Kamis, 12 Januari 2017

Bando Merah Jambu

Tasya dan Rahmi adalah dua orang murid kelas 4 sekolah dasar. Di sekolah, mereka duduk bersebelahan bangku. Karena itu, mereka berteman baik. Apalagi, jarak rumah mereka tak berjauhan. Hingga, banyak peristiwa yang mereka lewati bersama. Mulai dari belajar, mengerjakan tugas sekolah, bermain, dan berbelanja di pasar. 
 
Dalam segala kebersamaan, mereka terlihat begitu kompak. Bergaul dan berbagi dengan rasa saling percaya. Bahkan, sepanjang hari bisa mereka lalui dengan penuh keseruan, tanpa kebosanan, keengganan, apalagi kecurigaan buruk. Itu karena mereka punya banyak kesukaan yang sama, termasuk pada segala sesuatu yang berwarna merah jambu.

Sore pun menjelang. Seperti janjinya, Rahmi bertandang ke rumah Tasya. Mereka telah bersepakat mengerjakan tugas matematika bersama-sama. Dan, kala baru saja sampai, Rahmi dibuat terkesima atas koleksi baru Tasya. Di dinding kamar, menggantung sebuah bando berwarna merah jambu, dengan hiasan bunga berwarna merah di atasnya.

“Wah, cantik sekali Bandomu. Beli di mana?” seru Rahmi.

Tasya menoleh. “Ya, iyalah. Besok, aku yakin, semua teman sekelas kita, iri padaku,” tuturnya dengan penuh keangkuhan. “Kalau kau mau, beli saja di toko aksesoris langganan kita. Kalau bisa, segerakan. Kamarin, aku lihat, stoknya sisa dua.”

Rahmi mengeluh. “Kenapa tak ajak-ajak? Kau kan tahu kalau kesukaan kita tak pernah berbeda.” 

“Kemarin, aku tak merencanakannya. Pas menemani Ibuku ke toko, tiba-tiba saja, aku ingin membelinya,” balas Tasya, lalu duduk di bangku meja belajarnya.

Rahmi mengaduh beberapa kali lagi. Setelah mengenakan bando itu, ia lalu melihat pantulan dirinya di dalam cermin. Dengan penuh percaya diri, ia pun memuji kecantikannya sendiri, “Bando ini cocok denganku.”

Tasya tak menanggapi lagi.

Setelah bosan membahas soal bando, mereka pun mulai mengerjakan tugas. Dan karena mereka sama-sama cekatan dalam soal hitung-hitungan, tak sampai gelap, mereka akhirnya sukses menyelesaikan tugas.

Waktu terus bergulit, hingga akhirnya pagi menjelang. Di kamarnya, Tasya bergegas menyiapkan segala perlengkapan sekolah. Mulai dari memeriksa isi tas, memakai seragam yang telah rapi disetrika, hingga mengenakan bedak dan parfum secukupnya. Tapi langkah persiapannya terhenti kala hendak memasangkan Bando di rambutnya. Bando merah jambunya hilang.

“Ibu, mana bandoku?” teriak Tasya dari dalam kamarnya.

Lina, sang ibu, segera menghampiri. “Mana aku tahu, Nak.”

“Kalo bukan ibu yang memindahkannya, siapa lagi?” kesal Tasya. “Semalam masih ada kok.”

“Lah, semalam kan aku tak pernah masuk ke kamarmu, Nak?” tagas Lina.

Tasya tampak bersungut-sungut. “Terus mana?”

Lina menelisik ke segala arah. “Jangan-jangan dibawa sama si Rahmi?”

“Mana bisa dia bawa tanpa sepengetahuanku?” Sergah Tasya.

“Terus siapa lagi?” tuntut Lina, kemudian kembali mengulang peringatannya dahulu, “Aku tak ingin berburuk sangka pada temanmu itu. Tapi biar pun dia baik, tetap saja niat jahatnya bisa muncul kalau ada kesempatan. Makanya, lain kali kalau temanmu datang, semua barang yang kau anggap berharga, taruh dalam lemari, lalu kunci baik-baik.”

Tasya diam. Tak membalas.

Tiba-tiba, Tasya teringat lagi peristiwa tiga hari yang lalu, di hari Minggu, kala Rahmi bertandang ke kamarnya untuk mengerjakan tugas. Entah bagaimana ceritanya, di hari itu juga, empat uang pecahan Rp. 5.000 miliknya yang tergeletak di atas meja, lenyap. Maka kini, dengan perhitungan yang matang, ia pun mulai memahami kalau perkataan ibunya, perlu untuk dipertimbangkan.

“Pergilah ke sekolah, Nak. Jangan sampai kau terlambat,” pesan Lina.

Tanpa membalas, Tasya pun pergi. Melangkah menuju ke sekolah yang berjarak 200 meter dari rumahnya. Jelas, ia tak boleh terlambat, jika tak ingin gelarnya sebagai siswi terbaik dialihkan kepada orang lain. 

Untuk sementara, ia berusaha melupakan kenyataan pahit yang dialaminya, sambil terus meredam prasangka buruk pada Rahmi. Tapi biar pun begitu, kekecewaan tetap saja mangaduk perasaannya. Hari di mana ia seharusnya dielu-elukan sebagai ratu dengan Bando merah jambu, kini tinggal khayalan.

Dan seketika, sesampainya di dalam ruang kelas yang kosong, Tasya terkejut. Bando merah jambu yang persis sama dengan miliknya yang hilang, tergeletak di samping tas milik Rahmi. Maka, dengan segala pertimbangan, ia pun memberanikan diri untuk mengenakan bando itu.

Tak berselang lama, Rahmi muncul di balik pintu.

“Hai,” sapa Rahmi. Wajahnya tampak semringah. “Jarang-jarang, aku mendahului sampai di kelas.”
Tasya cuma nyengir.

“Kau sudah lihat? Aku juga punya bando,”  tutur Rahmi, sambil melihat-lihat ke samping tasnya. “Sebentar.” Setelah mengutak-atik isi tas, Rahmi tak juga melihat keberadaan bandonya. “Kau tak lihat bando punyaku? Tadi, sepetinya aku kutaruh di samping tas deh?”

Tasya menggeleng. “Tidak. Memangnya kau sudah beli bando?”

“Iya. Aku sudah beli yang mirip punyamu. Kau tak lihat?” tanya Rahmi lagi, tanpa kecurigaan sedikit pun pada teman sebangkunya.

Lagi-lagi, Tasya menggeleng. 

Diam-diam, dalam hatinya, Tasya yakin Rahmi tengah berbohong. Pesan ibunya kalau teman baik pun bisa jadi jahat kapan saja, adalah prasangka yang sedang mengendalikan emosinya kini.

Di tengah banyak rahasia antara kedua teman itu, jam pelajaran pun berakhir. Tasya lalu bergegas pulang dengan terlebih dahulu berpesan pada Rahmi agar tak sering-sering berkunjung ke rumahnya beberapa hari ke depan. Ia beralasan harus sering-sering bertandang dan tinggal di rumah neneknya. Rahmi pun mengiyakan saja, tanpa banyak tanya seperti biasanya.

Bersama kekesalan yang mengendap dalam perasaannya, Tasya pun tiba di rumah. Langsung saja ia menyegerakan diri menuju kamar. Bermasud baring-baring, sembari merenungkan masa depan terbaik untuk pertemanannya dengan Rahmi. Dan, setibanya di kamar, ia terkaget lagi. Bando merah jambu kembali menggantung di tempatnya.

Tasya pun segera menemui ibunya. “Ibu dapat dari mana bando punyaku?”

 “Aku dapat di belakang lemari. Pasti terjatuh tanpa kau tahu.” Lina yang tengah menggoreng sambal, menoleh pada sang anak. “Loh, kok kamu punya dua bando? Kamu beli lagi?”

Tasya berusaha cepat. Berusaha mencari alasan yang tepat. “Satunya bukan punyaku, Bu. Ini punya Rahmi. Dia memintaku membeli satu untuknya di toko, pakai uangnya sendiri.”

Otot wajah Lina mengendur. “Syukurlah, kau ternyata masih mendengar pesanku untuk berhemat,” tuturnya, kemudian melepas batuknya dua kali. “Oh, ya, aku baru ingat. Tiga hari yang lalu, aku mengambil uang sakumu yang tergeletak di meja. Hari itu, aku ingin membeli sayur dan ikan, tapi aku tak punya uang pecahan kecil,” jelasnya, sambil merogoh kantong dasternya, lalu menyerahkan selembar uang pecahan Rp. 20.000 kepada sang anak.

Raut wajah Tasya tampak lesu. Seperti tak menyangka jalan ceritanya akan serumit itu. “Kenapa Ibu baru bilang?”

Lina pun tersenyum melihat mimik anaknya. “Ya, maafkan aku kalau begitu, Nak.” 

Tasya tak menggubris lagi. Seketika, ia terilhami kesadaran baru. Kekesalan yang dipendamnya seharian pun, menyerang dirinya sendiri. Kini, ia harus berpikir keras, bagaimana cara mengembalikan bando merah jambu milik Rahmi, juga menghangatkan persahabatan mereka lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar