Rabu, 15 Februari 2017

Benci yang Salah

Panji memiliki status yang dilematis. Ia adalah anak dari pasangan suami-istri, lulusan sekolah dasar, yang menggantungkan hidupnya dari hasil pertanian. Karena itulah, Panji dituntut belajar dengan baik hingga jenjang perguruan tinggi, supaya kelak memiliki kehidupan ekonomi yang mapan. Tapi masalahnya, ia tak menikmati proses belajar di pendidikan formal.
 
Dilema lagi, Panji memiliki adik bernama Juan yang berkarakter beda dengannya. Juan adalah anak yang tekun belajar, penurut pada titah orang tua, dan rajin bekerja di kebun. Sedangkan Panji sebaliknya. Ia hanya akan melakukan perbuatan bajik serupa laku Juan, jika orang tuanya mengiming-imingi dengan sejumlah hadiah atau mengancamnya dengan sejumlah hukuman.

Karena beda perilaku, akhirnya Panji dan Juan sering dibanding-bandingkan. Perbandingan itu melingkupi semua sisi kehidupan mereka. Jelas, perangai Panji dianggap lebih buruk dari sang adik. Nakal, pembangkang, pemalas, adalah sifat yang dilekatkan pada Panji. Sedangkan adiknya, dianggap baik, penurut, dan rajin. 

Pembanding-bandingan dua bersaudara itu, akan mencapai puncaknya setiap kali penerimaan rapor sekolah. Apalagi, dua anak berjarak usia setahun itu, duduk di kelas yang sama, kelas II SMP, sebab Panji pernah tinggal kelas. Dan mau tak mau, konsekuensi hasil belajar mereka di kelas, berimbas pada beban kerja mereka di kebun.

Dan hari ini, kala mereka menerima rapor untuk semester genap, kenyataan itu kembali berulang. Juan berhasil mendapatkan ranking II, sedangkan Panji nyaris menduduki peringkat terakhir. Maka sore harinya, Panji pun dijatuhi hukuman berupa memanen buah kelapa yang sudah matang untuk dijual ke warung-warung.

Jauh-jauh hari sebelumnya, Panji memang sudah sadar akan mendapatkan pekerjaan berat jika nilai rapornya buruk. Biasanya ia akan ditugaskan untuk mengupas buah kelapa kering untuk ditanak. Tapi memanjat kelapa seperti yang sering dilakoni sang ayah, tak pernah disukainya. Ia hanya melakukannnya sesekali, jika terpaksa. Pasalnya, ia tak memiliki keberanian yang cukup untuk berapa di ketinggian. 

Tapi hukuman kali ini, tetap harus ditunaikan. Panji terpaksa menerimanya dengan gusar. Berbekal badik, ia pun beranjak, melaksanakan tugasnya. Namun saat di kebun, nyalinya malah menciut. Ia pun mengulur-ulur waktu. Duduk sambil memandangi jajaran pohon kelapa dengan tinggi rata-rata 12 meter. Ia berusaha memantapkan keberaniannya sendiri. 

Tiba-tiba, keberuntungan datang untuk Panji. Adiknya, Juan, yang terkenal lebih bernyali darinya, datang menyusul. Padahal, semestinya sang adik bebas dari pekerjaan hari ini, bahkan berhak atas puji-pujian dan segala macam makanan lezat. 

“Kenapa datang kemari? Mau menontonku?” kesal Panji.

Juan tetap melangkah, mendekat pada sang kakak. “Tidak. Aku hendak membantu Kakak,” katanya dengan segan. Ia tahu betul, kakaknya tak bisa diandalkan dalam soal memanjat kelapa. 

“Ya, sudah. Penjat saja kalau kau mau. Dan catat, jangan bilang kalau aku menyuruhmu. Kau sendiri yang mau,” ketusnya. Masih dengan wajah sebal.

Juan memalingkan pandangan dari sang kakak. Takut. “Maafkan aku atas sikap Ayah dan Ibu, Kak. Aku tak pernah bermaksud membuat Kakak mendapat marah dari mereka,” tuturnya, seakan hukuman untuk kakaknya adalah kesalahannya sendiri.
Panji tak menggubris.

Tanpa berkata-kata lagi, Juan pun mengambil alih tugas kakaknya. Kakinya yang mungil, cekatan menanjaki batang pohon kelapa. Tak butuh waktu lama, ia akhirnya sampai di ujung pohon. Dengan sigap dan tenang, ia mulai memotong tandan sekelompok buah kelapa yang mudanya pas untuk dijual di warung. 

Setelah puluhan buah kelapa jatuh berdebam, Juan pun bergegas turun. Langkahnya cepat, demi segera bebas dari semut-semut yang terus menyengatnya. Sampai akhirnya, di pertengahan pohon kelapa, cengkraman tangannya, terlepas. Ia terjatuh. Kakinya mendarat terlebih dahulu. Dan seketika, ia mengaduh, meringis kesakitan.

Panji yang sedari tadi hanya memerhatikannya adiknya sekali-kali, dibuat kaget melihat kejadian di depan matanya sendiri. Dengan perasaan kalut, ia pun menggendong adiknya pulang. Di tengah perjalanan itulah, rasa bencinya pada sang adik, berubah menjadi rasa bersalah yang begitu mendalam. Ia tak habis pikir, mengapa ia tega membenci adiknya, di saat ia seharusnya membenci dirinya sendiri.

Setiba di rumah, ibunya yang keget setengah mati, menyambut mereka dengan tanya tak henti. “Adikmu kenapa?”

Panji tak menggubris dan lekas membawa adiknya ke dalam rumah. Ia lalu membaringkan sang adik di ruang tamu. 

Ibu mereka yang menyertai, terus saja bertanya dengan penuh kekhawatiran.

“Ibu tenang saja. Aku tak apa-apa,” tutur Juan. Wajahnya sesekali kisut, menahan kesakitan.

“Kamu kenapa, Nak. Apa yang terjadi?” tanya ibunya lagi. Sepertinya, ia mulai curiga, bagaimana bisa kedua anaknya pulang secara bersamaan. 

“Tadi, aku main di tepi sungi, Bu. Saat aku melihat burung, aku tertarik menangkapnya. Kukejarlah. Dan tiba-tiba, kakiku tersandung. Aku pun jatuh dan terbentur di bebatuan,” urainya, kemudian menoleh pada sang kakak, memberi isyarat agar tak mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi. “Tapi beruntung, Kak Panji muncul dari kebun, dan segera menggendongku pulang.”

Panji mengangguk-angguk, seakan membenarkan penjelasan adiknya.

Sang ibu pun melayangkan pandangan kepada kedua anaknya. Mencoba memastikan bahwa apa yang mereka ungkapkan, adalah kebenaran. Dan, ia pun percaya. “Kau harusnya hati-hati kalau bermain,” pesannya, sembari menelisik keadaan fisik sang anak.

Panji dan Juan tak berkata-kata lagi.

“Panji, cepat ambil obat luka di atas meja,” perintah sang ibu dengan nada suara yang merendah. Diam-diam, di dalam hatinya, terbersit sebuah kesyukuran atas Panji yang peduli pada adiknya.

Panji pun bergegas mengambil obat. 

Kali ini, Panji merasa tenang menyaksikan sang ibu tak nampak marah padanya. Tapi dalam hatinya, ia memendam rasa bersalah yang begitu besar kepada adiknya. Dan karena itu, demi waktu, ia pun mengikrarkan janji pada dirinya sendiri untuk berhenti bertingkah bodoh dan membenci sang adik; sesuatu yang seharusnya ia lakukan sejak dahulu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar