Kamis, 30 Maret 2017

Layar Imaji

Sejak pertama kali melihatmu di kampus, di awal kita jadi mahasiswa, aku telah mulai memendam rasa kagum padamu. Aku sendiri tak mengerti kenapa bisa begitu. Mungkin karena kau cantik. Mata berbinar, pipi tembam, dan dua lesung pipi, adalah kombinasi yang sempurna di wajahmu. Tapi, mungkin juga ketertarikanku karena rasa penasaran saja. Apalagi, kau perempuan yang pemalu dan tertutup.
 
Dan seiring waktu, nasib baik berpihak padaku. Kau memilih bergelut di organisasi yang selama ini, juga kuidam-idamkan: organsasi kesenian. Kau memilih mengembangkan bakatmu di seni tari, sedangkan aku memilih musik. Akhirnya, karena sering bertemu di sekretariat, kita pun jadi semakin dekat. Sikapmu yang dahulu terlihat beku, kulihat, tampak sedikit mencair. Namun, kau masih tetap dengan watak dasarmu, yang serius dan pemalu. 

Sebagai langkah taktis untuk mengenalmu lebih dalam, aku pun mencoba mendekatimu di dunia maya. Kuduga, seseorang yang tertutup dalam pergaulan di dunia nyata, akan lebih terbuka di dunia maya. Dan dugaanku terasa benar, sikapmu yang pemalu kala kita berhadap-hadapan, ternyata berbeda jauh di dunia maya. Pesan-pesanmu melalui akun media sosial, sangat ekspresif dengan ikon-ikon yang kau sertakan.

Keseringan mengobrol di media sosial, akhirnya membuat hubungan kita benar-benar mencair, meski sebatas di dunia maya. Kita sama-sama betah untuk mengulas segala hal, meski akulah yang sering kali memulai. Kita suka mengobrol tentang organisasi, tugas kampus, atau tentang teman-teman kita. Sampai akhirnya, aku ingin mengobrol denganmu tentang masalah personal, tentang perasaan kita.

Aku mulai dengan sebuah basa-basi, dengan pertanyaan yang telah kutahu jawabannya: Hai, besok kita sekelas kan? Ada tugas, tidak?

Setelah menunggu belasan menit, kau pun membalas: Iya. Ada. Memangnya kau tak tahu? Kau mengakhiri pesanmu dengan ikon senyuman.

Aku pun jadi kebingungan, bagaimana bisa aku begitu ceroboh melayangkan pertanyaan itu padamu, padahal siang harinya, kau menjumpaiku mengerjakan tugas itu di perpustakaan. Aku pun mengarang alasan lagi: Oh, oke. Aku kira mata kuliah sekelas kita, lusa. Jadi, besok kamu hadir kan?

Iya, aku hadir. Memangnya kau tidak? Kau membubuhi pesanmu dengan ikon tawa.

Aku lalu berhasrat untuk menyentil perasaanmu: Ya, aku hadirlah. Aku takut kau mencariku.

Kau membalasku dengan tiga buah ikon senyuman, tanpa-kata kata, apalagi tanda tanya.

Bola liar pun berada padaku, tentang kelanjutan obrolan kita. Aku merasa tak tega percakapan kita berakhir di malam yang masih panjang. Dan seperti kehilangan kendali diri, aku mengirimkanmu pesan yang sedikit lancang: Besok aku jemput ya?

Kau melewatkan beberapa menit sebelum membalas pesanku. Lagi-lagi, kau menambahkan ikon senyuman: Tak usah. Aku jalan kaki saja. Rumahku juga, dekat dari kampus.

Kuarahkan pembicaraan untuk sentilanku selanjutnya: Tapi terik mentari, sekarang makin ganas.

Kau membalasku segera, sambil menyertakan ikon sedih: Memangnya kenapa? Aku sudah biasa.

Kutandaskan lagi dengan menggugah rasamu: Aku takut kulitmu melepuh dan cantikmu hilang.

Sampai akhirnya, lewat tengah malam, kau tak lagi membalas pesanku.

Keesokan harinya, kita pun berpasasan di kelas dan berkomunikasi di sekretariat organisasi. Tapi kita melalui momen itu dengan biasa saja. Seakan-akan di malam-malam sebelumnya, kita tak bercakap-cakap di dunia maya. Hubungan kita, masih saja begitu. Sebatas teman, tanpa kesan yang lebih. Kau  tetap sibuk dengan urusanmu sendiri, begitu pun aku.

Berbulan-bulan berlalu, hubungan kita masih seaneh itu. Hubungan yang membelah pandanganku atas dirimu, di antara dunia nyata dan dunia maya. Kau begitu ekspresif di dunia maya, dan itulah yang aku suka. Namun sebaliknya, di dunia nyata, kau tak jauh berbeda saat pertama kali aku mengenalmu. Kau tetap seorang wanita yang pendiam, tertutup, dan pemalu. Misterius.

Akhirnya, ilusi mengendalikan diriku. Aku merasa menjadi penggemar beratmu, tapi tak ada niatku untuk menunjukkannya secara nyata. Aku merasa menjadi orang yang peduli padamu, tapi ragaku kaku kala berhadapan denganmu. Aku merasa sangat menginginkanmu, tapi tak pernah bernyali untuk bertanya tentang perasaanmu secara langsung. Bagitu saja.

Hingga sampailah aku pada akhir yang mengenaskan, saat kau ditaklukkan oleh seorang lelaki lain. Sungguh, itulah kenyataan terpahit yang kualami. Aku sadar, kita memang tak pernah terikat dalam hubungan apa-apa selain pertemanan, dan sudah seharusnya aku tak berduka begitu dalam. Tapi kau tak tahu, aku telah dibelenggu ilusiku sendiri, tentang keakraban kita di dunia maya.

Maka malam ini, kala kekalutanku memuncak setelah mengulas sejarah obrolan kita di dunia maya, aku mengirimkan pesan padamu, sebuah tanya yang kukarang-karang sendiri: Apa kau telah mengembalikan buku yang kupinjamkan padamu?

Tanpa menunggu lama, kau pun membalasku, tanpa ikon apa-apa, apalagi tanda tanya: Seingatku, aku telah mengembalikannya sebulan lalu.
 
Dengan rasa tak keruan atas responsmu yang tawar, aku pun meruntuhkan sedikit demi sedikit khayalan yang selama ini kubangun sendiri. Demi waktu, aku akan menyudahi tantang aku dan khayalanku sendiri. Maka, kubalas kau dengan pesan tanpa harapan: Baiklah. Aku kira buku itu masih ada padamu.

Kau tak mengirimkan balasan lagi.
 
Dan sambil berbaring dengan perasaan yang menyesakkan, kusibak kembali lembaran terakhir bukuku yang pernah kupinjamkan padamu itu. Sebuah novel romantis. Berkisah tentang kasih tak sampai, tentang tragisnya hidup seorang pemendam rasa. Di sana, kujumpai lagi sepenggal tulisan tanganmu:

Aku belajar dari novel ini, bahwa cinta butuh keberanian. Cinta butuh kepastian.

Dan salahnya, aku tak belajar dari pesanmu itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar