Senin, 27 Maret 2017

Alasan Lain

Aku masih ingat kejadian dua bulan yang lalu. Waktu itu, kita yang terjebak di sebuah kafe sambil menunggu hujan reda, terlibat dalam perdebatan yang sengit. Penyebabnya karena kau mulai mempertanyakan keseriusanku dalam hubungan kita. Kau mulai ragu atas kesungguhanku mendampingimu sepanjang waktu. Dan kesimpulannya, kau ingin aku menikahimu.
 
Jalan pikiranmu benar-benar sulit kupahami. Jika selama dua tahun hubungan kita masih baik-baik saja, itu harusnya bisa kau pegang sebagai bukti bahwa aku akan bertahan denganmu, hingga kita menikah suatu saat nanti. Seperti yang selalu kukatakan padamu, semua hanya masalah waktu.  Kau seharusnya tak usah meragukanku.

Sungguh, aku tak pernah berniat mempermainkanmu dalam hubungan yang kau anggap penuh ketidakpastian. Maksudku, di selang waktu antara aku menyatakan perasaanku sampai kita menikah nanti, akan kulakukan yang terbaik demi masa depan kita. Aku akan menempuh jenjang pendidikan setinggi tingginya, hingga mendapakan pekerjaan yang menjamin, demi anak dan cucu kita kelak.

“Jadi, kau butuh pekerjaan dulu baru menikahiku. Setelah itu, kau akan beralasan butuh rumah dulu. Setelah itu, kau harus beli mobil dulu. Setelah itu kau harus punya tabungan dulu, dan seterusnya, dan seterusnya. Terus kapan?” cerocosmu, saat kita mengobrol di sebuah kafe, di waktu yang lampau. Kau tampak sangat kesal. “Waktu bisa mengubah segalanya Tomi.”

“Terus, maumu, kita menikah saja, memiliki anak, dan tidak memiliki bekal apa-apa? Mau kita apakan anak kita nanti?” banatahku, sedikit menekan. “Rina, mengertilah, akan datang waktu yang tepat untuk kita menikah.”

“Pokoknya, aku ingin secepatnya. Kau tak takut, kalau suatu waktu, ada seorang lelaki yang lebih berani dan lebih dahulu meminangku, lalu aku tak bisa memilih apa-apa selain mengiyakannya?” balasmu lagi, seperti mengancam.

“Aku bisa apa jika kau mengalah pada keadaan, sebelum datang waktu yang tepat untuk kita menikah,” balasku dengan penuh kepasrahan.

Kau tampak semakin gusar. “Tapi kapan Tom? Jika sikapmu begini-begini saja, itu buktinya, kau tak benar-benar mencintaiku,” tuturmu, lalu beranjak pergi, menghilang dibawa taksi. Kau meninggalkanku. 

Dan pada hari itu, hubungan kita pun berakhir tanpa kata “putus”.

Sepanjang hari setelah kejadian itu, aku benar-benar dilanda kekalutan. Aku jelas merasa berat memilih di antara salah satu dari dua pilihan yang tak boleh kuabaikan, antara keinginanmu dan keinginanku. Jika aku mengikuti keinginanmu, maka kita akan hidup bersama. Tapi seiring itu, aku akan mengabaikan keinginanku, sebuah cita-cita untuk membahagiakan orang tuaku, ibuku. Aku akan mengabaikan pesan almarhum ayahku, agar aku sekolah tinggi-tinggi.

Dan akhirnya, sebagaimana katamu, waktu memang bisa mengubah segalanya. Setelah aku bersikeras dengan pendirianku, segala hal malah membuatku harus mengalah. Setelah melalui pergulatan batin yang panjang, dan setelah mendapat dorongan dan restu dari ibuku, aku akhirnya mengalah pada keinginanmu. Kini, kita benar-benar berada dalam ikatan yang kau inginkan, dalam ikatan pernikahan.

“Apa yang membuatmu meluluh, lalu memutuskan untuk menikahiku? Bukankah sebelumnya kau kukuh pada keinginanmu tentang harta benda dan pendidikan?” tanyamu, kala kita duduk sambil menikmati cemilan dan menonton televisi, tepat di hari ketujuh pernikahan kita.

“Ya, karena aku mencintaimu,” kataku, bermaksud menyenangkanmu. “Sejujurnya, aku takut juga pada ancamanmu, kalau suatu saat, seseorang akan meminangmu lebih dulu, dan kau tak bisa apa-apa selain menerimanya.”

Kau menyandarkan kepalamu di pundakku, sambil mengandeng tanganku erat-erat. Genggamanmu terasa hangat. “Aku memang yakin, kalau kau tak akan rela kalau kita berpisah. Aku tahu, kau begitu mencintaiku,” tuturmu, sambil memandangiku lekat-lekat. “Dan setelah kita menikah, aku semakin tenang. Aku tak ragu lagi bahwa kita akan terus bersama seumur hidup.”

“Ya, kita akan terus bersama, sepanjang waktu,” timpalku.

Kita lalu terdiam sejenak.

Tak lama kemudian, kau menyentil topik lain, tentang ibuku yang meninggal dua hari yang lalu. “Dalam momen seperti ini, aku jadi ingat Ibumu. Jika saja ia masih ada, aku yakin ia akan senang melihat kita berdua.”

“Ya. Pastinya, ia akan bahagia melihat kita berdua,” kataku, sembari mengusap-usap rambutmu.

Tiba-tiba, aku teringat lagi perdebatan panjang dengan ibuku, saat ia terbaring lemas, seminggu sebelum pernikahan kita.

“Menikahlah, Nak. Aku ingin kau menikah sebelum aku pergi untuk selamanya,” pintanya.

Aku berusaha menyanggah, “Aku tak bisa, Bu.  Siapa yang akan menemani hidup Ibu kalau aku menikah?” kataku. “Ibu adalah faktor kebahagiaanku. Kalau Ibu bahagia, aku juga ikut bahagia. Aku tak masalah jika tak harus menikah demi Ibu.”

“Tapi, Nak, aku tak menginginkan apa-apa lagi untuk bahagia, selain melihatmu menikah.”

Aku tetap ingin membantahnya, “Tapi, Bu…”

“Nak, aku mohon,” sergahnya. “Aku mohon, menikahlah.”

Setelah percakapan dengan ibuku itu, aku akhirnya memutuskan untuk menikahimu. 

Dan sejujurnya, tentang sejarah perjalanan cinta kita, ada satu hal yang belum kau tahu dan masih kurahasiakan, bahwa alasan utamaku menikahimu, bukan untuk mengikuti keinginanmu, Semua itu kulakukan karena alasan lain: demi ibuku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar