Kamis, 30 Maret 2017

Kelabu

Dua orang sahabat, Alimin dan Sogi, terlibat obrolan kelas dewasa di depan layar televisi. Topiknya tentang kebobrokan para pejabat yang sedang disiarkan di program berita. Mereka mengutuk kaum demagog yang hanya bisa membuai dengan kata-kata kebaikan, tapi nihil dalam tindakan yang baik. Sungguh menggelitik bagi Alimin, kala menyaksikan seseorang yang dulunya tampak alim di depan kamera, diam-diam, melakukan tindakan bejat. 
 
Yang paling membuat Alimin terenyuh adalah perilaku hitam-putih yang sering kali dipertontonkan oleh para pejabat. Kelabu. Tindakan yang penuh dengan paradoks dan ironi. Kadang ada seorang yang disalahkan karena berbicara kebenaran. Kadang pula ada orang yang dibenarkan, padahal sejatinya ia berperilaku buruk. Sebagai bukti, ia mengutarakan fenomena pejabat yang gemar membangun rumah ibadah, tapi dari hasil korupsi.

Sogi yang analisisnya sesekali lebih mendalam, menyampaikan pendapatnya. Menurut pandangannya, setiap keburukan, senantiasa akan ditutupi dengan intrik kebaikan. Kadang kala, kebaikan yang tampak sebesar-besarnya, adalah untuk menutupi keburukan yang sebesar-besarnya. Setiap orang yang berperilaku buruk, tetap ingin terlihat baik, supaya ia merasa aman dalam melakukan keburukan selanjutnya.

Mulut Alimin pun, seperti tersekat mendengar penuturan Sogi. Nalarnya seakan-akan mengiyakan tesis yang diutarakan sahabatnya itu. Sambil mengunyah beragam makanan ringan yang baru saja dibelinya, ia terus mengeluarkan puji-pujian, bahwa teman karibnya itu, adalah orang yang cerdas. Tentu saja, Sogi menjadi besar kepala. Tapi sembari lahap mengunyah makanan, ia berusaha menutupi rasa tersanjungnya. Ia pun balik memuji Alimin.

“Ngomong-ngomong, hari ini kau baik sekali kawan. Aku merasa beruntung punya teman baik sepertimu. Kau sangat pengertian. Bisa jadi teman diskusi, teman tertawa, juga teman sependeritaan,” aku Sogi. “Harusnya, hari ini, aku yang mentraktirmu.”

Alimin terkekeh. “Tak usah sungkan. Makan saja selahap-lahapnya. Nikmatilah perayaan ulang tahunmu kawan,” katanya, sambil menepuk-napuk lengan Sogi. “Aku sih kurang setuju dengan kebiasaan sekarang. Kalau orang ulang tahun, ya sekali-kalilah dia yang ditraktir. Kalau tidak begitu, bisa jadi orang-orang malah tak senang di hari ulang tahunnya, sebab takut diporoti.”

Sogi menggeleng-gelengkan kepala. Tampak kagum dengan pola pikir kawannya. “Jika saja pejabat-pejabat negara sepengertian dan sedermawan kamu, aku yakin, bangsa kita akan sejahtera.”

“Ah, berhentilah memuji-muji. Ini hanya masalah kecil. Apalagi, aku yakin, jika kau sedang banyak rezeki sekarang, kau pasti telah menyiapkan hidangan sebelum aku kemari,” kata Alimin.

“Sepertinya tidak,” balas Sogi, lalu tertawa.

Alimin pun turut tertawa, seakan-akan perbincangan tak lucu seperti itu, pantas ditertawankan.
Setelah puas menertawakan sesuatu di kepalanya sendiri, Alimin pun mohon pamit dengan perutnya yang begah. Sogi yang tak kalah kenyangnya, membiarkan saja temanya itu pergi. Apalagi, sudah waktunya ia tidur malam.

Tapi seketika, Sogi maengingat bahwa ia harus mengembalikan pinjamannya pada Alimin. Ia pun meminta waktu sebentar kepada sahabatnya itu, kemudian berdiri, bergerak ke arah sebuah meja. Ia hendak mengambil selembar uang Rp. 50.000,- yang tergeletak di atas sebuah meja, untuk diberikannya kepada Alimin. Namun, selembar uang yang dimaksudnya, telah lenyap entah ke mana.

“Imin, utangku yang kemarin, masih belum bisa kukembalikan. Maaf ya, aku belum punya uang. Uang yang hendak kuberikan padamu, lenyap di atas meja, entah ke mana,” akunya. “Mungkin, adikku yang mengambilnya. Besok, kuusahakan untuk membayar utangku.”

Seketika, perasaan Alimin tersentuh. Ia merasa prihatin melihat raut kasihan dan bersalah di wajah sahabatnya itu. Setelah mempertimbangkan matang-matang, ia pun kembali menunjukkan kedermawanannya. “Tak usah pikirkan utang itu lagi. Kau tak usah mengembalikannya. Hitung saja itu sebagai bagian dari perayaan ulang tahunmu.”

“Tapi, aku harus mengembalikannya,” paksa Sogi.

Alimin menggeleng. “Tak usah kawan.”

Dan, akhirnya, Sogi pun mengalah. “Terima kasih kalau begitu. Suatu saat, kalau kau ulang tahun, aku akan melakukan hal yang sama untukmu.”

Alimin hanya tersenyum, kemudian berlalu bersama cerita terselubung di benaknya, cerita yang tak lagi terasa lucu. Bahkan, ada sedikit rasa bersalah yang sekarang ia pendam, sebab selembar uang yang dimaksud Sogi, telah ia tukarkan dengan seperangkat makanan ringan, juga beberapa botol minuman berwarna di warung sebelah. Dan kini, ia merasa bagian dari kaum demagog yang penuh ironi.

Layar Imaji

Sejak pertama kali melihatmu di kampus, di awal kita jadi mahasiswa, aku telah mulai memendam rasa kagum padamu. Aku sendiri tak mengerti kenapa bisa begitu. Mungkin karena kau cantik. Mata berbinar, pipi tembam, dan dua lesung pipi, adalah kombinasi yang sempurna di wajahmu. Tapi, mungkin juga ketertarikanku karena rasa penasaran saja. Apalagi, kau perempuan yang pemalu dan tertutup.
 
Dan seiring waktu, nasib baik berpihak padaku. Kau memilih bergelut di organisasi yang selama ini, juga kuidam-idamkan: organsasi kesenian. Kau memilih mengembangkan bakatmu di seni tari, sedangkan aku memilih musik. Akhirnya, karena sering bertemu di sekretariat, kita pun jadi semakin dekat. Sikapmu yang dahulu terlihat beku, kulihat, tampak sedikit mencair. Namun, kau masih tetap dengan watak dasarmu, yang serius dan pemalu. 

Sebagai langkah taktis untuk mengenalmu lebih dalam, aku pun mencoba mendekatimu di dunia maya. Kuduga, seseorang yang tertutup dalam pergaulan di dunia nyata, akan lebih terbuka di dunia maya. Dan dugaanku terasa benar, sikapmu yang pemalu kala kita berhadap-hadapan, ternyata berbeda jauh di dunia maya. Pesan-pesanmu melalui akun media sosial, sangat ekspresif dengan ikon-ikon yang kau sertakan.

Keseringan mengobrol di media sosial, akhirnya membuat hubungan kita benar-benar mencair, meski sebatas di dunia maya. Kita sama-sama betah untuk mengulas segala hal, meski akulah yang sering kali memulai. Kita suka mengobrol tentang organisasi, tugas kampus, atau tentang teman-teman kita. Sampai akhirnya, aku ingin mengobrol denganmu tentang masalah personal, tentang perasaan kita.

Aku mulai dengan sebuah basa-basi, dengan pertanyaan yang telah kutahu jawabannya: Hai, besok kita sekelas kan? Ada tugas, tidak?

Setelah menunggu belasan menit, kau pun membalas: Iya. Ada. Memangnya kau tak tahu? Kau mengakhiri pesanmu dengan ikon senyuman.

Aku pun jadi kebingungan, bagaimana bisa aku begitu ceroboh melayangkan pertanyaan itu padamu, padahal siang harinya, kau menjumpaiku mengerjakan tugas itu di perpustakaan. Aku pun mengarang alasan lagi: Oh, oke. Aku kira mata kuliah sekelas kita, lusa. Jadi, besok kamu hadir kan?

Iya, aku hadir. Memangnya kau tidak? Kau membubuhi pesanmu dengan ikon tawa.

Aku lalu berhasrat untuk menyentil perasaanmu: Ya, aku hadirlah. Aku takut kau mencariku.

Kau membalasku dengan tiga buah ikon senyuman, tanpa-kata kata, apalagi tanda tanya.

Bola liar pun berada padaku, tentang kelanjutan obrolan kita. Aku merasa tak tega percakapan kita berakhir di malam yang masih panjang. Dan seperti kehilangan kendali diri, aku mengirimkanmu pesan yang sedikit lancang: Besok aku jemput ya?

Kau melewatkan beberapa menit sebelum membalas pesanku. Lagi-lagi, kau menambahkan ikon senyuman: Tak usah. Aku jalan kaki saja. Rumahku juga, dekat dari kampus.

Kuarahkan pembicaraan untuk sentilanku selanjutnya: Tapi terik mentari, sekarang makin ganas.

Kau membalasku segera, sambil menyertakan ikon sedih: Memangnya kenapa? Aku sudah biasa.

Kutandaskan lagi dengan menggugah rasamu: Aku takut kulitmu melepuh dan cantikmu hilang.

Sampai akhirnya, lewat tengah malam, kau tak lagi membalas pesanku.

Keesokan harinya, kita pun berpasasan di kelas dan berkomunikasi di sekretariat organisasi. Tapi kita melalui momen itu dengan biasa saja. Seakan-akan di malam-malam sebelumnya, kita tak bercakap-cakap di dunia maya. Hubungan kita, masih saja begitu. Sebatas teman, tanpa kesan yang lebih. Kau  tetap sibuk dengan urusanmu sendiri, begitu pun aku.

Berbulan-bulan berlalu, hubungan kita masih seaneh itu. Hubungan yang membelah pandanganku atas dirimu, di antara dunia nyata dan dunia maya. Kau begitu ekspresif di dunia maya, dan itulah yang aku suka. Namun sebaliknya, di dunia nyata, kau tak jauh berbeda saat pertama kali aku mengenalmu. Kau tetap seorang wanita yang pendiam, tertutup, dan pemalu. Misterius.

Akhirnya, ilusi mengendalikan diriku. Aku merasa menjadi penggemar beratmu, tapi tak ada niatku untuk menunjukkannya secara nyata. Aku merasa menjadi orang yang peduli padamu, tapi ragaku kaku kala berhadapan denganmu. Aku merasa sangat menginginkanmu, tapi tak pernah bernyali untuk bertanya tentang perasaanmu secara langsung. Bagitu saja.

Hingga sampailah aku pada akhir yang mengenaskan, saat kau ditaklukkan oleh seorang lelaki lain. Sungguh, itulah kenyataan terpahit yang kualami. Aku sadar, kita memang tak pernah terikat dalam hubungan apa-apa selain pertemanan, dan sudah seharusnya aku tak berduka begitu dalam. Tapi kau tak tahu, aku telah dibelenggu ilusiku sendiri, tentang keakraban kita di dunia maya.

Maka malam ini, kala kekalutanku memuncak setelah mengulas sejarah obrolan kita di dunia maya, aku mengirimkan pesan padamu, sebuah tanya yang kukarang-karang sendiri: Apa kau telah mengembalikan buku yang kupinjamkan padamu?

Tanpa menunggu lama, kau pun membalasku, tanpa ikon apa-apa, apalagi tanda tanya: Seingatku, aku telah mengembalikannya sebulan lalu.
 
Dengan rasa tak keruan atas responsmu yang tawar, aku pun meruntuhkan sedikit demi sedikit khayalan yang selama ini kubangun sendiri. Demi waktu, aku akan menyudahi tantang aku dan khayalanku sendiri. Maka, kubalas kau dengan pesan tanpa harapan: Baiklah. Aku kira buku itu masih ada padamu.

Kau tak mengirimkan balasan lagi.
 
Dan sambil berbaring dengan perasaan yang menyesakkan, kusibak kembali lembaran terakhir bukuku yang pernah kupinjamkan padamu itu. Sebuah novel romantis. Berkisah tentang kasih tak sampai, tentang tragisnya hidup seorang pemendam rasa. Di sana, kujumpai lagi sepenggal tulisan tanganmu:

Aku belajar dari novel ini, bahwa cinta butuh keberanian. Cinta butuh kepastian.

Dan salahnya, aku tak belajar dari pesanmu itu.

Rabu, 29 Maret 2017

Dus Dosa

Dina jadi kelimpungan. Masih pagi-pagi, seorang lelaki dewasa dengan tingkah yang aneh, bertandang ke rumahnya. Lelaki itu mengenakan pakaian yang tak wajar: sandal jepit di sebelah kakinya, kaos oblong sobek-sobek, celana selutut, dan sarung yang melintang di dadanya. Ia tampak sangat dekil. Seperti tak becus mengurus dirinya sendiri. 
 
Yang lebih mengesalkan Dina, lelaki itu terus-terusan menggedor pintu. Sambil mengamati lingkungan rumah, ia tak henti-hentinya bertertiak dan bercerosos. Sampai akhirnya, Dina mendengar sepenggal kalimat dari lelaki asing itu untuk suaminya: Ruslan Pembohong, koruptor, panjahat, kembalikan uangku!
 
Melihat tingkahnya yang semakin ganas, Dina pun bingung. Apalagi di rumah, hanya ada anak laki-lakinya yang berusia 6 Tahun, sedangkan suaminya sudah tak ada di rumah lagi. Terpaksa, ia pun menelepon dan meminta bantuan pada satpam perumahan. Dan tak berselang lama, satpam pun datang menindak, hingga lelaki itu pergi, masih dengan cacian yang sama untuk suaminya. 

Setelah suasana aman, Dina pun menyibak pintu, bermaksud mengamati kalau-kalau ada kerusakan fatal akibat ulah si lelaki aneh. Beruntung, semua perabot dan hiasan rumahnya, baik-baik saja. Pot dan tanaman bunga yang berharga mahal, tak ada yang rusak. Masalah hanya terdapat pada daun pintu yang tegores-gores, juga teras rumah mewahnya yang kotor.

Dina pun segera membenahi keadaan rumahnya. Belum sampai tengah hari, ia telah meminta tetangganya, seorang buruh yang keseringan menganggur, untuk mengecet kembali daun pintunya. Maklum, Dina adalah seorang istri yang amanah merawat hasil kerja keras suaminya. Apalagi, sesekali ada pejabat, teman kantor sang suami dahulu, yang bertandang ke rumahnya.

Sore pun menjelang. Keadaan kembali seperti semula. Tapi kala Dina bermaksud mengawasi anaknya bermain di depan rumah, terlihatlah olehnya sebuah dus berwarna cokelat, menggantung di terali pagar. Pada sisi dus itu, didapatinya nama pengirim, juga nama dan alamat yang dituju. 

Untuk sementara waktu, Dina tak melakukan tindakan apa-apa. Ia kembali menggantung dus itu di terali pagar, sambil berharap orang yang punya datang mengambilnya. Tapi sampai pagi menjelang, dus itu masih ada. Sekali lagi, Dina mencoba mengabaikannya sampai lewat tengah hari, tapi dus itu masih juga ada. Maka, ia pun memutuskan untuk mengantar barang itu ke alamat yang dituju, sembari menjemput anaknya sepulang sekolah.

Sesampainya di alamat yang dimaksud si pengirim, Dina pun menjumpai seorang perempuan tua menyendiri di teras rumahnya. 

“Ibu Linda?” sapat Dina, dengan nama yang dilihatnya di sisi dus.

Perempuan itu, Linda, mengangguk kecil. Ia tampak heran melihat Dina, seorang perempuan yang belum dikenalnya, datang menghampiri.

“Namaku Dina, Bu,” katanya, sambil menyelami ibu tua itu. “Ada kiriman untuk Ibu,” tutur Dina, sambil terseyum, “Aku mendapatkannya tertinggal di depan rumahku.”

Dengan sedikit rasa curiga, perempuan beruban itu pun, menyambut dus yang disodorkan padanya. “Roby! Anakku!” serunya, “Ini dari anakku. Kau tahu keberadaannya?”

Dina menggeleng. “Maksud Ibu? Anak Ibu mamangnya kenapa?”

Raut sedih, seketika terpancar jelas dari wajah Linda. Sambil mengurai ikatan pada kardus, ia pun menceritakan sedikit perihal anaknya pada Dina, “Anakku menghilang, Nak. Sudah hampir dua minggu ia tak kembali ke rumah.”

Dina belum sempat bertanya lebih lanjut, hingga akhirnya, tangis Linda, pecah. Ia menangis sambil memeluk-meluk seragam pegawai negeri kiriman anaknya. Tangisnya pun menjadi-jadi kala membaca surat kecil dari sang anak: Bu, maafkan aku, karena belum bisa jadi PNS yang membahagiakan Ibu.

“Anak Ibu seorang pegawai negeri?” tanya Dina, setelah melihat emosi Linda mereda dan kemungkinan sanggup menjawab pertanyaannya. 

Linda menggeleng. “Bukan, Nak.”

“Terus, baju itu?” tanya Dina lagi, penuh penasaran. “Apa yang terjadi dengan anak Ibu?”

Sambil menangis, Linda pun menuturkan penjelasannya, “Belakangan ini, anakku jadi kurang waras, Nak. Emosinya tak terkendali. Itu bermula dari sebulan yang lalu, saat ia dinyatakan tidak lulus dalam tes calon pegawai negeri sipil. Ia benar-benar sedih,” jelasnya, sambil sesekali tersedak tangis.
Seketika, Dina pun turut prihatin mendengar penjelasan perempuan itu.

“Apalagi, kami telah berkorban banyak demi kelulusannya. Kami telah mengumpulkan uang sebanyak dua puluh juta demi kelulusannya. Bahkan motornya pun rela dijual. Tapi hasilnya, tidak ada. Padahal, uang itu telah kami setorkan kepada seorang pejabat yang telah menjamin bahwa anakku itu, akan lulus pegawai negeri,” kenang Linda.

Mengingat status suaminya sebagai seorang pegawai negeri dengan pangkat yang tinggi, Dina pun semakin tersentuh. “Aku turut prihatin, Bu. Mudah-mudahan, Roby segera ditemukan dan pulang ke rumah dengan selamat,” tuturnya.

Linda menyeka air matanya. “Amin, Nak.” Ia lalu merogoh sebuah foto dari kantong dasternya, lalu memperlihatkannya pada Dina. “Ini Roby, anakku. Kalau kau menjumpainya, tolong katakan padanya kalau aku sangat merindukannya. Suruh ia pulang ke rumah. Aku minta tolong, Nak.”

Dina mengangguk-angguk. Otaknya lambat mencerna kata-kata dari Linda, sebab fokusnya tertuju pada satu wajah di seberkas foto. Di sana terlihat wajah seorang lelaki aneh yang kemarin sore bertandang ke rumahnya. Jelas, ia tak meragukan itu. 

Setelah berselang beberapa saat, Dina pun tersadar dari lamunannya. “Baik, Bu. Kalau aku ketemu, akan kuantar anak Ibu pulang.”

Linda pun tersenyum senang.

Dengan alasan hendak menjemput anaknya pulang sekolah, Dina pun melenggang pergi. Tapi pikirannya masih terperangkat pada serangkaian cerita panjang yang dialaminya, yaitu tentang makian Roby yang tak waras pada suaminya, kemarin.

Kini, dengan serangkaian cerita itu, Dina meragukan kembali alasan suaminya dipindahtugaskan ke pulau seberang. Ia curiga, itu bukan karena alasan politik, bukan karena kebijakan mutasi pejabat pasca pemilihan kepala daerah. Ia curiga, itu ada kaitannya dengan Roby.

Jika Kemarin Adalah Hari Esok…

Kita pernah sangat dekat, hingga terperangkap dalam rasa yang lebih dari sahabat. Perasaan kita sama, sama-sama saling menginginkan. Jelas, aku tahu tentang perasaanku yang begitu menginginkanmu. Dan kubaca pada dirimu, kau juga sangat menginginkanku. Tanda-tandanya tampak pada perilakumu tiap kali kita bersama. Pada caramu tersenyum, bertutur, dan menatapku.
 
Dan, aku ingat lagi saat kita berada di tahun ketiga perkuliah. Satu waktu, kala kita tengah berjalan beriringan, sepulang dari kampus, kita pun mengobrolkan tentang masa depan, 

“Radi, apa kau punya kriteria wanita idaman yang hendak kau nikahi suatu saat nanti?” tanyamu, agak segan. Kuduga, pertanyaan itu, telah lama kau pendam. 

Jelas, aku sedikit heran dengan kelancanganmu. Biarpun persahabatan kita telah berlangsung lama, tapi membicarakan persoalan pasangan hidup, enggan kita lakukan. Kita sama-sama menahan diri. Tapi akhirnya, kau memulai.

“Aku tak punya kriteria pasti. Aku tak akan pernah tahu bagaimana bentuk rupanya, sampai aku benar-benar menjumpainya sebagai jodohku,” balasku, tak ingin jujur bahwa pada dirimu, semua kriteria wanita idamanku, telah terpenuhi. “Kau sendiri bagaimana?”

Kau berusaha menjawabku dengan sikap yang biasa, “Aku suka lelaki yang tinggi, berkulit cerah, bermata sipit, suka membaca, lihai main gitar, humoris, cerdas, penyabar, pokoknya yang baik-baiklah,” katamu, sambil memerhatikan diriku baik-baik. Seakan kau melihat kriteria itu pada diriku. "Kau tahu tidak, di mana bisa menemukan lelaki yang komplet seperti itu?”

“Entahlah. Tapi kukira, Bardan hampir memenuhi semua kriteriamu,” balasku, bermaksud meledek, sebab kau sendiri tahu, Bardan jauh dari sosok lelaki idaman, baik dari sisi fisik maupun perilaku.
 
“Kau bercanda? Kalau Bardan sih, jauh. Dari semua lelaki di dunia ini, mungkin dialah pilihan terakhirku. Itu pun kalau dipaksa,” sergahmu. Kau tampak kesal dengan ledekanku. “Ada saran lain?”

Kali ini, aku yakin, kau sedang menguji kepekaanku. Kau ingin aku memasukkan diriku dalam pilihanmu, lalu kau tinggal mengiyakannya saja. “Ya, mana aku tahu,” balasku, tanpa bertanya kembali. Berharap kita segera beralih ke topik obrolan yang lain.

Kita sama-sama terdiam untuk beberapa waktu.

Tak lama berselang, kau bertanya lagi, masih soal masa depan itu. “Kalau rencanamu menikah, kapan?”

Aku berpikir-pikir beberapa saat, sampai akhirnya mengutarakan rencanaku. “Maunya sih, setelah lulus kuliah dan setelah mendapat pekerjaan yang menjamin. Ya, sekitar dua tahun lagilah.”

“Ya, lama amat. Kenapa tidak pas lulus kuliah saja. Setelah menikah, masalah kebutuhan rumah tangga, kan bisa diusahakan bersama-sama oleh suami-istri,” keluhmu, lalu menoleh sejenak padaku, seakan mengisyaratkan bahwa kau tak kuat menunggu selama itu.

Aku tak segera menanggapimu.

“Tapi kalau itu rencanamu, aku rela menunggu hingga dua tahun lagi, untuk tahu dengan siapa kau akan menikah. Aku yakin kau akan menemukan orang yang tepat, sebagaimana nasihat bahwa seseorang akan menemukan jodoh sesuai cerminan dirinya. Kau orang yang baik,” katamu sambil tersenyum, meski terkesan terpaksa. “Kau tak menanyaiku?”

“Kau sendiri bagaimana?” tanyaku, terpaksa.

“Kalau aku sih, sebagai perempuan, menunggu kepastian saja. Kalau ada yang melamar, kalaupun besok, dan kurasa cocok, ya itulah jodohku. Perempuan itu hanya butuh kepastian,” jawabmu, sambil menunduk, menyelaraskan langkah kita.

Aku pun hanya membalasmu dengan senyuman dan tawa yang pendek. Bermaksud memberimu kesan bahwa aku tak mengapa dengan cara pandangmu yang seperti itu. Aku tak ingin memaksakan tentang kita. 

Sikapku yang tak acuh padamu, sebenarnya caraku untuk tidak menggantungkanmu. Semasih aku belum siap memberimu kepastian, selama itu pula aku jadi pemendam. Banyak hal yang harus kugapai untuk membahagiakanmu di masa depan, tentang bekal hidup kita.

Jujur, aku takut juga mengabaikan makna dari tanda-tanda yang kau berikan secara terus-menerus. Berat kurasa jika sepanjang waktu, harus pura-pura ingkar atas hasratku untuk menikahimu. Tapi bagaimana pun juga, rasioku mengalahkan perasaanku. Maka, di sela-sela waktu, aku hanya terus berdoa, semoga kita memang terlahir sebagai jodoh, di masa depan. 

Dan tiba-tiba, sekitar dua tahun selepas kelulusan kita, kala aku masih sibuk dengan urusan pekerjaan, tersiarlah kabar yang menggemparkan bahwa kau sedang dekat dengan sahabatku sendiri, Bardan. Jelas kabar itu mengagetkanku. Apalagi, semasih kuliah, aku tahu, kau sama sekali tak suka dengan lelaki urakan yang suka gonta-ganti kekasih semu itu. 

“Bro, sekarang aku pacaran dengan Elis, sekampus kita?” tutur Bandan padaku, saat kami tengah menikmati kopi di sebuah kedai. Ia tampak pamer.

Aku tersedak kopi ketika mendengar penuturannya. “Bagaimana bisa?” tanyaku.

“Ceritanya panjang. Yang pasti, dialah yang lebih dulu mendekat padaku. Maklum, aku kan keren,” katanya. “Aku sih, kalau masalah cewek, siap-siap saja.”

Emosiku tiba-tiba terpancing. “Jangan macam-macam ya padanya!” bentakku, sambil menunjuk-nunjuk ke arah wajahnya.

“Kok kamu marah begitu? Memangnya kanapa?” tanyanya. Jelas ia heran melihat sikapku.

Seketika, aku sadar tak punya hak apa-apa tentang kau dan dia. Aku pun terdiam, menutupi rahasia hatiku sendiri.

“Aku tahu, Elis anak baik-baik. Makanya, kupastikan dia perempuan terakhir yang akan kupacari,” katanya, semringah. “Kawan, kupesan padamu, selagi masih muda, jalanlah sekali-kali dengan perempuan. Nikmati hidupmu!”

Aku tak meresponsnya lagi. Dan setelah percakapan itu, pertemanan kami pun menjadi dingin.

Seiring waktu, tepat di tahun ketiga kelulusan kita, puncak dari cerita yang tak kuinginkan benar-benar terjadi: kau menikah dengan Bardan. Kenyataan itu, jelas tak pernah kubayangkan sebelumnya. Dan kekalutanku semakin menjadi-jadi kala tahu bahwa kau dikaruniai momongan, seorang anak perempuan, di bulan ke enam pernikahan kalian. 

Sejujurnya, aku tak akan mempersoalkan sehidup-semati tentang siapa pasangan hidupmu. Aku hanya ingin kau menemukan orang yang tepat, biarpun bukan aku. Dan bersama Bardan, aku yakin kau salah memilih. Sampai buktinya pun terjadi, kala suatu hari datang kabar padaku, bahwa kau akan bercerai dengannya karena tindak kekerasan dalam rumah tangga. Sungguh, jika saja kemarin adalah hari esok, tak akan kubiarkan dia mendahuluiku menikahimu.

Senin, 27 Maret 2017

Penulis Diary

Kelak, di masa depan, aku akan bertemu dengan seseorang dengan cara yang penuh kejutan. Seorang wanita yang membuatku serasa menjadi lelaki paling beruntung di dunia. Aku tak tahu siapa. Jangankan namanya, menerka-nerka wajahnya saja, aku tak kuasa. Entah matanya bulat atau sipit, badannya sedikit gemuk atau kurus, kupasrahkan saja pada jalan ceritaku. 
 
Di sela-sela waktu penantian, aku hanya bisa mencitrakan wajahnya dalam imajinasiku. Merangkai kombinasi diri yang terbaik, dari banyak unsur fisik yang kukagumi di dunia ini. Menerawang sikap dan tingkahnya dari beragam perilaku keperempuanan yang kusukai. Aku selalu yakin, dia adalah sosok yang sempurna bagiku. Seorang perempuan yang tak menjemu-jemukan.

Atas rasa penasaranku yang mendalam tentang dirinya, telah kurangkai banyak cerita tentang caraku menemukannya. Kelak, saat berjumpa, akan kuutarakan padanya, bahwa aku telah menantinya begitu lama. Akan kuceritakan tentang lika-liku hidup yang telah kulalui, yang kuterobos hingga menemukan dirinya. Karena itulah, aku menulis banyak cerita tentang perjuangan cintaku, cerita tentang indahnya menanti.

Banyak sudah cerita yang kurangkai tentang penantianku padanya, cerita dengan akhir yang tak terduga, yang kuinginkan terjadi antara aku dan dia. Di sela-sela itu, aku juga telah menulis banyak cerita tentang pelajaran batinku kala berharap pada wanita selain dirinya, tentang rasa marah, kecewa, dan sakit hati. Kelak, itu akan menjadi bukti, betapa aku telah mengabaikan, mengorbankan, dan menaklukkan banyak hal demi dirinya.

Kini, saat aku berandai-andai, jika saja kami telah bersama dan ia menemukan celotehan-celotehanku dalam banyak cerita, setidaknya, akan terjadi percakapan hebat di antara kami:

“Siapa wanita yang pernah bersamamu di masa lalu? Siapa wanita yang pernah sangat kau rindukan itu? Siapa wanita yang pernah membuatmu sakit hati? Siapa wanita yang kau katakan, akan berada dalam ingatanmu sepanjang waktu? Siapa saja wanita yang telah kau abadikan dalam tulisanmu itu? Siapa?” tanyanya, setelah mengulik satu per satu gubahan ceritaku.

Jika begitu, aku akan memberikan jawaban terbaik agar emosinya mereda. “Semua itu adalah kau. Wanita-wanita itu adalah pencitraanku, hasil imajinasiku tentang dirimu, sebelum kita bertemu.”

“Aku minta kau jujur saja,” desaknya, “Mana bisa kau menggambarkan sosok dan latar cerita secara mendetail jika saja itu bukan sebuah kenyataan?”

Dan lagi, aku akan berusaha memelas dengan cara terbaik, “Itu kan hanya fiksi. Segala hal bisa terjadi dalam dunia imaji,” kataku, “Percayalah, hanya kau satu-satunya tokoh dalam ceritaku. Selain dirimu, semua hanya selingan, untuk membuktikan bahwa bagiku, kaulah yang terbaik di antara pilihan-pilihan yang ada.”

Setelah aku membalasnya dengan jawaban yang terkesan menggombal, kubayangkan bahwa dia akan luluh. Dia pun jadi percaya padaku, seakan-akan aku hanya mengenal seorang perempuan dalam hidupku: dirinya. Dia akan terbuai, dan menganggapku serupa malaikat. Dia akan lupa, bahwa seorang penulis fiksi, begitu lihai dalam menutupi kenyataan.

“Jadi hanya aku satu-satunya wanita yang mengajarimu beragam rasa dalam semua cerita-ceritamu?” tanyanya lagi.

Aku hanya mengangguk. Tak tega menegaskan kebohongan padanya.

Dan jika saja pada waktu di masa depan itu, kejujuranku tak akan menghancurkan kebersamaan kami, maka kepadanya, akan kukatakan yang sebenar-benarnya: 

Maaf, aku hanya seorang lelaki biasa yang sempat bertemu banyak perempuan sebelum akhirnya menemukanmu. Ada waktu yang panjang sebelum kita bersama. Dan sepanjang itu pula, aku belajar banyak hal pada perempuan-perempuan itu, tentang bagaimana perihnya rasa kecewa atas harapan palsu, sakit hati karena ditinggalkan, dan rindu yang tak berbalas. Semua rasa itu, tak akan kutimpakan padamu. Aku telah belajar banyak hal, dan padamu, aku belajar tentang cinta sejati dan kesetiaan. Hanya padamu.