Rabu, 15 Februari 2017

Benci yang Salah

Panji memiliki status yang dilematis. Ia adalah anak dari pasangan suami-istri, lulusan sekolah dasar, yang menggantungkan hidupnya dari hasil pertanian. Karena itulah, Panji dituntut belajar dengan baik hingga jenjang perguruan tinggi, supaya kelak memiliki kehidupan ekonomi yang mapan. Tapi masalahnya, ia tak menikmati proses belajar di pendidikan formal.
 
Dilema lagi, Panji memiliki adik bernama Juan yang berkarakter beda dengannya. Juan adalah anak yang tekun belajar, penurut pada titah orang tua, dan rajin bekerja di kebun. Sedangkan Panji sebaliknya. Ia hanya akan melakukan perbuatan bajik serupa laku Juan, jika orang tuanya mengiming-imingi dengan sejumlah hadiah atau mengancamnya dengan sejumlah hukuman.

Karena beda perilaku, akhirnya Panji dan Juan sering dibanding-bandingkan. Perbandingan itu melingkupi semua sisi kehidupan mereka. Jelas, perangai Panji dianggap lebih buruk dari sang adik. Nakal, pembangkang, pemalas, adalah sifat yang dilekatkan pada Panji. Sedangkan adiknya, dianggap baik, penurut, dan rajin. 

Pembanding-bandingan dua bersaudara itu, akan mencapai puncaknya setiap kali penerimaan rapor sekolah. Apalagi, dua anak berjarak usia setahun itu, duduk di kelas yang sama, kelas II SMP, sebab Panji pernah tinggal kelas. Dan mau tak mau, konsekuensi hasil belajar mereka di kelas, berimbas pada beban kerja mereka di kebun.

Dan hari ini, kala mereka menerima rapor untuk semester genap, kenyataan itu kembali berulang. Juan berhasil mendapatkan ranking II, sedangkan Panji nyaris menduduki peringkat terakhir. Maka sore harinya, Panji pun dijatuhi hukuman berupa memanen buah kelapa yang sudah matang untuk dijual ke warung-warung.

Jauh-jauh hari sebelumnya, Panji memang sudah sadar akan mendapatkan pekerjaan berat jika nilai rapornya buruk. Biasanya ia akan ditugaskan untuk mengupas buah kelapa kering untuk ditanak. Tapi memanjat kelapa seperti yang sering dilakoni sang ayah, tak pernah disukainya. Ia hanya melakukannnya sesekali, jika terpaksa. Pasalnya, ia tak memiliki keberanian yang cukup untuk berapa di ketinggian. 

Tapi hukuman kali ini, tetap harus ditunaikan. Panji terpaksa menerimanya dengan gusar. Berbekal badik, ia pun beranjak, melaksanakan tugasnya. Namun saat di kebun, nyalinya malah menciut. Ia pun mengulur-ulur waktu. Duduk sambil memandangi jajaran pohon kelapa dengan tinggi rata-rata 12 meter. Ia berusaha memantapkan keberaniannya sendiri. 

Tiba-tiba, keberuntungan datang untuk Panji. Adiknya, Juan, yang terkenal lebih bernyali darinya, datang menyusul. Padahal, semestinya sang adik bebas dari pekerjaan hari ini, bahkan berhak atas puji-pujian dan segala macam makanan lezat. 

“Kenapa datang kemari? Mau menontonku?” kesal Panji.

Juan tetap melangkah, mendekat pada sang kakak. “Tidak. Aku hendak membantu Kakak,” katanya dengan segan. Ia tahu betul, kakaknya tak bisa diandalkan dalam soal memanjat kelapa. 

“Ya, sudah. Penjat saja kalau kau mau. Dan catat, jangan bilang kalau aku menyuruhmu. Kau sendiri yang mau,” ketusnya. Masih dengan wajah sebal.

Juan memalingkan pandangan dari sang kakak. Takut. “Maafkan aku atas sikap Ayah dan Ibu, Kak. Aku tak pernah bermaksud membuat Kakak mendapat marah dari mereka,” tuturnya, seakan hukuman untuk kakaknya adalah kesalahannya sendiri.
Panji tak menggubris.

Tanpa berkata-kata lagi, Juan pun mengambil alih tugas kakaknya. Kakinya yang mungil, cekatan menanjaki batang pohon kelapa. Tak butuh waktu lama, ia akhirnya sampai di ujung pohon. Dengan sigap dan tenang, ia mulai memotong tandan sekelompok buah kelapa yang mudanya pas untuk dijual di warung. 

Setelah puluhan buah kelapa jatuh berdebam, Juan pun bergegas turun. Langkahnya cepat, demi segera bebas dari semut-semut yang terus menyengatnya. Sampai akhirnya, di pertengahan pohon kelapa, cengkraman tangannya, terlepas. Ia terjatuh. Kakinya mendarat terlebih dahulu. Dan seketika, ia mengaduh, meringis kesakitan.

Panji yang sedari tadi hanya memerhatikannya adiknya sekali-kali, dibuat kaget melihat kejadian di depan matanya sendiri. Dengan perasaan kalut, ia pun menggendong adiknya pulang. Di tengah perjalanan itulah, rasa bencinya pada sang adik, berubah menjadi rasa bersalah yang begitu mendalam. Ia tak habis pikir, mengapa ia tega membenci adiknya, di saat ia seharusnya membenci dirinya sendiri.

Setiba di rumah, ibunya yang keget setengah mati, menyambut mereka dengan tanya tak henti. “Adikmu kenapa?”

Panji tak menggubris dan lekas membawa adiknya ke dalam rumah. Ia lalu membaringkan sang adik di ruang tamu. 

Ibu mereka yang menyertai, terus saja bertanya dengan penuh kekhawatiran.

“Ibu tenang saja. Aku tak apa-apa,” tutur Juan. Wajahnya sesekali kisut, menahan kesakitan.

“Kamu kenapa, Nak. Apa yang terjadi?” tanya ibunya lagi. Sepertinya, ia mulai curiga, bagaimana bisa kedua anaknya pulang secara bersamaan. 

“Tadi, aku main di tepi sungi, Bu. Saat aku melihat burung, aku tertarik menangkapnya. Kukejarlah. Dan tiba-tiba, kakiku tersandung. Aku pun jatuh dan terbentur di bebatuan,” urainya, kemudian menoleh pada sang kakak, memberi isyarat agar tak mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi. “Tapi beruntung, Kak Panji muncul dari kebun, dan segera menggendongku pulang.”

Panji mengangguk-angguk, seakan membenarkan penjelasan adiknya.

Sang ibu pun melayangkan pandangan kepada kedua anaknya. Mencoba memastikan bahwa apa yang mereka ungkapkan, adalah kebenaran. Dan, ia pun percaya. “Kau harusnya hati-hati kalau bermain,” pesannya, sembari menelisik keadaan fisik sang anak.

Panji dan Juan tak berkata-kata lagi.

“Panji, cepat ambil obat luka di atas meja,” perintah sang ibu dengan nada suara yang merendah. Diam-diam, di dalam hatinya, terbersit sebuah kesyukuran atas Panji yang peduli pada adiknya.

Panji pun bergegas mengambil obat. 

Kali ini, Panji merasa tenang menyaksikan sang ibu tak nampak marah padanya. Tapi dalam hatinya, ia memendam rasa bersalah yang begitu besar kepada adiknya. Dan karena itu, demi waktu, ia pun mengikrarkan janji pada dirinya sendiri untuk berhenti bertingkah bodoh dan membenci sang adik; sesuatu yang seharusnya ia lakukan sejak dahulu.

Rahasia Waktu

Ramlan kebingungan. Pagi tadi, anaknya, Rudi, pergi bersama amarahnya. Tapi, jauh-jauh hari sebelumnya, Ramlan memang sudah mewanti-wanti, bahwa akan datang waktu ketika sang anak mulai curiga dan ingin mencari kebenaran tentang asal-usul dirinya. Bahwa suatu saat, sang anak pun akan tahu, siapa orang tuanya yang sejati.
 
Istri Ramlan, Murni, tak kalah kalutnya. Ia tak menduga, kesungguhannya dalam merawat Rudi sejak berusia lima tahun, kini, tak berarti apa-apa. Padahal, ia telah memperlakukan anak itu selayaknya anak sendiri. Namun, apa mau dikata, Rudi tetaplah seorang anak yang tak lahir dari rahimnya sendiri. 

“Aku merasa bersalah, Pak. Sepertinya, aku belum bisa menjadi sosok ibu yang baik untuknya,” sesal Murni.

Ramlan yang terlihat lebih tenang, mencoba menenangkan istrinya, “Jangan salahkan diri sendiri, Bu. Itu memang sudah jalannya. Bagaimana pun juga, sedari awal kita bersama, kemungkinan ini sudah kita sadari akan terjadi.”

“Tapi, Pak, aku khawatir dia kenapa-kenapa. Tidakkah sebaiknya kita melaporkan ke polisi saja?” saran Murni.

“Tak perlu, Bu. Masalahnya akan semakin ruwet jika kita melibatkan polisi,” tegas Ramlan. “Lagi pula, aku yakin, ia akan pulang setelah sadar betapa pentingnya kita dalam hidupnya. Bagaimana pun juga, kita telah merawatnya dengan baik selama ini, semampu kita.”

Murni terdiam sejenak, lalu melontarkan pertanyaan yang sedari dulu sudah dijawab sang suami. “Atau kita coba bertanya di panti, tempat Bapak dahulu menemukannya?”

“Mau ke panti untuk tanya asal-usulnya? Itu tak mungkin berhasil, Bu. Aku kan sudah bilang, anak itu aku adopsi di umur 3 tahun, sebelum kita menikah. Sekarang umurnya 14 tahun. Itu berarti, 11 tahun sudah aku nongol ke panti itu. Kemungkinan besar, pengurus panti tak ingat lagi wajah orang tua yang membawa Rudi ke panti,” terang Ramlan, untuk kesekian kalinya.

Kini, Murni benar-benar terdiam. Dipikirnya, memang tak ada cara lagi yang bisa dilakukan untuk menemukan anak itu, kecuali ia pulang dengan kesadarannya sendiri.

Pada sisi lain, diam-diam, Ramlan sebenarnya tahu, di mana keberadaan Rudi saat ini. Sebulan lalu, ibu kandung Rudi datang menemuinya, dan meminta anak kandungnya kembali. Dan Ramlan, sebagai ayah kandung, jelas menolak. Mereka pun terlibat pertengkaran hebat. 

Murni tak menyaksikan percekcokan antarmantan suami-istri itu. 

Belakangan, Ramlan tahu, perempuan yang telah melahirkan Rudi, telah melakukan segala cara untuk mendapatkan anaknya kembali, termasuk menceritakan perihal asal-usulnya.
Rudi pun pergi.

“Apa memang selama ini, tak ada informasi sedikit pun yang Bapak ketahui tentang orang tua kandung Rudi?” tanya Murni lagi. Seperti masih ingin mencari celah untuk menemukan anak itu.

Ramlan berpikir dalam-dalam. Berusaha melanjutkan cerita yang sedari dulu ia buat-buat sendiri. “Ya, tak adalah, Bu. Saat aku mengadopsinya, memang tak ada informasi tentang asal-usulnya pada pengurus panti. Lagian, mengadopsi anak yang jelas asal-usulnya, jelas tak baik, sebab ada kemungkian ia akan menuntut kita untuk tahu tentang orang tua kandungnya, dan kita berdosa jika berbohong,” tegas Ramlan. “Percayalah padaku, Bu. Aku yakin, suatu saat, anak itu pasti kembali.”

Murni pasrah sudah.

Kini, satu rahasia Ramlan sepanjang waktu berlalu, telah diketahui Rudi, anak kandungnya sendiri. Tapi seiring waktu yang panjang pula, Ramlan masih harus menyimpan satu rahasia besar kepada Murni, istrinya sendiri.

Arti Menunggu

Sepanjang lima tahun lalu, kutinggal pergi kampung halamanku, beserta semua orang yang kukenal sejak lahir. Aku menetap di kota demi menyelesaikan masa kuliah di jurusan keguruan. Dengan sabar, aku menjalani pola hidup yang jauh berbeda. Tapi satu hal yang tetap kupegang erat, bahwa aku tetaplah pemuda desa dengan seperangkat prinsip hidup. 
 
Kadang, kekhawatiran juga menyerangku. Sudah jadi rahasia umum, kalau pergaulan di kota, penuh dengan godaan. Aku takut terbuai dan terseret arus kehidupan yang kebablasan itu. Apalagi, jauh dari orang tua, memberiku peluang untuk berbuat apa saja yang kumau. Tapi beruntunglah, aku berhasil pulang, masih dengan pribadi yang sama. 

Sikapku pada lawan jenis pun, tak berubah. Dugaan orang-orang bahwa kehidupan kota akan menggodaku untuk membuang waktu secara tak berguna dengan sejumlah perempuan, juga berhasil kutepis. Aku masih seperti yang dulu, lelaki yang dicap cupu dan mematematikakan perasaan. Seseorang yang memilih fokus mewujudkan cita-cita, sampai tak ada waktu menyesatkan diri dalam istilah cinta. 

Lima tahun kepergianku, bukanlah waktu yang singkat. Peluangku besar untuk mencatat nama berberapa wanita di daftar kenanganku. Membanggakan, lalu menyombongkannya. Tapi aku memilih jalan lain. Aku lebih suka mengisi memoriku dengan bacaan-bacaan dan meteri kuliah. Sampai akhirnya, aku menyelesaikan masa studiku, tanpa ada cerita tentang perempuan.

Kesendirianku sepanjang waktu berlalu adalah kesengajaan. Itu adalah aksi senyapku menuju perjumpaan yang pasti. Aku selalu yakin, ada seseorang yang melakukan hal yang sama untukku: menunggu. Entahlah, aku tak tahu siapa dan di dibelahan dunia mana ia berada. Aku hanya meyakininya, bahwa setiap orang mendapatkan balasan yang adil untuk perjuangannya.

Sepanjang penantian pula, aku sering mengkhayalkan menjadi diri seseorang yang menunggu untukku. Aku merasa-rasa, betapa beratnya ia menanti, selama aku mencari. Kuyakini, sunggguh, kami merindu, tanpa pernah saling mengenal. Jelas, aku tak ingin menghianatinya diam-diam. Aku rela berkorban untuknya, sebesar ia memberi pengorbanan untukku, demi kebersamaan kami.

Sekali-kali, kala aku sadar bahwa waktu telah banyak membawa perubahan, ketakutan pun menghantuiku. Takut jika takdirku diubah karena sikapku yang lebih suka berkhayal tentang perjumpaan terindah, tapi tak ada aksi nyata untuk menyegerakannya. Bagaimana pun juga, dia yang entah siapa, adalah perempuan yang sabar menanti pertanyaan, dan aku adalah lelaki yang harusnya bernyali.

Maka, berselang tiga bulan sepulangku dari kota, aku pun memberanikan diri memperjelas takdirku, di antara banyak kemungkinan ke mana arah hatiku berlabuh. Aku meminang seorang perempuan desa, dan kami pun menikah. Dia adalah tetanggaku sendiri, seseorang yang tak pernah kurencanakan untuk menjadi tambatan hatiku.

Begitulah akhirnya. Semua serba tak terduga. Entah bagaimana bisa, di perjumpaan kami sepulang aku dari kota, aku merasa telah lama merindukannya. Ketakutanku pun memuncak kalau-kalau hatinya direnggut sosok yang lain sebab aku menggantungkannya lebih lama lagi. 

Dan akhirnya, dia adalah wanitaku, sosok tercantik yang sepanjang waktu telah kuperjuangkan.

“Apa Kakak tak pernah dekat lebih dari teman dengan seorang wanita pun?” Ia bertanya dengan nada manja, saat kami tengah bersantai sambil menonton acara talkshow kesukaannya di layar televisi.

Aku sedikit kaget mendengar pertanyaannya. “Tak pernah. Memangnya kenapa?”

Dia merebahkan kepalanya di bahuku. “Tak apa-apa. Aku hanya penasaran saja kenapa Kakak tak pernah melakukannya,” katanya, tanpa ada kesan menelisik. 

Secara tersirat, aku memaknai jawabannya sebagai sebuah pertanyaan. “Alasannya? Itu karena aku hanya ingin memiliki kenangan bersamamu,” jelasku, sembari merangkulnya erat-erat. “Kurasa, aku berlaku tak adil jika menduakanmu dalam kenangan.”

Dia terdiam beberapa saat, kemudian mengutarakan sesuatu yang tak kuduga, “Tapi aku punya kenangan dengan lelaki lain di masa lalu.” Ia lalu menengadah, menatapku tajam. “Kakak tak merasa sikapku itu tak adil kan?”

Perasaanku tiba-tiba berkecamuk. Kulepaskan rangkulanku padanya. Aku hendak marah, tapi tak siap melakukannya tiba-tiba. Bagaimana pun juga, kami baru saja menikah. Menghancurkan angan-angan indahku bersamanya di awal waktu pernikahan adalah sebuah ironi, sebab cintaku tengah mekar-mekarnya. “Siapa lelaki yang kau maksud?” tanyaku, sedikit tegas, sambil memandangi bola matanya dalam-dalam.

Dia malah tertawa. Seakan tema perbincangan yang sensitif dan bukan pada waktu dan tempatnya itu, patut dianggap lelucon. “Cemburu, ya?” ledeknya, sambil menunjuk-nunjuk wajahku dengan kedua jari telunjuknya. “Masa Kakak tak tahu? Kalau akhirnya aku menikah dengan Kakak, bukan dengan lelaki lain, masa tak tahu?” 

Lama-lama, aku pun jadi kikuk. “Jadi lelaki yang kau maksud itu, aku?” 

Diam tersenyum simpul. Terlihat sangat senang mengerjaiku. “Aku yakin, Kakak akan datang selama aku menunggu.”

Seketika, aku merasa jadi lelaki paling beruntung di dunia.

Jumat, 10 Februari 2017

Adik Manis

Ishak dan Prabu adalah dua orang sahabat baik. Mereka banyak melakukan aktivitas bersama-sama. Sangat akrab. Padahal, mereka baru berkenalan dua tahun terakhir, di waktu mereka berstatus sebagai mahasiswa. Persahaban mereka sangat erat, bahkan sampai ke tataran keluarga. Tak heran jika ayah-ibu Ishak telah menganggap Prabu sebagai anak sendiri.
 
Karena kedekatan mereka merembes ke ranah keluarga, sekat-sekat di antara mereka pun, hilang. Mereka bisa saling mengunjungi di kediaman masing-masing, tanpa perlu janjian terlebih dahulu. Entah untuk belajar, menghadiri acara, sekadar bermain, bahkan saat tak ada keperluan apa-apa.

Keseringan berkunjung ke rumah Ishak, akhirnya menimbulkan dilema bagi Prabu. Belakangan, ia baru menyadari bahwa sahabatnya itu memiliki seorang adik yang cantik jelita bernama Liana. Seiring waktu yang mempertemukan mereka, perasaan Prabu pun semakin bersemi. Ia jatuh hati. Bahkan ia merasa hampa jika dalam sehari tak melihat si adik manis itu. 

Suasana dilematis bagi Prabu semakin menjadi-jadi kala ia menerka bahwa perasaannya pada Liana, berbalas. Pertandanya terbaca dari gerak-gerik dan ekspresi Liana kala mereka berpapasan. Isyarat itu pun semakin jelas di hari setelah ia memberikan kado ulang tahun berupa boneka kepada gadis kelas III SMA itu.

Perasaan Prabu yang berkecamuk dari hari ke hari, memaksanya menahan diri. Mengutarakan perasaannya itu, tidaklah semudah cinta biasa. Bagaimana pun juga, jatuh hati pada saudara sahabat sendiri, harus dinyatakan dengan cara yang bermartabat. Harus ada kesungguhan untuk mewujudkannya secara bertanggung jawab.

Demi menjaga persahabatannya, Prabu pun mulai mengarang alasan untuk mengurangi intensitas kunjungannya ke rumah Ishak. Tentu saja, ia tak mengungkapkan alasan yang sebenarnya. Dan beruntung, Ishak memercayainya. Akhirnya, mereka pun hanya sesekali saling mengunjungi. 

Pada posisi sebaliknya, bahwa Ishak mengunjungi rumah Prabu, itu juga bukan pilihan yang mudah. Ishak lebih sering menolak jika Prabu mengajaknya bertamu. Ia banyak alasan. Dan jika Prabu memaksa, Ishak akan mengungkapkan kalau ia tak enak hati bertamu, karena Prabu hanya tinggal bersama seorang adik perempuannya, Rosa. Terlebih lagi, belakangan, Rosa tak menunjukkan sikap yang ramah pada lelaki yang bertamu, termasuk Ishak. Prabu akhirnya tak bisa mengelak.

Prabu sendiri masih tak tahu betul apa alasan di balik perubahan sikap adiknya. Padahal, sedari awal, adiknya itu biasa saja kala temannya berkunjung ke rumah kontrakan mereka. Tapi sepintas, Prabu menerka-nerka, perubahan adiknya disebabkan rasa pilu perihal perasaannya pada seorang lelaki yang entah siapa. 

Melihat kondisi adiknya yang sering murung dan menyendiri, yang ia duga karena soal lelaki, membuat Prabu tak ingin menumbuhkan perasaan pada adik temannya sendiri, Liana. Itu karena ia tahu bagaimana perasaan seorang perempuan yang telah dipermainkan oleh seorang lelaki. Itu terjadi pada adiknya sendiri, dan ia tak ingin itu terjadi pada Liana, karenanya.

Di satu hari, kala Ishak dan Prabu tak ada keinginan untuk saling mengunjungi, mereka pun memilih kafe sebagai tempat nongkrong. Di sanalah, kedua sahabat itu, saling mengobrol tentang rasanya jadi kakak dari seorang perempuan yang telah pubertas.

“Akhir-akhir ini, aku baru merasakan, ternyata tak mudah memiliki seorang adik perempuan. Jauh dari orang tua, membuatku harus mengurusi adik perempuanku dengan baik,” keluh Prabu, setelah obrolan mereka yang serius dan panjang perihal perkuliahan. “Seperti kau tahu sendiri, perempuan lebih rumit dari pada lelaki. Mereka punya banyak masalah dan sulit keluar dari masalahnya sendiri. Ya, memang harus pandai-pandai mengurusi mereka.”

Sejenak, Ishak kaget mendengar sahabatnya membahas soal yang tak lazim. “Entahlah. Aku tak terlalu mengerti tentang adikku. Bisa jadi, itu karena aku tinggal bersama ayah-ibuku. Makanya, aku tak perlu pusing mengurusinya” tuturnya

“Tunggu-tunggu saja. Kurasa adik-adikmu belum pernah menyukai dan disakiti seorang lelaki,” kata Prabu, kemudian tertawa pendek. “Kurasa, adikku belakangan ini banyak berubah. Dan kuduga, ia sedang bermasalah dengan seorang lelaki. Jika saja ia mau jujur memberitahuku siapa lelaki yang telah memperlakukannya dengan buruk, aku pasti membantunya menyelesaikan masalah.”

Ishak menarik napas dalam-dalam. Ia pun merasa sepatutnya bertanya. “Memangnya kenapa? Ada apa dengan adikmu?” uliknya, lalu menyeruput secangkir kopi pesanannya.

“Kau saksikan sendiri kan, kalau dia tampak murung dan mudah marah-marah. Dia bahkan tak suka jika aku membawa teman-teman ke rumahku, termasuk kau juga. Entahlah, mungkin dia pikir semua lelaki brengsek seperti sosok yang telah menyakitinya. Kau tahu, ia bahkan mencopot foto-foto kita di dinding rumahku. Kurang enak dipandang, alasannya. Ya, aku terpaksa mengalah, daripada ia mengamuk,” urai Prabu. 

Mendengar penjelasan Prabu, Ishak pun terdiam dengan rahasianya. Tak ingin menanggapi secara berlebihan. Pura-pura tak tahu tentang apa yang sebenarnya terjadi sampai ia enggan berkunjung ke rumah Prabu, juga tentang perubahan sikap Rosa. Yang pasti, nomor telepon adik sahabatnya itu, telah terhapus dari daftar kontak di telepon genggamnya. “Mudah-mudahan perasaan adikmu lekas normal,” tanggapnya, singkat.

Prabu mengangguk-angguk. Seperti mengaminkan sebuah doa. “Karena tahu begitu akibat jika perempuan sakit hati, ya, pilihannya hanya dua: jangan sentuh hatinya, atau menjadikan ia satu-satunya. Dan karena aku tahu bagaimana hubunganmu dengan Linda sekarang, kau harus kukuh pada pilihan kedua, kawan. Bukan begitu?” singgungnya, beserta senyuman yang merekah sempurna.  

“Kau sepertinya sangat paham soal perasaan,” balas Ishak, disusul tawanya yang pendek. Terkesan meledek. 

“Adikmu, Liana, yang hampir seumuran dengan adikku, apa tak mengalami perubahan sikap juga?” selidik Prabu.

“Entahlah. Tapi sepertinya, belakangan ini ia lebih sering mengurung diri di kamar,” jelas Ishak.

Diam-diam, Prabu berharap, itu bukan karena dirinya.