Matahari
telah condong ke barat. Sudah hampir sore. Pasar jadi lengang. Para penjual merapikan
barang dagangan mereka untuk segera pulang. Itu adalah waktu bagi Rido untuk
memulai aktivitasnya. Ia akan mengumpulkan sejumlah benda berharga di pasar.
Besi bekas, plastik, hingga buah-buahan yang masih layak makan, akan ditaruhnya
di atas gerobak.
Tanpa
kenal lelah, setiap hari, Rido melakukan rutinitasnya sebagai pemulung. Ia akan
menyusuri semua area pasar untuk mengumpulkan pundi-pundi rupiah. Membantu sang
ibu yang bekerja sebagai tukang cuci. Hanya itu yang bisa ia lakukan. Apalagi, dengan
kondisinya yang tunarungu dan tunawicara sejak lahir, tak ada orang pun yang
sudi mempekerjakannya.
Atas
keadaannya yang berbeda itu, sering kali, Rido harus menerima perlakuan yang
kurang menyenangkan. Orang-orang usil sering menampakkan laku merendahkan di
hadapannya. Dipandang sebelah mata. Tapi beruntung, ia punya mental baja. Ia
tak merisaukan olok-olokan apa pun secara berlebihan. Baginya, keadaan dirinya
bukan untuk disesali, tapi disyukuri.
Tapi
belakangan, pandangan miring dan tindakan usil, semakin kuat menerpa Rido. Itu
disebabkan olah sikapnya sendiri. Sebelumnya orang-orang memang melihatnya tak mengenakan
alas kaki. Namun empat hari lalu, sepasang sepatu baru malah digantung di sisi kanan
gerobaknya. Tak ia pakai. Aneh. Karena itu, beberapa orang mencap dirinya mulai
tak waras.
Tak
hanya itu, tiap kali gerobaknya penuh dengan beragam benda, Rido juga punya
kebiasaan unik. Ia akan duduk berdiam diri di sebuah pelataran, di sudut pasar,
sampai senja menggantung di langit barat. Itu terjadi sejak tiga hari yang
lalu. Maka, keyakinan beberapa orang pun semakin menjadi-jadi, bahwa keadaan
jiwa Rido, tidak stabil lagi.
Setelah
hampir malam, Rido pun pulang setelah menunaikan dua kebiasaan unik itu.
Ami,
Ibunya sedari tadi menunggu di pelataran rumah, turut khawatir atas desas-desus
di tengah masyarakat. Sontak saja, ia pun menghampiri sang anak dan bertanya
perihal sepatu baru, menggunakan bahasa isyarat.
Rido
lalu membalas dengan gerak-geriknya. Ia bermaksud mengatakan kalau sepatu itu
bukanlah miliknya, tapi diletakkan begitu saja oleh orang misterius di atas
gerobaknya.
Merujuk
kabar yang didengarnya, Ami pun menanyakan soal kebiasaan Rido duduk menyendiri
di sudut pasar, yang membuatnya pulang terlambat belakangan ini.
Rido
pun menjelaskan kalau ia bermaksud menunggu seseorang. Ia berharap, suatu hari
sang pemilik sepatu akan datang menghampirinya, dan mengambil tas itu kembali.
Setelah
mendengar penjelasan anaknya, Ami pun merasa tenang. Setidaknya, ia masih
meyakini bahwa kondisi mental anaknya baik-baik saja, meski hidup dalam
keterbatasan yang penuh dengan penilaian miring dari orang-orang.
Seketika,
Ami pun mengisyaratkan kesalutannya, lalu memeluk erat sang anak. “Kau sunguh
baik. Aku bangga dan bersyukur memiliki anak sepertimu, Nak,” tuturnya, meski
dengan kesadaran penuh bahwa anaknya itu, tak akan mendengar ucapannya.
Setelah
beberapa detik, Rido pun mengurai pelukannya, lalu menyerahkan sepatu baru pada
sang ibu, bersama sebuah surat dan kartu nama yang jelas tak akan bisa ia
mengerti maksudnya. Ia tak bisa membaca.
Ami
lalu menyambut pemberian anaknya. Dengan penuh penasaran, ia lalu membaca
lamat-lamat rangkaian huruf pada surat itu:
Sepatu ini untukmu, Nak. Pakailah.
Kalau butuh sesuatu, jangan sungkan untuk menemuiku di alamat yang tertera di
kartu nama.
Dan
setelah mengecek identitas pada kartu nama secara detail, kekalutan pun melanda
perasaan Ami. Kebencian yang telah lama ia pendam, menyeruak kembali. Ia tahu,
lelaki pemilik sepatu baru itu, adalah suaminya dahulu, yang pergi tanpa kabar,
setelah tahu Rido lahir dengan keadaan yang tak serupa dengan anak-anak yang
lain.
Rido
bersuara gagu, dibarengi gerak-gerik tertentu. Ia bermaksud mempertanyakan
perihal apa maksud tulisan di secarik kertas yang dibaca sang ibu.
Ami
pun memampang ekpresi yang datar. Memberi jawaban bahwa tidak ada apa-apa.
Bahwa surat dan kartu nama itu, hanya petunjuk produk atas sepatu.
Obrolan
pun usai.
Waktu
terus bergulir. Kala mentari pagi berinar, sepatu baru itu, lenyap dari atas
gerobak.
Segera,
Rido mempertanyakan keadaan itu pada sang ibu.
Dengan
sikap terkejut yang dibuat-buat, Ami lalu menyampaikan dugaannya bahwa bisa
jadi, sang pemilik mengambil sepatunya secara diam-diam semalam. Karena itu, ia
berpesan pada sang anak agar tak memikirkannya lagi.
Meski
belum tahu jalan ceritanya, Rido pun menerima dugaan ibunya sebagai kebenaran.
Dan,
yang sebenarnya terjadi, Ami telah membuang sepatu baru di tempat sampah, subuh
tadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar