Rabu, 29 Maret 2017

Jika Kemarin Adalah Hari Esok…

Kita pernah sangat dekat, hingga terperangkap dalam rasa yang lebih dari sahabat. Perasaan kita sama, sama-sama saling menginginkan. Jelas, aku tahu tentang perasaanku yang begitu menginginkanmu. Dan kubaca pada dirimu, kau juga sangat menginginkanku. Tanda-tandanya tampak pada perilakumu tiap kali kita bersama. Pada caramu tersenyum, bertutur, dan menatapku.
 
Dan, aku ingat lagi saat kita berada di tahun ketiga perkuliah. Satu waktu, kala kita tengah berjalan beriringan, sepulang dari kampus, kita pun mengobrolkan tentang masa depan, 

“Radi, apa kau punya kriteria wanita idaman yang hendak kau nikahi suatu saat nanti?” tanyamu, agak segan. Kuduga, pertanyaan itu, telah lama kau pendam. 

Jelas, aku sedikit heran dengan kelancanganmu. Biarpun persahabatan kita telah berlangsung lama, tapi membicarakan persoalan pasangan hidup, enggan kita lakukan. Kita sama-sama menahan diri. Tapi akhirnya, kau memulai.

“Aku tak punya kriteria pasti. Aku tak akan pernah tahu bagaimana bentuk rupanya, sampai aku benar-benar menjumpainya sebagai jodohku,” balasku, tak ingin jujur bahwa pada dirimu, semua kriteria wanita idamanku, telah terpenuhi. “Kau sendiri bagaimana?”

Kau berusaha menjawabku dengan sikap yang biasa, “Aku suka lelaki yang tinggi, berkulit cerah, bermata sipit, suka membaca, lihai main gitar, humoris, cerdas, penyabar, pokoknya yang baik-baiklah,” katamu, sambil memerhatikan diriku baik-baik. Seakan kau melihat kriteria itu pada diriku. "Kau tahu tidak, di mana bisa menemukan lelaki yang komplet seperti itu?”

“Entahlah. Tapi kukira, Bardan hampir memenuhi semua kriteriamu,” balasku, bermaksud meledek, sebab kau sendiri tahu, Bardan jauh dari sosok lelaki idaman, baik dari sisi fisik maupun perilaku.
 
“Kau bercanda? Kalau Bardan sih, jauh. Dari semua lelaki di dunia ini, mungkin dialah pilihan terakhirku. Itu pun kalau dipaksa,” sergahmu. Kau tampak kesal dengan ledekanku. “Ada saran lain?”

Kali ini, aku yakin, kau sedang menguji kepekaanku. Kau ingin aku memasukkan diriku dalam pilihanmu, lalu kau tinggal mengiyakannya saja. “Ya, mana aku tahu,” balasku, tanpa bertanya kembali. Berharap kita segera beralih ke topik obrolan yang lain.

Kita sama-sama terdiam untuk beberapa waktu.

Tak lama berselang, kau bertanya lagi, masih soal masa depan itu. “Kalau rencanamu menikah, kapan?”

Aku berpikir-pikir beberapa saat, sampai akhirnya mengutarakan rencanaku. “Maunya sih, setelah lulus kuliah dan setelah mendapat pekerjaan yang menjamin. Ya, sekitar dua tahun lagilah.”

“Ya, lama amat. Kenapa tidak pas lulus kuliah saja. Setelah menikah, masalah kebutuhan rumah tangga, kan bisa diusahakan bersama-sama oleh suami-istri,” keluhmu, lalu menoleh sejenak padaku, seakan mengisyaratkan bahwa kau tak kuat menunggu selama itu.

Aku tak segera menanggapimu.

“Tapi kalau itu rencanamu, aku rela menunggu hingga dua tahun lagi, untuk tahu dengan siapa kau akan menikah. Aku yakin kau akan menemukan orang yang tepat, sebagaimana nasihat bahwa seseorang akan menemukan jodoh sesuai cerminan dirinya. Kau orang yang baik,” katamu sambil tersenyum, meski terkesan terpaksa. “Kau tak menanyaiku?”

“Kau sendiri bagaimana?” tanyaku, terpaksa.

“Kalau aku sih, sebagai perempuan, menunggu kepastian saja. Kalau ada yang melamar, kalaupun besok, dan kurasa cocok, ya itulah jodohku. Perempuan itu hanya butuh kepastian,” jawabmu, sambil menunduk, menyelaraskan langkah kita.

Aku pun hanya membalasmu dengan senyuman dan tawa yang pendek. Bermaksud memberimu kesan bahwa aku tak mengapa dengan cara pandangmu yang seperti itu. Aku tak ingin memaksakan tentang kita. 

Sikapku yang tak acuh padamu, sebenarnya caraku untuk tidak menggantungkanmu. Semasih aku belum siap memberimu kepastian, selama itu pula aku jadi pemendam. Banyak hal yang harus kugapai untuk membahagiakanmu di masa depan, tentang bekal hidup kita.

Jujur, aku takut juga mengabaikan makna dari tanda-tanda yang kau berikan secara terus-menerus. Berat kurasa jika sepanjang waktu, harus pura-pura ingkar atas hasratku untuk menikahimu. Tapi bagaimana pun juga, rasioku mengalahkan perasaanku. Maka, di sela-sela waktu, aku hanya terus berdoa, semoga kita memang terlahir sebagai jodoh, di masa depan. 

Dan tiba-tiba, sekitar dua tahun selepas kelulusan kita, kala aku masih sibuk dengan urusan pekerjaan, tersiarlah kabar yang menggemparkan bahwa kau sedang dekat dengan sahabatku sendiri, Bardan. Jelas kabar itu mengagetkanku. Apalagi, semasih kuliah, aku tahu, kau sama sekali tak suka dengan lelaki urakan yang suka gonta-ganti kekasih semu itu. 

“Bro, sekarang aku pacaran dengan Elis, sekampus kita?” tutur Bandan padaku, saat kami tengah menikmati kopi di sebuah kedai. Ia tampak pamer.

Aku tersedak kopi ketika mendengar penuturannya. “Bagaimana bisa?” tanyaku.

“Ceritanya panjang. Yang pasti, dialah yang lebih dulu mendekat padaku. Maklum, aku kan keren,” katanya. “Aku sih, kalau masalah cewek, siap-siap saja.”

Emosiku tiba-tiba terpancing. “Jangan macam-macam ya padanya!” bentakku, sambil menunjuk-nunjuk ke arah wajahnya.

“Kok kamu marah begitu? Memangnya kanapa?” tanyanya. Jelas ia heran melihat sikapku.

Seketika, aku sadar tak punya hak apa-apa tentang kau dan dia. Aku pun terdiam, menutupi rahasia hatiku sendiri.

“Aku tahu, Elis anak baik-baik. Makanya, kupastikan dia perempuan terakhir yang akan kupacari,” katanya, semringah. “Kawan, kupesan padamu, selagi masih muda, jalanlah sekali-kali dengan perempuan. Nikmati hidupmu!”

Aku tak meresponsnya lagi. Dan setelah percakapan itu, pertemanan kami pun menjadi dingin.

Seiring waktu, tepat di tahun ketiga kelulusan kita, puncak dari cerita yang tak kuinginkan benar-benar terjadi: kau menikah dengan Bardan. Kenyataan itu, jelas tak pernah kubayangkan sebelumnya. Dan kekalutanku semakin menjadi-jadi kala tahu bahwa kau dikaruniai momongan, seorang anak perempuan, di bulan ke enam pernikahan kalian. 

Sejujurnya, aku tak akan mempersoalkan sehidup-semati tentang siapa pasangan hidupmu. Aku hanya ingin kau menemukan orang yang tepat, biarpun bukan aku. Dan bersama Bardan, aku yakin kau salah memilih. Sampai buktinya pun terjadi, kala suatu hari datang kabar padaku, bahwa kau akan bercerai dengannya karena tindak kekerasan dalam rumah tangga. Sungguh, jika saja kemarin adalah hari esok, tak akan kubiarkan dia mendahuluiku menikahimu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar