Rabu, 29 Maret 2017

Dus Dosa

Dina jadi kelimpungan. Masih pagi-pagi, seorang lelaki dewasa dengan tingkah yang aneh, bertandang ke rumahnya. Lelaki itu mengenakan pakaian yang tak wajar: sandal jepit di sebelah kakinya, kaos oblong sobek-sobek, celana selutut, dan sarung yang melintang di dadanya. Ia tampak sangat dekil. Seperti tak becus mengurus dirinya sendiri. 
 
Yang lebih mengesalkan Dina, lelaki itu terus-terusan menggedor pintu. Sambil mengamati lingkungan rumah, ia tak henti-hentinya bertertiak dan bercerosos. Sampai akhirnya, Dina mendengar sepenggal kalimat dari lelaki asing itu untuk suaminya: Ruslan Pembohong, koruptor, panjahat, kembalikan uangku!
 
Melihat tingkahnya yang semakin ganas, Dina pun bingung. Apalagi di rumah, hanya ada anak laki-lakinya yang berusia 6 Tahun, sedangkan suaminya sudah tak ada di rumah lagi. Terpaksa, ia pun menelepon dan meminta bantuan pada satpam perumahan. Dan tak berselang lama, satpam pun datang menindak, hingga lelaki itu pergi, masih dengan cacian yang sama untuk suaminya. 

Setelah suasana aman, Dina pun menyibak pintu, bermaksud mengamati kalau-kalau ada kerusakan fatal akibat ulah si lelaki aneh. Beruntung, semua perabot dan hiasan rumahnya, baik-baik saja. Pot dan tanaman bunga yang berharga mahal, tak ada yang rusak. Masalah hanya terdapat pada daun pintu yang tegores-gores, juga teras rumah mewahnya yang kotor.

Dina pun segera membenahi keadaan rumahnya. Belum sampai tengah hari, ia telah meminta tetangganya, seorang buruh yang keseringan menganggur, untuk mengecet kembali daun pintunya. Maklum, Dina adalah seorang istri yang amanah merawat hasil kerja keras suaminya. Apalagi, sesekali ada pejabat, teman kantor sang suami dahulu, yang bertandang ke rumahnya.

Sore pun menjelang. Keadaan kembali seperti semula. Tapi kala Dina bermaksud mengawasi anaknya bermain di depan rumah, terlihatlah olehnya sebuah dus berwarna cokelat, menggantung di terali pagar. Pada sisi dus itu, didapatinya nama pengirim, juga nama dan alamat yang dituju. 

Untuk sementara waktu, Dina tak melakukan tindakan apa-apa. Ia kembali menggantung dus itu di terali pagar, sambil berharap orang yang punya datang mengambilnya. Tapi sampai pagi menjelang, dus itu masih ada. Sekali lagi, Dina mencoba mengabaikannya sampai lewat tengah hari, tapi dus itu masih juga ada. Maka, ia pun memutuskan untuk mengantar barang itu ke alamat yang dituju, sembari menjemput anaknya sepulang sekolah.

Sesampainya di alamat yang dimaksud si pengirim, Dina pun menjumpai seorang perempuan tua menyendiri di teras rumahnya. 

“Ibu Linda?” sapat Dina, dengan nama yang dilihatnya di sisi dus.

Perempuan itu, Linda, mengangguk kecil. Ia tampak heran melihat Dina, seorang perempuan yang belum dikenalnya, datang menghampiri.

“Namaku Dina, Bu,” katanya, sambil menyelami ibu tua itu. “Ada kiriman untuk Ibu,” tutur Dina, sambil terseyum, “Aku mendapatkannya tertinggal di depan rumahku.”

Dengan sedikit rasa curiga, perempuan beruban itu pun, menyambut dus yang disodorkan padanya. “Roby! Anakku!” serunya, “Ini dari anakku. Kau tahu keberadaannya?”

Dina menggeleng. “Maksud Ibu? Anak Ibu mamangnya kenapa?”

Raut sedih, seketika terpancar jelas dari wajah Linda. Sambil mengurai ikatan pada kardus, ia pun menceritakan sedikit perihal anaknya pada Dina, “Anakku menghilang, Nak. Sudah hampir dua minggu ia tak kembali ke rumah.”

Dina belum sempat bertanya lebih lanjut, hingga akhirnya, tangis Linda, pecah. Ia menangis sambil memeluk-meluk seragam pegawai negeri kiriman anaknya. Tangisnya pun menjadi-jadi kala membaca surat kecil dari sang anak: Bu, maafkan aku, karena belum bisa jadi PNS yang membahagiakan Ibu.

“Anak Ibu seorang pegawai negeri?” tanya Dina, setelah melihat emosi Linda mereda dan kemungkinan sanggup menjawab pertanyaannya. 

Linda menggeleng. “Bukan, Nak.”

“Terus, baju itu?” tanya Dina lagi, penuh penasaran. “Apa yang terjadi dengan anak Ibu?”

Sambil menangis, Linda pun menuturkan penjelasannya, “Belakangan ini, anakku jadi kurang waras, Nak. Emosinya tak terkendali. Itu bermula dari sebulan yang lalu, saat ia dinyatakan tidak lulus dalam tes calon pegawai negeri sipil. Ia benar-benar sedih,” jelasnya, sambil sesekali tersedak tangis.
Seketika, Dina pun turut prihatin mendengar penjelasan perempuan itu.

“Apalagi, kami telah berkorban banyak demi kelulusannya. Kami telah mengumpulkan uang sebanyak dua puluh juta demi kelulusannya. Bahkan motornya pun rela dijual. Tapi hasilnya, tidak ada. Padahal, uang itu telah kami setorkan kepada seorang pejabat yang telah menjamin bahwa anakku itu, akan lulus pegawai negeri,” kenang Linda.

Mengingat status suaminya sebagai seorang pegawai negeri dengan pangkat yang tinggi, Dina pun semakin tersentuh. “Aku turut prihatin, Bu. Mudah-mudahan, Roby segera ditemukan dan pulang ke rumah dengan selamat,” tuturnya.

Linda menyeka air matanya. “Amin, Nak.” Ia lalu merogoh sebuah foto dari kantong dasternya, lalu memperlihatkannya pada Dina. “Ini Roby, anakku. Kalau kau menjumpainya, tolong katakan padanya kalau aku sangat merindukannya. Suruh ia pulang ke rumah. Aku minta tolong, Nak.”

Dina mengangguk-angguk. Otaknya lambat mencerna kata-kata dari Linda, sebab fokusnya tertuju pada satu wajah di seberkas foto. Di sana terlihat wajah seorang lelaki aneh yang kemarin sore bertandang ke rumahnya. Jelas, ia tak meragukan itu. 

Setelah berselang beberapa saat, Dina pun tersadar dari lamunannya. “Baik, Bu. Kalau aku ketemu, akan kuantar anak Ibu pulang.”

Linda pun tersenyum senang.

Dengan alasan hendak menjemput anaknya pulang sekolah, Dina pun melenggang pergi. Tapi pikirannya masih terperangkat pada serangkaian cerita panjang yang dialaminya, yaitu tentang makian Roby yang tak waras pada suaminya, kemarin.

Kini, dengan serangkaian cerita itu, Dina meragukan kembali alasan suaminya dipindahtugaskan ke pulau seberang. Ia curiga, itu bukan karena alasan politik, bukan karena kebijakan mutasi pejabat pasca pemilihan kepala daerah. Ia curiga, itu ada kaitannya dengan Roby.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar