Kamis, 12 Januari 2017

Pahlawan Media Sosial

Seorang pramugari, belakangan menjadi viral di media sosial. Pasalnya, ia dengan suka-rela menggendong seorang nenek menuruni tangga pesawat. Laku bajiknya itu pun, dianggap luar biasa dan dipuji banyak orang di media sosial. Hingga pada puncaknya, Menteri Perhubungan mengundang sang pramugari untuk makan malam bersama. 
 
Aksi yang menyentuh sisi kemanusiaan, tidak kali ini saja terjadi dan ramai diperbincangkan di media sosial. Bisa dikata, di ranah maya itu, lakon menyentuh hati, sudah lumrah dijumpai. Semisalnya saja, gadis rupawan yang jadi sopir angkutan umum, polisi antikorupsi yang rela jadi pemulung, hingga anak-anak yang harus berjuang untuk hidup di tanah perang.

Laku-laku luar biasa yang terpampang di ranah media sosial seperti di atas, senantiasa menuai decak kagum banyak orang. Sekelumit potret sosial itu, seakan membuktikan bahwa masih ada orang yang teguh melawan laku kekinian yang mulai absurd. Jika di kehidupan sehari-hari, gadis cantik hanya pandai bersolek dan hedonis, media sosial mampu menampilkan gambaran yang kontras. 

Kalau ditelisik lebih dalam, peristiwa kecil yang menjadi hangat di media sosial, pada dasarnya mengandung paradoks dan ironi. Ada perasaan tersentak, melihat laku bajik di dunia maya, kala laku semacam itu, malah diangap aneh di dunia nyata. Apa yang langka di dunia nyata, berseliweran di media sosial dan mendapat banyak apresiasi.

Akhirnya, dunia media sosial  yang maya dan dunia nyata, seakan berbanding terbalik. Kehidupan maya, sedikit demi sedikit, mendegradasi nilai kehidupan dunia nyata. Seakan lakon kemanusiaan, telah tersedot dalam layar-layar persegi. Hingga tanpa sadar, orang-orang mulai berlaku sebagai manusia di dunia maya, dan mempertontonkan sisi lainnya di dunia nyata.

Dunia nyata yang kehilangan muruah, akhirnya diabaikan. Tubuh-tubuh bergelimangan di mana-mana, tapi tak saling menghargai. Sekadar berbagi senyum, salam, atau sapa saja, enggan. Sebaliknya, di media sosial, dunia terasa hidup. Bebekal jari, orang-orang antusias saling mengapresiasi dengan cara berbagi tautan, mengklik ikon like dan tanggapan, hingga saling mengomentari.

Tak pelak, orang-orang pun mulai berhijrah dan mengokohkan eksistensi dirinya di media sosial. Mengunggah tulisan, foto, dan video dengan seunik mungkin, hanya untuk mendulang pujian semu. Bahkan, orang-orang sudah tak sungkan untuk menampilkan sisi lain kehidupannya di dunia maya, sisi yang harusnya privasi, demi mendapatkan apresiasi.

Sungguh, tanpa disadari, media sosial telah membuat orang-orang bersisi dua. Mencitrakan diri sebagai sosok yang bajik, meski di dunia nyata, ia suka bersikap sebaliknya. Terlebih, di media sosial, label sebagai orang baik, bisa didapatkan hanya dengan memberi sejumlah respons seadanya. Maka, tak heran jika orang menanggapi sebuah tautan, sekadar untuk dianggap baik.

Saksikanlah, saat hari besar dihelat, media sosial dipenuhi ucapan selamat. Kala hari ibu misalnya, unggahan status lebih manis daripada bakti nyata pada ibu. Atau, seseorang yang gemar mengirimkan ucapan selamat ulang tahun, sekadar untuk mendapat ucapan yang balik di hari tahunnya. Demikianlah sedikit gambaran bahwa orang mulai menipu dirinya dengan berburu citra kemanusiaan semu di media sosial.

Celakanya, kala orang-orang telah menumbalkan dirinya di media sosial, maka mereka bisa terjebak dalam ekspektasi yang besar pada seseorang. Tapi akhirnya adalah kekecewaan. Yang dianggapnya baik di media sosial selama ini, ternyata tidak serupa di dunia nyata. Maka, sampailah ia pada kesimpulan bahwa tak ada lagi orang yang jujur dan baik di dunia ini. 

Dari uraian singkat di atas, demi kemanusiaan, rasa-rasanya, penting untuk kembali merefleksikan sikap dalam bermedia sosial. Ruang media sosial yang penuh dengan kamuflase, harus kembali ditempatkan sebagai pelengkap hidup saja. Sekadar dijadikan wadah bersapa dengan orang yang jauh, bukan malah jadi sebab untuk mengabaikan orang-orang terdekat.

Dan yang terpenting, lihatlah di sekeliling kita. Bisa jadi, banyak pahlawan-pahlawan hebat, hanya saja mereka tak termuat dan jadi viral di media sosial. Atau bisa jadi, kita sendiri adalah bakal pahlawan yang sedang tersesat di dunia maya, saling menipu, sampai lupa bahwa nilai kejujuran dan keikhlasan adalah bekal untuk menjadi seorang pahlawan sesungguhnya, di dunia nyata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar