Tasya
dan Rahmi adalah dua orang murid kelas 4 sekolah dasar. Di sekolah, mereka
duduk bersebelahan bangku. Karena itu, mereka berteman baik. Apalagi, jarak
rumah mereka tak berjauhan. Hingga, banyak peristiwa yang mereka lewati bersama.
Mulai dari belajar, mengerjakan tugas sekolah, bermain, dan berbelanja di pasar.
Dalam
segala kebersamaan, mereka terlihat begitu kompak. Bergaul dan berbagi dengan
rasa saling percaya. Bahkan, sepanjang hari bisa mereka lalui dengan penuh keseruan,
tanpa kebosanan, keengganan, apalagi kecurigaan buruk. Itu karena mereka punya
banyak kesukaan yang sama, termasuk pada segala sesuatu yang berwarna merah
jambu.
Sore
pun menjelang. Seperti janjinya, Rahmi bertandang ke rumah Tasya. Mereka telah
bersepakat mengerjakan tugas matematika bersama-sama. Dan, kala baru saja
sampai, Rahmi dibuat terkesima atas koleksi baru Tasya. Di dinding kamar,
menggantung sebuah bando berwarna merah jambu, dengan hiasan bunga berwarna merah
di atasnya.
“Wah,
cantik sekali Bandomu. Beli di mana?” seru Rahmi.
Tasya
menoleh. “Ya, iyalah. Besok, aku yakin, semua teman sekelas kita, iri padaku,”
tuturnya dengan penuh keangkuhan. “Kalau kau mau, beli saja di toko aksesoris
langganan kita. Kalau bisa, segerakan. Kamarin, aku lihat, stoknya sisa dua.”
Rahmi
mengeluh. “Kenapa tak ajak-ajak? Kau kan tahu kalau kesukaan kita tak pernah
berbeda.”
“Kemarin,
aku tak merencanakannya. Pas menemani Ibuku ke toko, tiba-tiba saja, aku ingin
membelinya,” balas Tasya, lalu duduk di bangku meja belajarnya.
Rahmi
mengaduh beberapa kali lagi. Setelah mengenakan bando itu, ia lalu melihat
pantulan dirinya di dalam cermin. Dengan penuh percaya diri, ia pun memuji
kecantikannya sendiri, “Bando ini cocok denganku.”
Tasya
tak menanggapi lagi.
Setelah
bosan membahas soal bando, mereka pun mulai mengerjakan tugas. Dan karena
mereka sama-sama cekatan dalam soal hitung-hitungan, tak sampai gelap, mereka
akhirnya sukses menyelesaikan tugas.
Waktu
terus bergulit, hingga akhirnya pagi menjelang. Di kamarnya, Tasya bergegas
menyiapkan segala perlengkapan sekolah. Mulai dari memeriksa isi tas, memakai
seragam yang telah rapi disetrika, hingga mengenakan bedak dan parfum
secukupnya. Tapi langkah persiapannya terhenti kala hendak memasangkan Bando di
rambutnya. Bando merah jambunya hilang.
“Ibu,
mana bandoku?” teriak Tasya dari dalam kamarnya.
Lina,
sang ibu, segera menghampiri. “Mana aku tahu, Nak.”
“Kalo
bukan ibu yang memindahkannya, siapa lagi?” kesal Tasya. “Semalam masih ada
kok.”
“Lah,
semalam kan aku tak pernah masuk ke kamarmu, Nak?” tagas Lina.
Tasya
tampak bersungut-sungut. “Terus mana?”
Lina
menelisik ke segala arah. “Jangan-jangan dibawa sama si Rahmi?”
“Mana
bisa dia bawa tanpa sepengetahuanku?” Sergah Tasya.
“Terus
siapa lagi?” tuntut Lina, kemudian kembali mengulang peringatannya dahulu, “Aku
tak ingin berburuk sangka pada temanmu itu. Tapi biar pun dia baik, tetap saja
niat jahatnya bisa muncul kalau ada kesempatan. Makanya, lain kali kalau
temanmu datang, semua barang yang kau anggap berharga, taruh dalam lemari, lalu
kunci baik-baik.”
Tasya
diam. Tak membalas.
Tiba-tiba,
Tasya teringat lagi peristiwa tiga hari yang lalu, di hari Minggu, kala Rahmi
bertandang ke kamarnya untuk mengerjakan tugas. Entah bagaimana ceritanya, di
hari itu juga, empat uang pecahan Rp. 5.000 miliknya yang tergeletak di atas
meja, lenyap. Maka kini, dengan perhitungan yang matang, ia pun mulai memahami kalau
perkataan ibunya, perlu untuk dipertimbangkan.
“Pergilah
ke sekolah, Nak. Jangan sampai kau terlambat,” pesan Lina.
Tanpa
membalas, Tasya pun pergi. Melangkah menuju ke sekolah yang berjarak 200 meter
dari rumahnya. Jelas, ia tak boleh terlambat, jika tak ingin gelarnya sebagai
siswi terbaik dialihkan kepada orang lain.
Untuk
sementara, ia berusaha melupakan kenyataan pahit yang dialaminya, sambil terus
meredam prasangka buruk pada Rahmi. Tapi biar pun begitu, kekecewaan tetap saja
mangaduk perasaannya. Hari di mana ia seharusnya dielu-elukan sebagai ratu
dengan Bando merah jambu, kini tinggal khayalan.
Dan
seketika, sesampainya di dalam ruang kelas yang kosong, Tasya terkejut. Bando
merah jambu yang persis sama dengan miliknya yang hilang, tergeletak di samping
tas milik Rahmi. Maka, dengan segala pertimbangan, ia pun memberanikan diri
untuk mengenakan bando itu.
Tak
berselang lama, Rahmi muncul di balik pintu.
“Hai,”
sapa Rahmi. Wajahnya tampak semringah. “Jarang-jarang, aku mendahului sampai di
kelas.”
Tasya
cuma nyengir.
“Kau
sudah lihat? Aku juga punya bando,” tutur
Rahmi, sambil melihat-lihat ke samping tasnya. “Sebentar.” Setelah
mengutak-atik isi tas, Rahmi tak juga melihat keberadaan bandonya. “Kau tak
lihat bando punyaku? Tadi, sepetinya aku kutaruh di samping tas deh?”
Tasya
menggeleng. “Tidak. Memangnya kau sudah beli bando?”
“Iya.
Aku sudah beli yang mirip punyamu. Kau tak lihat?” tanya Rahmi lagi, tanpa
kecurigaan sedikit pun pada teman sebangkunya.
Lagi-lagi,
Tasya menggeleng.
Diam-diam,
dalam hatinya, Tasya yakin Rahmi tengah berbohong. Pesan ibunya kalau teman
baik pun bisa jadi jahat kapan saja, adalah prasangka yang sedang mengendalikan
emosinya kini.
Di
tengah banyak rahasia antara kedua teman itu, jam pelajaran pun berakhir. Tasya
lalu bergegas pulang dengan terlebih dahulu berpesan pada Rahmi agar tak
sering-sering berkunjung ke rumahnya beberapa hari ke depan. Ia beralasan harus
sering-sering bertandang dan tinggal di rumah neneknya. Rahmi pun mengiyakan
saja, tanpa banyak tanya seperti biasanya.
Bersama
kekesalan yang mengendap dalam perasaannya, Tasya pun tiba di rumah. Langsung
saja ia menyegerakan diri menuju kamar. Bermasud baring-baring, sembari
merenungkan masa depan terbaik untuk pertemanannya dengan Rahmi. Dan, setibanya
di kamar, ia terkaget lagi. Bando merah jambu kembali menggantung di tempatnya.
Tasya
pun segera menemui ibunya. “Ibu dapat dari mana bando punyaku?”
“Aku dapat di belakang lemari. Pasti terjatuh
tanpa kau tahu.” Lina yang tengah menggoreng sambal, menoleh pada sang anak.
“Loh, kok kamu punya dua bando? Kamu beli lagi?”
Tasya
berusaha cepat. Berusaha mencari alasan yang tepat. “Satunya bukan punyaku, Bu.
Ini punya Rahmi. Dia memintaku membeli satu untuknya di toko, pakai uangnya sendiri.”
Otot
wajah Lina mengendur. “Syukurlah, kau ternyata masih mendengar pesanku untuk
berhemat,” tuturnya, kemudian melepas batuknya dua kali. “Oh, ya, aku baru
ingat. Tiga hari yang lalu, aku mengambil uang sakumu yang tergeletak di meja.
Hari itu, aku ingin membeli sayur dan ikan, tapi aku tak punya uang pecahan
kecil,” jelasnya, sambil merogoh kantong dasternya, lalu menyerahkan selembar
uang pecahan Rp. 20.000 kepada sang anak.
Raut
wajah Tasya tampak lesu. Seperti tak menyangka jalan ceritanya akan serumit
itu. “Kenapa Ibu baru bilang?”
Lina
pun tersenyum melihat mimik anaknya. “Ya, maafkan aku kalau begitu, Nak.”
Tasya tak menggubris lagi. Seketika, ia terilhami kesadaran baru. Kekesalan yang dipendamnya seharian pun, menyerang dirinya sendiri. Kini, ia harus berpikir keras, bagaimana cara
mengembalikan bando merah jambu milik Rahmi, juga menghangatkan persahabatan mereka lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar