapa hari belakangan, ia pun melakukan aksi pengintaian. Bahkan tanpa sungkan, ia mengorek informasi dari para tetangganya.

Aksi mata-mata yang dilakukan Anton, pada akhirnya, tak membuahkan hasil apa-apa. Ia tak menemukan bukti kalau ada sosok lelaki yang bertamu di rumahnya secara mencurigakan, tanpa sepengetahuannya. Dan untuk  benar-benar mendamaikan perasaannya, pagi ini, kala ia tengah sarapan dengan istrinya, Anton pun memberanikan diri menyinggung perihal itu.

“Pagi-pagi, Ibu sudah berdandan. Memangnya ada seseorang yang akan bertamu?” tanya Anton dengan sikap sinis.

Aminah yang tengah lahap menyantap makanan, seketika berhenti mengunyah. Ia pun membalas dengan raut wajah judesnya, “Apa yang salah? Bukannya istri memang harus pandai berdandan?”

Menyaksikan respons istrinya, Anton tak jadi menyendok nasi. Matanya menyorot tajam pada sang istri. “Memang tak ada yang salah, Bu. Aku hanya penasaran saja tentang alasan Ibu rajin-rajin berdandan belakangan ini. Lebih sepuluh tahun kita menikah, biasanya Ibu berdandan jikalau ada hajatan. Apa tak wajar kalau aku mempertanyakan perubahan sikap Ibu?” balas Anton dengan nada suara yang tegas.

Seketika, selera makan Aminah, menghilang. Ia lalu meneguk air putih. Bermaksud melegakan tenggorokannya, demi meladeni baik-baik obrolan dengan sang suami. “Alasannya? Itu karena aku sadar sudah semakin tua, Pak. Kulitku mulai keruput. Jika aku tak berdandan dan tampak jelek, mana mungkin Bapak betah,” tegasnya. “Waktu aku masih muda saja, aku ragu Bapak benar-benar menyukaiku.”

“Ibu meragukan kesetianku?” Nada suara Anton, semakin meninggi. “Ingat, Bu, aku tak sedikitpun berkhianat pada janji suciku di depan Tuhan. Seratus tahun ke depan, kala Ibu tua dan tak cantik lagi, aku akan tetap setia. Ibu jangan ragukan itu! Malah, akulah yang patut curiga kalau Ibu telah mengkhianati pernikahan kita.”

“Apa Bapak bilang, aku berkhianat?” solot Aminah. “Bapaklah yang berkhianat. Aku minta bapak jujur saja, berapa wanita yang menjadi selingkuhan Bapak, dua, tiga, atau lebih? Bapak kira aku tak tahu tentang kiriman kado ulang tahun berisi jam tangan dari perempuan bernama Cindy, yang sampai di rumah empat hari lalu, yang pada pembungusnya terselip ucapan, ‘Selamat ulang tahun sayang’? Bapak kira aku tak tahu?”

Anton seketika kebingungan mendengar tuduhan yang baru saja dilontarkan sang istri. “Mana aku tahu tentang jam tangan itu. Coba Ibu pikir-pikir lagi, jangan sampai itu dari selingkuhan Ibu, yang menggunakan identitas palsu.”

“Apa? Bapak jangan asal menuduh. Aku ini istri yang setia. Tapi Bapak…?” suara Aminah tertahan sejenak. Matanya tampak berair. “Terus, Bapak kira aku tak tahu kalau belakangan ini Bapak sering berkunjung ke rumah tetangga sebelah, rumah janda muda beranak satu itu?” Air matanya pun mentes. “Sudahlah Pak, mengaku saja. Kalau pun harus diceraikan dengan cara baik-baik, aku siap, Pak.”

Tiba-tiba, Anton tak tega membalas istrinya lagi. Sedikit demi sedikit, ia mulai memahami kalau ada kesalahpahaman antara dia dan istrinya. “Aku ke rumah janda itu hanya untuk…,” Anton kebingungan mencari alasan pengganti yang tepat, bahwa ia ke rumah si janda, hanya untuk mengorek informasi tentang kecurigaannya selama ini, “…Hanya untuk bertamu, Bu. Apa salahnya? Syukur kalau Ibu masih melihatku. Itu artinya aku tak ada rahasia apa-apa. Lagian, mana mungkin aku selingkuh dengan janda itu. Ibu lebih cantik.”

Aminah lalu menyeka air matanya. Kata-kata terakhir sang suami yang terkesan menggombal, tak sedikit pun menggelitik senyumannya.

Tiba-tiba, suara tapakan kaki, terdengar menuju ke arah mereka. Itu pastinya Ardan, anak semata wayang mereka. Dengan sigap, mereka pun memperbaiki keadaaan, seakan tak ada apa-apa yang telah terjadi di antara mereka.

“Ayah, Ibu, apa kemarin-kemarin, tak ada kiriman yang sampai di rumah?” tanya Ardan, anak mereka yang kini duduk di bangku kelas II SMP.

Anton menggeleng.

Aminah bergeming.

Tanpa ada pertanyaan lebih jauh, Ardan bergegas pergi, menuju ke sekolah.

Anton dan Aminah pun, saling melirik.

“Ya, tanggal ulang tahunku dan Ardan memang berada di bulan yang sama,” ketus Anton.

Tampak, Aminah berat untuk membalas. Ia cuma mengangguk kecil, kemudian melanjutkan santapannya.

Kini, Anton dan Aminah, dua sejoli, sepasang suami istri, hanya saling mendiamkan. Tak kuasa berkata apa-apa lagi. Mereka seakan sadar bahwa ada yang perlu mereka bicarakan dengan diri mereka masing-masing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar