Senin, 27 Maret 2017

Penulis Diary

Kelak, di masa depan, aku akan bertemu dengan seseorang dengan cara yang penuh kejutan. Seorang wanita yang membuatku serasa menjadi lelaki paling beruntung di dunia. Aku tak tahu siapa. Jangankan namanya, menerka-nerka wajahnya saja, aku tak kuasa. Entah matanya bulat atau sipit, badannya sedikit gemuk atau kurus, kupasrahkan saja pada jalan ceritaku. 
 
Di sela-sela waktu penantian, aku hanya bisa mencitrakan wajahnya dalam imajinasiku. Merangkai kombinasi diri yang terbaik, dari banyak unsur fisik yang kukagumi di dunia ini. Menerawang sikap dan tingkahnya dari beragam perilaku keperempuanan yang kusukai. Aku selalu yakin, dia adalah sosok yang sempurna bagiku. Seorang perempuan yang tak menjemu-jemukan.

Atas rasa penasaranku yang mendalam tentang dirinya, telah kurangkai banyak cerita tentang caraku menemukannya. Kelak, saat berjumpa, akan kuutarakan padanya, bahwa aku telah menantinya begitu lama. Akan kuceritakan tentang lika-liku hidup yang telah kulalui, yang kuterobos hingga menemukan dirinya. Karena itulah, aku menulis banyak cerita tentang perjuangan cintaku, cerita tentang indahnya menanti.

Banyak sudah cerita yang kurangkai tentang penantianku padanya, cerita dengan akhir yang tak terduga, yang kuinginkan terjadi antara aku dan dia. Di sela-sela itu, aku juga telah menulis banyak cerita tentang pelajaran batinku kala berharap pada wanita selain dirinya, tentang rasa marah, kecewa, dan sakit hati. Kelak, itu akan menjadi bukti, betapa aku telah mengabaikan, mengorbankan, dan menaklukkan banyak hal demi dirinya.

Kini, saat aku berandai-andai, jika saja kami telah bersama dan ia menemukan celotehan-celotehanku dalam banyak cerita, setidaknya, akan terjadi percakapan hebat di antara kami:

“Siapa wanita yang pernah bersamamu di masa lalu? Siapa wanita yang pernah sangat kau rindukan itu? Siapa wanita yang pernah membuatmu sakit hati? Siapa wanita yang kau katakan, akan berada dalam ingatanmu sepanjang waktu? Siapa saja wanita yang telah kau abadikan dalam tulisanmu itu? Siapa?” tanyanya, setelah mengulik satu per satu gubahan ceritaku.

Jika begitu, aku akan memberikan jawaban terbaik agar emosinya mereda. “Semua itu adalah kau. Wanita-wanita itu adalah pencitraanku, hasil imajinasiku tentang dirimu, sebelum kita bertemu.”

“Aku minta kau jujur saja,” desaknya, “Mana bisa kau menggambarkan sosok dan latar cerita secara mendetail jika saja itu bukan sebuah kenyataan?”

Dan lagi, aku akan berusaha memelas dengan cara terbaik, “Itu kan hanya fiksi. Segala hal bisa terjadi dalam dunia imaji,” kataku, “Percayalah, hanya kau satu-satunya tokoh dalam ceritaku. Selain dirimu, semua hanya selingan, untuk membuktikan bahwa bagiku, kaulah yang terbaik di antara pilihan-pilihan yang ada.”

Setelah aku membalasnya dengan jawaban yang terkesan menggombal, kubayangkan bahwa dia akan luluh. Dia pun jadi percaya padaku, seakan-akan aku hanya mengenal seorang perempuan dalam hidupku: dirinya. Dia akan terbuai, dan menganggapku serupa malaikat. Dia akan lupa, bahwa seorang penulis fiksi, begitu lihai dalam menutupi kenyataan.

“Jadi hanya aku satu-satunya wanita yang mengajarimu beragam rasa dalam semua cerita-ceritamu?” tanyanya lagi.

Aku hanya mengangguk. Tak tega menegaskan kebohongan padanya.

Dan jika saja pada waktu di masa depan itu, kejujuranku tak akan menghancurkan kebersamaan kami, maka kepadanya, akan kukatakan yang sebenar-benarnya: 

Maaf, aku hanya seorang lelaki biasa yang sempat bertemu banyak perempuan sebelum akhirnya menemukanmu. Ada waktu yang panjang sebelum kita bersama. Dan sepanjang itu pula, aku belajar banyak hal pada perempuan-perempuan itu, tentang bagaimana perihnya rasa kecewa atas harapan palsu, sakit hati karena ditinggalkan, dan rindu yang tak berbalas. Semua rasa itu, tak akan kutimpakan padamu. Aku telah belajar banyak hal, dan padamu, aku belajar tentang cinta sejati dan kesetiaan. Hanya padamu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar