Kamis, 12 Januari 2017

Sepatu Baru

Matahari telah condong ke barat. Sudah hampir sore. Pasar jadi lengang. Para penjual merapikan barang dagangan mereka untuk segera pulang. Itu adalah waktu bagi Rido untuk memulai aktivitasnya. Ia akan mengumpulkan sejumlah benda berharga di pasar. Besi bekas, plastik, hingga buah-buahan yang masih layak makan, akan ditaruhnya di atas gerobak.
 
Tanpa kenal lelah, setiap hari, Rido melakukan rutinitasnya sebagai pemulung. Ia akan menyusuri semua area pasar untuk mengumpulkan pundi-pundi rupiah. Membantu sang ibu yang bekerja sebagai tukang cuci. Hanya itu yang bisa ia lakukan. Apalagi, dengan kondisinya yang tunarungu dan tunawicara sejak lahir, tak ada orang pun yang sudi mempekerjakannya.

Atas keadaannya yang berbeda itu, sering kali, Rido harus menerima perlakuan yang kurang menyenangkan. Orang-orang usil sering menampakkan laku merendahkan di hadapannya. Dipandang sebelah mata. Tapi beruntung, ia punya mental baja. Ia tak merisaukan olok-olokan apa pun secara berlebihan. Baginya, keadaan dirinya bukan untuk disesali, tapi disyukuri.

Tapi belakangan, pandangan miring dan tindakan usil, semakin kuat menerpa Rido. Itu disebabkan olah sikapnya sendiri. Sebelumnya orang-orang memang melihatnya tak mengenakan alas kaki. Namun empat hari lalu, sepasang sepatu baru malah digantung di sisi kanan gerobaknya. Tak ia pakai. Aneh. Karena itu, beberapa orang mencap dirinya mulai tak waras. 

Tak hanya itu, tiap kali gerobaknya penuh dengan beragam benda, Rido juga punya kebiasaan unik. Ia akan duduk berdiam diri di sebuah pelataran, di sudut pasar, sampai senja menggantung di langit barat. Itu terjadi sejak tiga hari yang lalu. Maka, keyakinan beberapa orang pun semakin menjadi-jadi, bahwa keadaan jiwa Rido, tidak stabil lagi.

Setelah hampir malam, Rido pun pulang setelah menunaikan dua kebiasaan unik itu.

Ami, Ibunya sedari tadi menunggu di pelataran rumah, turut khawatir atas desas-desus di tengah masyarakat. Sontak saja, ia pun menghampiri sang anak dan bertanya perihal sepatu baru, menggunakan bahasa isyarat.

Rido lalu membalas dengan gerak-geriknya. Ia bermaksud mengatakan kalau sepatu itu bukanlah miliknya, tapi diletakkan begitu saja oleh orang misterius di atas gerobaknya.

Merujuk kabar yang didengarnya, Ami pun menanyakan soal kebiasaan Rido duduk menyendiri di sudut pasar, yang membuatnya pulang terlambat belakangan ini.

Rido pun menjelaskan kalau ia bermaksud menunggu seseorang. Ia berharap, suatu hari sang pemilik sepatu akan datang menghampirinya, dan mengambil tas itu kembali.

Setelah mendengar penjelasan anaknya, Ami pun merasa tenang. Setidaknya, ia masih meyakini bahwa kondisi mental anaknya baik-baik saja, meski hidup dalam keterbatasan yang penuh dengan penilaian miring dari orang-orang.

Seketika, Ami pun mengisyaratkan kesalutannya, lalu memeluk erat sang anak. “Kau sunguh baik. Aku bangga dan bersyukur memiliki anak sepertimu, Nak,” tuturnya, meski dengan kesadaran penuh bahwa anaknya itu, tak akan mendengar ucapannya.

Setelah beberapa detik, Rido pun mengurai pelukannya, lalu menyerahkan sepatu baru pada sang ibu, bersama sebuah surat dan kartu nama yang jelas tak akan bisa ia mengerti maksudnya. Ia tak bisa membaca.

Ami lalu menyambut pemberian anaknya. Dengan penuh penasaran, ia lalu membaca lamat-lamat rangkaian huruf pada surat itu:

Sepatu ini untukmu, Nak. Pakailah. Kalau butuh sesuatu, jangan sungkan untuk menemuiku di alamat yang tertera di kartu nama.

Dan setelah mengecek identitas pada kartu nama secara detail, kekalutan pun melanda perasaan Ami. Kebencian yang telah lama ia pendam, menyeruak kembali. Ia tahu, lelaki pemilik sepatu baru itu, adalah suaminya dahulu, yang pergi tanpa kabar, setelah tahu Rido lahir dengan keadaan yang tak serupa dengan anak-anak yang lain.

Rido bersuara gagu, dibarengi gerak-gerik tertentu. Ia bermaksud mempertanyakan perihal apa maksud tulisan di secarik kertas yang dibaca sang ibu.

Ami pun memampang ekpresi yang datar. Memberi jawaban bahwa tidak ada apa-apa. Bahwa surat dan kartu nama itu, hanya petunjuk produk atas sepatu.

Obrolan pun usai.

Waktu terus bergulir. Kala mentari pagi berinar, sepatu baru itu, lenyap dari atas gerobak.

Segera, Rido mempertanyakan keadaan itu pada sang ibu. 

Dengan sikap terkejut yang dibuat-buat, Ami lalu menyampaikan dugaannya bahwa bisa jadi, sang pemilik mengambil sepatunya secara diam-diam semalam. Karena itu, ia berpesan pada sang anak agar tak memikirkannya lagi.

Meski belum tahu jalan ceritanya, Rido pun menerima dugaan ibunya sebagai kebenaran.

Dan, yang sebenarnya terjadi, Ami telah membuang sepatu baru di tempat sampah, subuh tadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar