Kamis, 30 Maret 2017

Kelabu

Dua orang sahabat, Alimin dan Sogi, terlibat obrolan kelas dewasa di depan layar televisi. Topiknya tentang kebobrokan para pejabat yang sedang disiarkan di program berita. Mereka mengutuk kaum demagog yang hanya bisa membuai dengan kata-kata kebaikan, tapi nihil dalam tindakan yang baik. Sungguh menggelitik bagi Alimin, kala menyaksikan seseorang yang dulunya tampak alim di depan kamera, diam-diam, melakukan tindakan bejat. 
 
Yang paling membuat Alimin terenyuh adalah perilaku hitam-putih yang sering kali dipertontonkan oleh para pejabat. Kelabu. Tindakan yang penuh dengan paradoks dan ironi. Kadang ada seorang yang disalahkan karena berbicara kebenaran. Kadang pula ada orang yang dibenarkan, padahal sejatinya ia berperilaku buruk. Sebagai bukti, ia mengutarakan fenomena pejabat yang gemar membangun rumah ibadah, tapi dari hasil korupsi.

Sogi yang analisisnya sesekali lebih mendalam, menyampaikan pendapatnya. Menurut pandangannya, setiap keburukan, senantiasa akan ditutupi dengan intrik kebaikan. Kadang kala, kebaikan yang tampak sebesar-besarnya, adalah untuk menutupi keburukan yang sebesar-besarnya. Setiap orang yang berperilaku buruk, tetap ingin terlihat baik, supaya ia merasa aman dalam melakukan keburukan selanjutnya.

Mulut Alimin pun, seperti tersekat mendengar penuturan Sogi. Nalarnya seakan-akan mengiyakan tesis yang diutarakan sahabatnya itu. Sambil mengunyah beragam makanan ringan yang baru saja dibelinya, ia terus mengeluarkan puji-pujian, bahwa teman karibnya itu, adalah orang yang cerdas. Tentu saja, Sogi menjadi besar kepala. Tapi sembari lahap mengunyah makanan, ia berusaha menutupi rasa tersanjungnya. Ia pun balik memuji Alimin.

“Ngomong-ngomong, hari ini kau baik sekali kawan. Aku merasa beruntung punya teman baik sepertimu. Kau sangat pengertian. Bisa jadi teman diskusi, teman tertawa, juga teman sependeritaan,” aku Sogi. “Harusnya, hari ini, aku yang mentraktirmu.”

Alimin terkekeh. “Tak usah sungkan. Makan saja selahap-lahapnya. Nikmatilah perayaan ulang tahunmu kawan,” katanya, sambil menepuk-napuk lengan Sogi. “Aku sih kurang setuju dengan kebiasaan sekarang. Kalau orang ulang tahun, ya sekali-kalilah dia yang ditraktir. Kalau tidak begitu, bisa jadi orang-orang malah tak senang di hari ulang tahunnya, sebab takut diporoti.”

Sogi menggeleng-gelengkan kepala. Tampak kagum dengan pola pikir kawannya. “Jika saja pejabat-pejabat negara sepengertian dan sedermawan kamu, aku yakin, bangsa kita akan sejahtera.”

“Ah, berhentilah memuji-muji. Ini hanya masalah kecil. Apalagi, aku yakin, jika kau sedang banyak rezeki sekarang, kau pasti telah menyiapkan hidangan sebelum aku kemari,” kata Alimin.

“Sepertinya tidak,” balas Sogi, lalu tertawa.

Alimin pun turut tertawa, seakan-akan perbincangan tak lucu seperti itu, pantas ditertawankan.
Setelah puas menertawakan sesuatu di kepalanya sendiri, Alimin pun mohon pamit dengan perutnya yang begah. Sogi yang tak kalah kenyangnya, membiarkan saja temanya itu pergi. Apalagi, sudah waktunya ia tidur malam.

Tapi seketika, Sogi maengingat bahwa ia harus mengembalikan pinjamannya pada Alimin. Ia pun meminta waktu sebentar kepada sahabatnya itu, kemudian berdiri, bergerak ke arah sebuah meja. Ia hendak mengambil selembar uang Rp. 50.000,- yang tergeletak di atas sebuah meja, untuk diberikannya kepada Alimin. Namun, selembar uang yang dimaksudnya, telah lenyap entah ke mana.

“Imin, utangku yang kemarin, masih belum bisa kukembalikan. Maaf ya, aku belum punya uang. Uang yang hendak kuberikan padamu, lenyap di atas meja, entah ke mana,” akunya. “Mungkin, adikku yang mengambilnya. Besok, kuusahakan untuk membayar utangku.”

Seketika, perasaan Alimin tersentuh. Ia merasa prihatin melihat raut kasihan dan bersalah di wajah sahabatnya itu. Setelah mempertimbangkan matang-matang, ia pun kembali menunjukkan kedermawanannya. “Tak usah pikirkan utang itu lagi. Kau tak usah mengembalikannya. Hitung saja itu sebagai bagian dari perayaan ulang tahunmu.”

“Tapi, aku harus mengembalikannya,” paksa Sogi.

Alimin menggeleng. “Tak usah kawan.”

Dan, akhirnya, Sogi pun mengalah. “Terima kasih kalau begitu. Suatu saat, kalau kau ulang tahun, aku akan melakukan hal yang sama untukmu.”

Alimin hanya tersenyum, kemudian berlalu bersama cerita terselubung di benaknya, cerita yang tak lagi terasa lucu. Bahkan, ada sedikit rasa bersalah yang sekarang ia pendam, sebab selembar uang yang dimaksud Sogi, telah ia tukarkan dengan seperangkat makanan ringan, juga beberapa botol minuman berwarna di warung sebelah. Dan kini, ia merasa bagian dari kaum demagog yang penuh ironi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar