Rabu, 14 Desember 2016

Serupa Mimpi

Pagi telah berlalu saat Tisa tersadar. Ia merasa telah melalui malam yang panjang dalam lelap. Mengabaikan kenyataan dunia dalam ruang tak sadar. Menjalani mimpi dalam selimut dingin yang dibawa hujan rintik. Hingga, bias-bias cerita, masih terasa menggantung di langit-langit khayalnya. Seberkas cerita yang masih diragukannya sendiri.
 
Seketika ia bangkit. Ia teringat pada satu agenda yang harus ditunaikannya hari ini. 

 “Ibu, sudah jam berapa?” tanya Tisa yang masih duduk di tepi kasurnya.

“Oh, kamu sudah bangun, Nak,” sapa Sunia, ibunya. Ia yang sedang duduk termenung di depan jendela, lalu menoleh pada jam dinding tua. “Sudah jam 10, Nak.”

Tisa mengacak-ngacak rambutnya. Gusar. Ia telah melewatkan momen penting pagi tadi. Ia tak hadir pada prosesi perpisahan dengan Dira. Gadis sebayanya itu adalah sepupunya sendiri, yang datang dari kota seberang untuk mengisi libur sekolah. 

“Kenapa Ibu tak membangunkanku? Aku kan sudah pesan, kalau aku juga mau ikut mengantar Dira ke bandara!” ketusnya, setengah membentak.

“Dira sendiri yang meminta, Nak. Ia tak ingin merepotkanmu. Lagian, dia khawatir kalian berat hati untuk saling melepas jika harus bertemu untuk terakhir kali,” jelas Sunia.

Tisa menggerutu. “Aduh. Padahal aku ingin memberikan sesuatu untuknya, Bu. Dua hari lalu aku telah membeli baju untuknya.”

Sunia jadi kasihan. Ia tahu betul bagaimana kedekatan dua gadis kecil itu sebelum berpisah. “Jangan risaukan itu, Nak. Suatu saat nanti, kalian pasti akan dipertemukan kembali,” nasihatnya.

Tisa hanya terdiam, sembari menyusun ulang kepingan cerita yang dirasanya seperti mimpi semalam. Hingga ia tersadar, ada sesuatu yang menuntut untuk segera dipertanyakan. Perihal yang menggantung di antara keyakinan dan keraguannya sendiri, di antara mimpi atau kenyataan.

Tisa pun melangkah, menuju ke samping ibunya. “Bu, Dira baik-baik saja kan?”

Sunia mengalihkan pandangannya dari butiran hujan. Ia menoleh pada anak gadisnya yang baru duduk di kelas 1 sekolah dasar itu. “Dia baik-baik saja, Nak. Memangnya kenapa?”

“Semalam, aku mimpi Dira ditabrak mobil saat kami tengah bermain di depan rumah, Bu,” tutur Tisa. Ia terlihat khawatir.

Dengan lembut, Sunia menyunting rambut anaknya yang menjuntai. Membelainya dengan manja. “Jangan pikirkan itu, Nak. Mimpi itu hanya bunga tidur.”
 
Tisa Takzim. Ia kembali mengecap-ngecap alur mimpinya lebih dalam. Keyakinannya masih menggantung pada kepingan cerita yang berserakan di memorinya. Ia takut, kisah tragis itu benar-benar menjadi kenyataan.

Dan, Sunia yang mengerti tentang rangkaian cerita yang dimaksud sang anak, telah bertekad untuk mengaburkan peristiwa. Ia tahu betul, cerita yang diragukan anaknya, adalah sebuah kenyataan yang tak terbantahkan.

Sebenarnya, Tisa benar atas dugaannya bahwa Dira mengalami peristiwa tragis. Semalam, kala mereka berdua bermain bersama di tepi jalan raya, Dira tertabrak mobil. Tisa yang menyaksikan peristiwa itu di depan matanya, jatuh pingsan, hingga akhirnya terjaga pagi ini.

Dira meninggal seketika.

“Bu, apakah setiap mimpi ada artinya?” tanya Tisa.

“Tidak semua, Nak. Tapi jika memang kau ingin mengartikannya, artikanlah dalam makna yang baik,” jawab Sunia, sembari mengusap lembut lengan mungil anaknya. “Aku menduga, mimpimu itu pertanda bahwa kalian masih saling merindukan. Kalian memang dua orang yang bersahabat baik. Dan aku yakin, suatu saat nanti, kalian akan dipertemukan kembali.” 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar