Jumat, 10 Februari 2017

Gadis Penyendiri

Sesuatu yang belum terjelaskan, selalu memancing rasa penasaran. Di dalamnya, ada serangkaian misteri yang selalu menggugah tanya. Seperti juga dia, Tika, gadis penyendiri yang belum lama kuperhatikan. Karena sosoknya misterius dan pendiam, sampai tak banyak informasi yang menyebar tentangnya, aku pun jadi penasaran sendiri.
 
Aku dan dia, tak punya hubungan apa-apa. Sekadar teman saja, tidak. Aku hanya tahu kalau dia adalah siswi pindahan, tetangga kelasku sendiri. Bahkan, tak sekali pun kami mengobrol. Komunikasi kami sebatas simbolik dan penuh teka-teki. Hanya sesekali berpapasan, saling memampang wajah polos, atau saling melempar senyuman singkat. Tak lebih dari itu.

Sampai akhirnya, rasa penasaranku semakin meninggi. Menyeretku dalam perasaan yang serba dilematis. Perasaan yang membuatku merindukannya setiap waktu, padahal tak ada janji untuk bertemu. Ingin lebih dekat dengannya, sedangkan bertegur-sapa saja aku tak kuasa. Tepatnya, aku tak bernyali. Terlebih, aku tak punya hubungan apa-apa dengannya untuk jadi modus pendekatan.

Hidup sebagai pemendam, akhirnya membuatku tersiksa sendiri. Rasa penasaranku yang membuncah, berubah jadi serupa hantu yang menakutkan. Ingin menyerah tapi takut menyesal, ingin mencoba tapi tak tahu caranya. Maka untuk mengurangi beban hidup, kuungkapkanlah perasaanku pada Jido, teman dekatku yang sikapnya tak jauh beda denganku dalam soal lawan jenis: sama-sama tak punya nyali.

“Kau tahu si Tika, siswi pindahan di samping kelas kita?” tanyaku pada Jido, di sela-sela kami mempreteli motor bututnya.

Sambil memasang baut, Jido menanggapinya santai saja, “Ya, kenallah. Memangnya kenapa?”

“Aku tertarik padanya,” kataku lugas, penuh percaya diri. “Sepertinya, dia juga tertarik padaku.”

Dia mendecak-decakan lidahnya. Terkesan seperti meledek. “Dasar lelaki rapuh. Sudahlah, tak usah berkhayal terus. Kau tak akan bisa mendapatkannya. Dekat-dekat perempuan saja kau gemetaran.”

“Kau meremehkanku?” Aku jelas tak terima diolok-olok lelaki pengecut sepertinya. “Baiklah, kali ini, aku akan bersungguh-sungguh. Kalau perlu, kita taruhan saja, di antara kita, siapa yang berhasil meluluhkan hatinya. Sudah waktunya kita tampil sebagai lelaki normal.”

Lekas, ia meletakkan obeng, lalu menatapku tajam. “Baiklah. Asalkan kau tak menyesal saja.”

“Baiklah!” tegasku.

Ujung-ujungnya, perkataanku seakan jadi bumerang. Seiring waktu, kulihat Jido benar-benar berhasrat mengalahkanku. Dalam rentang seminggu, beberapa kali aku melihatnya dekat dan mengobrol dengan si gadis penyendiri, Tika. Bahkan tak hanya sekali aku melihat mereka pulang berboncengan. Sungguh menyesakkan melihat kenyataan itu.

Aku pun kambali menyalahkan diriku sendiri. Menyesal karena telat melakukan pendekatan padanya. Menyesal juga karena telah menjadikannya bahan pertaruhan. Hingga akhirnya, aku harus menerima kenyataan pahit bahwa hatinya telah terpaut pada lelaki lain, pada temanku sendiri. Aku pun tak patut merecoki hubungan mereka, jika tak ingin kehilangan teman baik sekaligus.

Suatu hari, kala aku menelepon Jido untuk mempertanyakan perihal tugas pelajaran dan rencanaku meminjam bukunya, kutanyakan pula soal perkembangan hubungan mereka.

“Kau dan dia terlihat semakin dekat. Bagaimana status hubungan kalian sekarang,” tanyaku, agak segan karena sadar telah berada pada posisi yang kalah.

“Kukira kau bisa menyaksikannya sendiri,” balasnya, enteng.

Aku merasa dipojokkan, tapi aku tak punya alasan untuk menyanggah. “Tapi kau mendekatinya bukan karena pertaruhan kita kan? Maksudku, apa kau benar-benar punya perasaan padanya, ataukah sekadar ingin membuktikan kalau kau lebih hebat dariku?”

“Ah, kau bertanya terus. Kalau alasannya, terserah aku. Bisa dua-duanya, bisa juga salah satunya. Sudah, kau terima saja kekalahanmu dan jangan coba-coba dekati dia lagi,” tegasnya. 

“Baiklah, kawan. Kau memang hebat!” Aku tak tahu bagaimana meneruskan obrolan. Maka setelah berbasa basi sejenak, aku pun mengakhiri pembicaraan.

Sepintas, yang kutakutkan dari kisah kami bertiga adalah ketika Jido menaklukkan Tika hanya karena pertaruhan. Sekadar membuktikan bahwa ia lebih hebat dariku. Jika benar begitu, maka aku tinggal menunggu waktunya kala hubungan mereka berakhir dengan benci, sebab di antara dua hati yang pernah terikat, tak akan ada kerelaan yang sama untuk saling melepas.

Yang pasti, jika mereka berpisah, Tika-lah yang akan berat melepaskan. Dan keadaan dilematis akan menimpaku, sebab aku harus memilih di antara dua posisi: menjadi penghapus luka hati bagi Tika dan turut membenci Jido yang telah melukai perasaannya, yang berarti aku harus mengakhiri pertemananku dengan Jido; ataukah, aku dengan setengah mati harus meredam perasaan terpendemku pada Tika, sebab ia telah terkurung dalam kenangan bersama lelaki lain, yang berarti pertemananku dengan Jido tetap bertahan.

Di luar semua kemungkinan tentang sebab dan akhir hubungan mereka, sejujurnya, aku bisa saja menerima kekalahanku pada Jido. Setidaknya, gadis dambaanku itu, jatuh pada orang yang kutahu betul tak punya reputasi buruk dalam memperlakukan seorang perempuan, seiring dengan kenyataan bahwa dia memang tak pernah dekat secara keterlaluan dengan lawan jenis. Namun, kenyataan bahwa ia mengalahkanku, juga berarti akulah lelaki paling tak bernyali di antara lelaki yang tak bernyali, sungguh menyesakkan. Aku mengutuk diriku sendiri, bukan mereka.

Hari pun berganti. Kala aku tengah berjalan di koridor sekolah sembari membayangkan nasibku sendiri, tanpa ada sebab apa-apa, Tika menghampiriku dengan senyuman yang menawan.

“Hai, Bimo, ini buku milik Jido yang ingin kau pinjam. Dia memintaku untuk memberikannya padamu.” tuturnya dengan ekspresi dan cara bertutur yang unik dan mengesankan. Matanya berbinar. Senyumnya merekah sempurna. Aku benar-benar terpikat. “Dia sedang sakit, jadi tak bisa memberikannya secara langsung padamu.”

Aku hanya tersenyum, lalu terdiam dengan sejuta bahasa hati yang tak kuasa kuucapkan.

“Aku pamit, ya?” katanya.

Aku benar-benar terpesona, sampai lupa harus membalasnya, atau bertanya tentang keadaan Jido. “Ya, terima kasih,” tuturku, saat ia telah berpaling dan melangkah pergi.

Setelah perasaanku rusuh hanya dalam hitungan detik, emosiku pun berangsur stabil. Aku pun sadar, membesuk Jido adalah prioritasku. Aku harus menerima kenyataan kalau harapanku pada Tika, terlarang sudah. Yang bisa kulakukan adalah mempertahankan hubungan persahabatanku dengan Jido. Bahkan, aku harus mulai berlatih untuk mendukung hubungan mereka menuju jenjang yang lebih serius.

Bersama dengan rasa kecewa dan luka yang masih terus kuredam, aku pun mengunjungi Jido di rumahnya. Itu adalah langkah untuk membiasakan diri dengan kenyataan, dan menunjukkan pada Jido kalau aku tak sedikitpun menyimpan kegalauan. Tapi sesampainya di sana, kekalutanku kembali menyeruak. Aku jadi kikuk. Bagaimana tidak, kudapati Tika di samping Jido yang tengah terserang demam berat. Bahkan, ibu Tika pun hadir.

Setelah mengobrol beberapa saat, Tika dan ibunya pun pergi meninggalkan kami berdua. Tak lama setelah itu, aku mempertanyakan lagi soal hubungan mereka, tentu setelah berbasa-basi beberapa lama. Aku jelas tak bisa menahan diri.

“Apa hubungan kalian sudah sejauh ini? tanyaku.

Jido tersenyum lebar, kemudian tertawa pendek. “Kau sepertinya belum ikhlas menerima kekalahanmu kawan,” balasnya, tanpa benar-benar menjawab.

Aku turut tertawa. Berusaha menutupi rasa canggung atas kekalahanku yang masih membekas. “Jangan salah paham begitu. Maksudku, baik. Aku turut merasa bahagia jika hubungan kalian ada jalan menuju ke jenjang yang lebih serius.”

Jido berusaha menyudutkanku, “Akui saja kawan!”

Tiba-tiba, Tika dan ibunya, datang menghampiri Jido. 

“Aku pulang dulu, Nak. Aku harus bersiap-siap mengunjungi kakek-nenekmu sore ini, bersama ibumu. Jangan lupa makan buah-buahan yang tante bawakan, ya,” kata ibu Tika yang tak kutahu namanya.

“Aku balik, ya, Cepat sembuh,”  tutur Tika.

Jido tersenyum, “Hati-hati di jalan.”

Dan setelah mereka pergi, keanehan tentang hubungan mereka pun menyeruak di kepalaku. Segera saja kupertanyakan padanya, “Tadi kudengar kata, ‘Nak, kakek, nenek, tente”, maksudnya apa?”

Lagi-lagi, Jido tertawa. Kali ini, terbahak-bahak. Ia terlihat senang sekali. “Harusnya aku mengatakan tentang itu padamu sedari awal, kawan. Tapi salahmu juga terlalu mudah percaya dan tak menanyaiku. Sejujurnya, kami itu sepupuan.” 

Aku pun tertawa. Menyembunyikan rasa maluku yang tak terkira. “Candamu keterlaluan, Jid!” kataku, sambil berpikir untuk semakin mengeratkan hubungan persahabatanku dengannya. Bahkan jika ada kemungkinan, aku ingin lebih dekat dengan keluarga besarnya, termasuk bibinya, ibu Tika.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar