Pagi
telah berlalu saat Tisa tersadar. Ia merasa telah melalui malam yang panjang
dalam lelap. Mengabaikan kenyataan dunia dalam ruang tak sadar. Menjalani mimpi
dalam selimut dingin yang dibawa hujan rintik. Hingga, bias-bias cerita, masih terasa
menggantung di langit-langit khayalnya. Seberkas cerita yang masih diragukannya
sendiri.
Seketika
ia bangkit. Ia teringat pada satu agenda yang harus ditunaikannya hari ini.
“Ibu, sudah jam berapa?” tanya Tisa yang masih
duduk di tepi kasurnya.
“Oh,
kamu sudah bangun, Nak,” sapa Sunia, ibunya. Ia yang sedang duduk termenung di
depan jendela, lalu menoleh pada jam dinding tua. “Sudah jam 10, Nak.”
Tisa
mengacak-ngacak rambutnya. Gusar. Ia telah melewatkan momen penting pagi tadi. Ia
tak hadir pada prosesi perpisahan dengan Dira. Gadis sebayanya itu adalah sepupunya
sendiri, yang datang dari kota seberang untuk mengisi libur sekolah.
“Kenapa
Ibu tak membangunkanku? Aku kan sudah pesan, kalau aku juga mau ikut mengantar
Dira ke bandara!” ketusnya, setengah membentak.
“Dira
sendiri yang meminta, Nak. Ia tak ingin merepotkanmu. Lagian, dia khawatir
kalian berat hati untuk saling melepas jika harus bertemu untuk terakhir kali,”
jelas Sunia.
Tisa
menggerutu. “Aduh. Padahal aku ingin memberikan sesuatu untuknya, Bu. Dua hari
lalu aku telah membeli baju untuknya.”
Sunia
jadi kasihan. Ia tahu betul bagaimana kedekatan dua gadis kecil itu sebelum
berpisah. “Jangan risaukan itu, Nak. Suatu saat nanti, kalian pasti akan
dipertemukan kembali,” nasihatnya.
Tisa
hanya terdiam, sembari menyusun ulang kepingan cerita yang dirasanya seperti
mimpi semalam. Hingga ia tersadar, ada sesuatu yang menuntut untuk segera dipertanyakan.
Perihal yang menggantung di antara keyakinan dan keraguannya sendiri, di antara
mimpi atau kenyataan.
Tisa
pun melangkah, menuju ke samping ibunya. “Bu, Dira baik-baik saja
kan?”
Sunia
mengalihkan pandangannya dari butiran hujan. Ia menoleh pada anak gadisnya yang
baru duduk di kelas 1 sekolah dasar itu. “Dia baik-baik saja, Nak. Memangnya
kenapa?”
“Semalam,
aku mimpi Dira ditabrak mobil saat kami tengah bermain di depan rumah, Bu,”
tutur Tisa. Ia terlihat khawatir.
Dengan
lembut, Sunia menyunting rambut anaknya yang menjuntai. Membelainya dengan
manja. “Jangan pikirkan itu, Nak. Mimpi itu hanya bunga tidur.”
Tisa
Takzim. Ia kembali mengecap-ngecap alur mimpinya lebih dalam. Keyakinannya
masih menggantung pada kepingan cerita yang berserakan di memorinya. Ia takut,
kisah tragis itu benar-benar menjadi kenyataan.
Dan,
Sunia yang mengerti tentang rangkaian cerita yang dimaksud sang anak, telah bertekad
untuk mengaburkan peristiwa. Ia tahu betul, cerita yang diragukan anaknya,
adalah sebuah kenyataan yang tak terbantahkan.
Sebenarnya,
Tisa benar atas dugaannya bahwa Dira mengalami peristiwa tragis. Semalam, kala
mereka berdua bermain bersama di tepi jalan raya, Dira tertabrak mobil. Tisa
yang menyaksikan peristiwa itu di depan matanya, jatuh pingsan, hingga akhirnya
terjaga pagi ini.
Dira
meninggal seketika.
“Bu,
apakah setiap mimpi ada artinya?” tanya Tisa.
“Tidak
semua, Nak. Tapi jika memang kau ingin mengartikannya, artikanlah dalam makna
yang baik,” jawab Sunia, sembari mengusap lembut lengan mungil anaknya. “Aku
menduga, mimpimu itu pertanda bahwa kalian masih saling merindukan. Kalian
memang dua orang yang bersahabat baik. Dan aku yakin, suatu saat nanti, kalian
akan dipertemukan kembali.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar