Seorang
pramugari, belakangan menjadi viral di media sosial. Pasalnya, ia dengan suka-rela
menggendong seorang nenek menuruni tangga pesawat. Laku bajiknya itu pun,
dianggap luar biasa dan dipuji banyak orang di media sosial. Hingga pada puncaknya,
Menteri Perhubungan mengundang sang pramugari untuk makan malam bersama.
Aksi
yang menyentuh sisi kemanusiaan, tidak kali ini saja terjadi dan ramai
diperbincangkan di media sosial. Bisa dikata, di ranah maya itu, lakon
menyentuh hati, sudah lumrah dijumpai. Semisalnya saja, gadis rupawan yang jadi
sopir angkutan umum, polisi antikorupsi yang rela jadi pemulung, hingga anak-anak
yang harus berjuang untuk hidup di tanah perang.
Laku-laku
luar biasa yang terpampang di ranah media sosial seperti di atas, senantiasa menuai
decak kagum banyak orang. Sekelumit potret sosial itu, seakan membuktikan bahwa
masih ada orang yang teguh melawan laku kekinian yang mulai absurd. Jika di
kehidupan sehari-hari, gadis cantik hanya pandai bersolek dan hedonis, media
sosial mampu menampilkan gambaran yang kontras.
Kalau
ditelisik lebih dalam, peristiwa kecil yang menjadi hangat di media sosial,
pada dasarnya mengandung paradoks dan ironi. Ada perasaan tersentak, melihat
laku bajik di dunia maya, kala laku semacam itu, malah diangap aneh di dunia
nyata. Apa yang langka di dunia nyata, berseliweran di media sosial dan
mendapat banyak apresiasi.
Akhirnya,
dunia media sosial yang maya dan dunia
nyata, seakan berbanding terbalik. Kehidupan maya, sedikit demi sedikit,
mendegradasi nilai kehidupan dunia nyata. Seakan lakon kemanusiaan, telah tersedot
dalam layar-layar persegi. Hingga tanpa sadar, orang-orang mulai berlaku sebagai
manusia di dunia maya, dan mempertontonkan sisi lainnya di dunia nyata.
Dunia
nyata yang kehilangan muruah, akhirnya diabaikan. Tubuh-tubuh bergelimangan di
mana-mana, tapi tak saling menghargai. Sekadar berbagi senyum, salam, atau sapa
saja, enggan. Sebaliknya, di media sosial, dunia terasa hidup. Bebekal jari,
orang-orang antusias saling mengapresiasi dengan cara berbagi tautan, mengklik
ikon like dan tanggapan, hingga
saling mengomentari.
Tak
pelak, orang-orang pun mulai berhijrah dan mengokohkan eksistensi dirinya di
media sosial. Mengunggah tulisan, foto, dan video dengan seunik mungkin, hanya
untuk mendulang pujian semu. Bahkan, orang-orang sudah tak sungkan untuk
menampilkan sisi lain kehidupannya di dunia maya, sisi yang harusnya privasi,
demi mendapatkan apresiasi.
Sungguh,
tanpa disadari, media sosial telah membuat orang-orang bersisi dua. Mencitrakan
diri sebagai sosok yang bajik, meski di dunia nyata, ia suka bersikap
sebaliknya. Terlebih, di media sosial, label sebagai orang baik, bisa
didapatkan hanya dengan memberi sejumlah respons seadanya. Maka, tak heran jika
orang menanggapi sebuah tautan, sekadar untuk dianggap baik.
Saksikanlah,
saat hari besar dihelat, media sosial dipenuhi ucapan selamat. Kala hari ibu
misalnya, unggahan status lebih manis daripada bakti nyata pada ibu. Atau,
seseorang yang gemar mengirimkan ucapan selamat ulang tahun, sekadar untuk
mendapat ucapan yang balik di hari tahunnya. Demikianlah sedikit gambaran bahwa
orang mulai menipu dirinya dengan berburu citra kemanusiaan semu di media
sosial.
Celakanya,
kala orang-orang telah menumbalkan dirinya di media sosial, maka mereka bisa
terjebak dalam ekspektasi yang besar pada seseorang. Tapi akhirnya adalah
kekecewaan. Yang dianggapnya baik di media sosial selama ini, ternyata tidak
serupa di dunia nyata. Maka, sampailah ia pada kesimpulan bahwa tak ada lagi
orang yang jujur dan baik di dunia ini.
Dari
uraian singkat di atas, demi kemanusiaan, rasa-rasanya, penting untuk kembali
merefleksikan sikap dalam bermedia sosial. Ruang media sosial yang penuh dengan
kamuflase, harus kembali ditempatkan sebagai pelengkap hidup saja. Sekadar dijadikan
wadah bersapa dengan orang yang jauh, bukan malah jadi sebab untuk mengabaikan
orang-orang terdekat.
Dan
yang terpenting, lihatlah di sekeliling kita. Bisa jadi, banyak
pahlawan-pahlawan hebat, hanya saja mereka tak termuat dan jadi viral di media sosial.
Atau bisa jadi, kita sendiri adalah bakal pahlawan yang sedang tersesat di
dunia maya, saling menipu, sampai lupa bahwa nilai kejujuran dan keikhlasan
adalah bekal untuk menjadi seorang pahlawan sesungguhnya, di dunia nyata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar