Senin, 27 Maret 2017

Permen Cokelat

Aku hanya seorang penulis amatiran. Jadi penulis untuk blog pribadi. Tak ada obsesi apa-apa, selain untuk berbagi makna kehidupan. Karena itu, apa yang kutulis, tak jauh-jauh dari pengalaman pribadiku. Jelas, banyak peristiwa di keseharianku yang menarik untuk diceritakan. Entah tentang diriku sendiri, atau tentang orang lain di sekelilingku. Aku hanya perlu lebih jeli dan peka. 
 
Selama ini, aku lebih banyak menulis cerpen di banding jenis tulisan yang lain. Dengan cerpen, aku bisa berbagi makna dengan cara yang menyenangkan. Kesan dan pesan akan lebih mandalam jika sebuah peristiwa kubumbuhi dengan alur dan ending yang tak terduga. Karena itu, aku hanya perlu menemukan unsur-unsur cerita dalam kehidupan nyata, lalu kukemas dengan kekuatan fiksi.

Tentang para sosok yang jadi inspirasi cerpenku, lebih banyak kutemukan di lingkungan kampus. Salah satunya adalah Ratih, wanita penyendiri yang misterius. Aku pernah menulis cerpen tentangnya, sebuah cerita tentang wanita pemalu yang jatuh hati pada seorang lelaki pemendam. Bisa ditebak, ceritanya penuh intrik menduga-duga. Dan tentu saja, cerita itu, kutamatkan dengan akhir yang bahagia.

Ratih, wanita yang lekat dengan kamera sakunya, bukanlah sosok yang asing bagiku. Aku merasa punya kedekatan dengannya. Maklum, di antara banyak lelaki di kampus, mungkin akulah yang paling sering menyapanya, meski tak pernah berlanjut pada obrolan yang panjang. Sikap cairnya padaku pun, semakin terlihat setelah cerpen tentangnya kuunggah di blog pribadiku. Senyumnya mengembang sempurna tiap kali kami berpapasan. Entah itu memang karena cepenku, atau ada alasan lain. Aku tak tahu.

Dan seperti biasa, sepulang kuliah, aku kerap menjumpai Ratih di halte. Kami sama-sama menunggu angkutan kota untuk jalur yang berbeda. Jika berada pada posisi itu, aku akan berusaha menyapanya, walau cuma bertanya tentang kabarnya. Ia hanya akan membalasku dengan jawaban yang singkat, tersipu malu, lalu tertunduk dengan poni yang hampir menutup matanya.

Satu hal yang tak akan kulupa tentang Ratih adalah tingkah anehnya pada suatu hari, saat kami berada di halte. Kala itu, ia melirik-lirik ke arahku dengan senyuman yang tak bisa kumaknai apa-apa. Ia memandangiku tanpa kata-kata. Karena risih, aku pun memberinya sebuah permen cokelat. Dan sungguh, ia terlihat begitu senang, meski ia tak segera melahapnya. Yang terjadi, ia malah cengar-cengir memandangi kata “good luck” di sampul permen itu, lalu mengantonginya dengan tingkah malu-malu.

Perilaku Ratih memang aneh. Tapi aku sudah bisa menanggapinya dengan biasa saja. Sampai akhirnya, dua hari yang lalu, tindakan anehnya, membuatku bertanya-tanya sendiri. Sore itu, kala hujan reda dan angkutan kota jurusannya tiba, ia melempar wajahnya dariku, kemudian bergegas pergi dengan raut cemberut. Aku tak tahu apa yang terjadi padanya. Yang pasti, sikapnya itu tak lazim.

Rasa penasaranku terhadap Ratih, bukan sekadar tentang perubahan sikapnya. Keanehan pada orang yang aneh, memang wajar terjadi. Yang membuatku lebih penasaran adalah tentang kehilangannya. Setelah sore itu, aku tak pernah lagi melihat batang hidungnya. Celakanya, aku terpaksa terus mencarinya, sebab ia meninggalkan sebuah map kertas berwarna cokelat, tepat di sore itu juga.

Sampai hari ini, aku masih membawa map yang ditinggalkan Ratih. Aku berusaha mengembalikan itu padanya. Aku pun terus mencarinya di setiap sudut kampus, pada tempat di lokasi kemungkinan ia ada. Di kantin, di bawah pohon, juga di halte, tempat di mana ia sering menghabiskan waktu membaca komik atau memotret di sana-sini. Tapi aku tak menemukannya.

Karena penasaran dengan isi map milik Ratih, aku pun tak bisa menahan diri untuk menyibaknya. Dan, apa yang kujumpai benar-benar membuatku terheran-heran. Setelah kutarik lembaran pertama isinya, yang kudapati foto diriku. Kutarik lagi selembar lainnya, dan kudapati cetakan cerpenku tentang dirinya. Pada lembar selanjutnya, kudapati fotoku bersama Vini, teman seorganisasiku, dengan tanda silang di atasnya. 

Pada lembaran yang terakhir, kudapati sebuah pesan dengan tulisan tangan: 

Ambil kembali pemberianmu! Jangan tulis cerita omong kosong lagi! Silahkan hidup bersama Vini, sebab kau tak akan menjumpaiku lagi!.

Korogoh lagi isi map, dan kudapati permen cokelat yang kuberikan padanya tempo hari, masih dalam keadaan utuh.

Sungguh, pesan-pesan dari Ratih membuatku tersentak. Aku tak menyangka, selama ini ia menguntitku di sela-sela tingkahnya yang tak mudah dibaca. Kuduga, ia terobsesi padaku.

“Bimo!” Suara tegas dan entakan kaki Vini dari arah belakang, mengagetkanku. “Berkas apa itu?”

“Bukan apa-apa,” sangkalku, lalu mengemasnya dengan segera. Untunglah, ia memercayaiku begitu saja.

“Hei, kau tahu Ratih, teman sekampus kita yang aneh ini?” tanyanya.

Aku setengah kaget mendengar ia membahas tentang Ratih. “Ya, tahulah. Aku mungkin lebih kenal dia dari pada kau mengenalnya. Memangnya kenapa?”

Vini kemudian duduk di depanku, sambil memampang wajah yang tampak serius. “Kau tahu, dua hari lalu, ia gantung diri.”

“Maksudmu? Kau dengar dari mana?” sergahku.

“Maksudku, ia berencana bunuh diri. Untunglah, ibunya segera tahu dan menyelamatkan nyawanya,” terang Vini. “Kabar yang kudengar dari teman-teman kampus sih, penyababnya karena ia sedang patah hati. Katanya orang-orang, ada pepesan terakhir yang ditulisnya sebelum mencoba bunuh diri.”

Aku benar-benar tersentak mendengar kabar itu. Apalagi, kuduga kuat, kejadian itu ada hubungannya dengan isi map yang ditinggalkan Ratih. “Kau tahu tentang kabar siapa lelaki yang telah membuatnya patah hati?”

“Aku juga tak tahu. Menurut kabar yang kudengar sih, ia tak menuliskan nama di pepesan terakhirnya,” tutur Vini.

Dan seketika, aku merasa sedikit lega, sebab masih ada kemungkinan bagiku untuk menebus kesalahan yang tak kusengaja pada Ratih. Tapi di sisi lain, dilema yang mendalam juga kurasakan, tentang tindakan apa yang harus kulakukan terhadap Ratih, seorang wanita yang mungkin tak akan mengerti tentang arti cinta selain daripada memiliki.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar