Sabtu, 31 Desember 2016

Hujan Bulan Desember

Suasana lengang. Udara dingin di bawah langit yang gelap. Aku duduk menepi di sebuah halte. Berlindung dari guyuran hujan yang datang tiba-tiba. Hanya duduk, menatap titik-titik air yang menghujam jalan beraspal. Tak ada siapa-siapa. Mungkin semua orang tengah singgah berteduh, pada persimpangan masing-masing. Menikmati hujan yang menjebak. Meresapi sepi, seperti yang kurasakan.

Hingga akhirnya, kejutan datang. Di tengah derai hujan, kulihat seseorang perempuan dengan rok panjang dan jaket tebal, berjalan di bawah payung. Ia menuju ke arahku. Langkahnya hati-hati, menghindari aliran air yang mencapai mata kaki. Dan, dari jarak sepuluh meter, kuterawang wajahnya baik-baik. Aku mengenalinya. Dia adalah teman sekampusku.

Setelah sampai, ia bergegas melipat payung, kemudian menepis-nepis air hujan yang menyerap di jaket hitamnya. Sejenak, bola matanya menatapku, sambil tersenyum. Ada kesan ia juga mengenaliku. Aku bisa membacanya. Lalu, tanpa berkata-kata, ia duduk dengan segan. Hanya termenung, menunggu hujan reda, entah sampai kapan, seperti yang kulakukan.

Kehadirannya jelas membuat perasaanku tak keruan. Itu karena sudah sejak lama, aku mengaguminya secara diam-diam. Upaya penguntitan pun rela kulakukan, sekadar untuk mengetahu identitas dasarnya. Dan hasilnya, kutahu kalau ia bernama Dini, tepatnya  Rahmita Andini. Informasi itu kuperoleh dari daftar hadir di satu kelas mata kuliah, yang kami program bersama. 

Berbekal nama lengkapnyalah, aku mulai menjerumuskan diri dalam serangkaian rutinitas bodoh. Kuketik namanya di mesin pencari internet, hingga kutemukan semua bilik-bilik kehidupannya. Akhirnya, aku tak bisa melewatkan hari tanpa mengecek aktivitas hidupnya di semua lini media sosial. Aku seperti kecanduan.

Jelas, jebakan hujan kali ini, membuat perasaanku dilematis. Aku takut jika ia mengetahui aktivitas terselubungku selama ini, yang suka memata-matainya. Sungguh memalukan jika itu benar-benar terjadi. Namun, aku juga tak bisa manampik, kalau ini adalah kesempatan emasku untuk memulai pendekatan nyata padanya, tak hanya sekadar menjadi pengagum rahasianya.

Setelah hampir sepuluh menit saling mendiamkan, akhirnya, aku memutuskan untuk memulai sebuah percakapan. Kupikir, akan lebih memalukan jika ia mencapku sebagai lelaki pemalu, yang tak punya nyali memulai obrolan dengan seorang perempuan.

Kulepas earphone di telingaku, kemudian berdeham keras. Aku lalu berpaling padanya, sambil tersenyum.

Dia pun menoleh padaku. Membalasku dengan sesimpul senyuman.

“Dini, mau ke fakultas?” tanyaku, sok akrab. Memberi tanda kalau aku mengingatnya sebagai teman sekelas. 

Dia menggeleng. “Tidak. Aku hendak ke gedung kesenian. Aku ada acara di sana.”

Aku mengangguk. Diam-diam, memahami apa yang dia maksud. Aku telah  mengamati info aktivitasnya hari ini, melalui media sosial.

“Ada acara apa di sana?” tanyaku, sekadar berbasa-basi.

“Aku ada pementasan tari adat untuk acara organisasi kesenian yang kugeluti,” jawabnya, segan. “Kalau ada waktu, mampirlah ke sana.”

Aku tersenyum singkat. “Terima kasih. Kalau waktuku lowong, aku akan sempatkan menonton penampilanmu. Aku yakin, pasti mengagumkan,” pujiku.

Dia balas tersenyum. Sangat manis.

Lalu, kami pun terdiam. Suasana menjadi hening. 

Hujan mereda. Yang ada hanya rintik-rintik saja.

“Dimas, aku pamit duluan. Mumpung reda,” tuturnya, memecah keheningan.

Sungguh, aku merasa senang mendengar ia mengeja namaku dengan tutur kata yang menggetarkan. “Biar aku antar?” tawarku.

“Tak usah,” tolaknya seketika. “Seseorang menjemputku di seberang jalan.”

Aku menoleh ke depan. Dan kulihat, sesosok lelaki menunggunya dengan sikap yang mencurigakan.
“Sayang, ayo,” seru lelaki itu.

“Aku duluan ya?” pungkasnya, kemudian beranjak dengan setengah berlari. Pergi tanpa menanti kata-kata penutup dariku.

Perasaanku kembali membeku. Sepi. Dingin yang kurasa, menggerogoti relung sukmaku. Setumpuk khayalanku tentangnya pun, jadi serupa racun. Menyebar dan melumpuhkan sekujur tubuhku. Sungguh, aku menyesal telah menghabiskan banyak waktu mengaguminya secara diam-diam.

Bersama separuh nyawa yang tersisa, kutuntun arah jalanku pulang. Berdialog dengan diri sendiri di atas sepeda motor yang kupandu pelan. Merenungi nasib. Lalu, dengan perasaan kalut, kubungkam telingaku dari suara rintik hujan yang terdengar lirih. Dari earphone, mengalun indah lagu Efek Rumah Kaca, Desember, untuk kesendirianku.

Selalu ada yang bernyanyi dan berelegi di balik awan hitam
Semoga ada yang menerangi sisi gelap ini
Menanti seperti pelangi setia menunggu hujan reda

Tiba-tiba, hujan deras kembali mengguyur tubuhku. Aku tak peduli. Seiring waktu, aku yakin, hujan akan berhenti dengan sendirinya. Hujan akan mengakhiri segalanya, termasuk perihku. Dan aku yakin, di ruang yang lain, kelak, ada sosok yang akan memupuskan lukaku. 

Aku selalu suka sehabis hujan di bulan desember

Sampai nanti ketika hujan tak lagi meneteskan duka, menetas duka
Sampai hujan memulihkan luka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar