Senin, 06 Februari 2017

Sandiwara Pasar

Lebih sepuluh tahun lalu, toko milik Wati berada di puncak kejayaan. Anak-anak, orang dewasa, bapak-ibu, senantiasa berbelanja di toko itu. Apalagi, segala macam kebutuhan tersedia. Makanan ringan, beragam jenis sembako, hingga kebutuhan khusus orang dewasa, semua ada di sana. 
 
Tak sekadar menjual barang kelontong, di sebelah kiri tokonya, Wati juga membuka sebuah warung. Di situ ia menyediakan kue tradisional dan kopi beragam rasa yang ia racik sendiri. Dahulu, kala ia masih terhitung janda muda, para pekerja kantoran, buruh, hingga pekerja serabutan, senang melewati pagi di warung itu. 

Kini, kejayaan Wati telah berlalu. Toko dan warungnya jadi sepi. Para pembeli tampak enggan berbelanja di tempat usahanya. Padahal tak sedikit pun yang berubah dari caranya berdagang. Ia tetap melayani dengan ramah, serta jujur dalam mematok harga. Bahkan untuk sayur-mayur hasil bercocok tanamnya sendiri, acap kali terjual dengan harga yang rendah setelah tawar-menawar.

Barang jualan Wati, kini banyak yang terbuang percuma. Entah kedaluwarsa atau basi. Kalaupun ada yang laku, hasilnya cuma cukup menutupi ongkos usaha. Nyaris rugi. Karena itu, ia tak lagi berharap banyak dari keuntungan berdagang. Aktivitas jual-belinya pun, sekadar untuk mengisi kekosongan. Apalagi, di usia tuanya, dengan hanya berbekal ijazah sekolah dasar, hanya itu yang bisa ia lakukan.

Perubahan memang tak bisa dihindari. Di desanya yang telah berubah jadi kawasan perkotaan, Wati pasrah pada kemajuan. Segala sumber pernghidupannya dahulu, telah menjadi lahan persaingan bagi warga metropolitan yang berbasis konsumsi. Tak jauh dari rumahnya, bertebaran warung modern yang menyajikan kue rasa impor, kafe dengan kerlip lampu dan ingar-bingar, juga toko bagi hasil alam yang dipasok dari luar negeri. 

Kalah dalam persaingan, Wati pun pasrah jadi konsumen. Membeli jenis kebutuhan yang dulu ia perdagangkan. Sekadar hidup dengan berbekal laba jual-beli seadanya. Bayangannya tentang rumah megah, pendidikan anak sampai setinggi-tingginya, dan bersedekah untuk sesama, sirna sudah. Ia malah masuk golongan orang yang patut disantuni: seorang janda tua beranak satu dengan penghasilan yang tak menentu.

Kala Wati tengah menunggu pembeli sambil meratapi dagangannya yang tak selaku dahulu, pintu terdengar berderik. “Ibu,” sapa Rusmi, anak semata wayangnya. Tak lama kemudian, gadis itu pun berdiri di depannya dengan wajah semringah. “Aku bawa sesuatu untuk ibu,” kata Rusmi sembari menyodorkan sekotak makanan cepat saji, dua botol minuman, kue donat, dan ayam krispi, yang semuanya bermerek asing. “Hari ini Ibu kan ulang tahun. Harus dirayakan.” 

Sontak saja, raut gembira terukir di wajah Wati. Dengan penuh keharuan, ia pun menyambut seperangkat kado itu. “Terima kasih, Nak,” balasnya.  

Wati jelas merasa beruntung punya Rusmi yang sekolahnya lumayan tinggi. Seorang gadis berparas ayu, tamatan sekolah menengah pertama. Pada anaknya itulah, Wati menggantungkan ketenangan hidupnya di masa depan. Apalagi Rusmi telah bekerja sebagai pramuniaga di sebuah supermarket.

Tiba-tiba, Wati teringat lagi keputusannya menjual sepetak tanah warisan orang tuanya dahulu. Di tanah itulah, berdiri sebuah pasar modern, tempat Rusmi bekerja. Dan meskipun Rusmi tak menempuh jenjang pendidikan yang memadai, ia tetap diterima sebagai karyawan. Semua itu karena Wati punya kesepakatan dengan pengusaha-pembeli tanahnya dahulu, bahwa anaknya akan dipekerjakan tanpa syarat apa pun.

Kini, Wati merasa, menjual tanah warisan orang tuanya itu dahulu, adalah keputusan yang tepat.

 “Kau harusnya tak perlu repot-repot, Nak,” sambung Wati setelah memeriksa setiap sisi bingkisan pemberian anaknya.

“Tak apa-apa, Bu. Gajiku juga sudah banyak sekarang. Apalagi, bulan ini aku dapat banyak bonus dari kantor karena penjualan di tempat kerjaku meningkat,” tangkis Rusmi, berusaha menunjukkan ketulusannya. “Andai saja sekolahku lebih tinggi lagi, mungkin jabatanku lebih tinggi juga, gajiku akan lebih banyak, dan pastilah aku akan membelikan kado yang lebih mewah lagi untuk Ibu.”

Wati tersentuh mendengar harapan anaknya. “Maafkan aku yang tak bisa meyekolahkanmu tinggi-tinggi, Nak,” aku Wati. “Tapi kita bersyukur, meski pun kau cuma tamatan SMP, kau masih diterima bekerja di supermarket itu. Ya, kalau nanti kau punya rezeki yang banyak, sekolahkanlah anakmu tinggi-tinggi, agar bisa jadi bos di tempat kerjamu kelak.”

Rusmi hanya tersenyum, sembari membayangkan keadaannya kini, juga masa depannya.

Pelan-pelan, Wati pun menyibak sekotak donat warna-warni itu. “Lidahku sepertinya tak akan cocok dengan makanan seperti ini, Nak.”

“Ah, Ibu harus makan. Sekali cicipi, pasti Ibu suka. Ini makanan mahal, Bu,” tutur Rusmi dengan sikap sebagaimana biasanya ia menawarkan produk pada konsumen di supermarket. “Makanan di tempat kerjaku enak-enak, Bu. Kalau saja Ibu bisa buat kopi dan kue seenak ini, aku yakin warung kita pasti laku keras. Setiap hari, aku selalu sibuk melayani pembeli kue ini di tempat kerja.”

Wati pun melahap sebuah donat berbalut cokelat pekat. Rusmi turut mengecap dengan memilih rasa keju.

“Mana bisa aku jualan makanan beginian. Membaca saja aku tak lancar. Apalagi kue mahal begini kan pakai bahasa bule,” kata Wati.

Mereka berdua hanya tertawa lepas. Seakan tak ada hubungan antara masalah kehidupan mereka dengan apa yang mereka makan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar