Rabu, 14 Desember 2016

Sekotak Kado

Hari ini, Disti menjadi segan pada sahabatnya sendiri, Anggi. Meski apa yang telah ia lakukan secara diam-diam tidaklah untuk menyakiti siapa pun, perasaan was-was tetap menggerayanginya. Ia khawatir salah menafsir dan mengambil langkah untuk menyampaikan isi hati teman sekampusnya itu pada seorang lelaki, Ringgo.

“Dis, maafkan aku,” tutur Anggi, saat mereka tengah mengobrol di taman kampus.

Jelas saja Disti merasa aneh, sebab dirinyalah yang diam-diam membuat masalah. “Kamu punya salah apa padaku sampai harus meminta maaf?”

“Tak ada apa-apa. Aku hanya takut kalau kau kecewa punya sahabat yang tak pengertian sepertiku,” balas Anggi.

Disti semakin tak mengerti. “Maksudmu?”

“Ya, sebenarnya, kemarin, di hari kelahiranmu, aku hendak memberikan sebuah kado. Tapi kadonya hilang entah kemana,” aku Anggi. Tampak seperti patah hati. “Tiga hari lalu, aku telah mengemasnya dalam kotak kecil. Dan masih kuingat jelas, aku menempatkannya di dalam tas ranselku. Tapi ah…. Entah siapa juga yang tega mencurinya.”  

“Kau tak mencurigaiku kan?” tanya Disti. Ia berusaha memastikan kalau sahabatnya itu benar-benar tak tahu bagaimana sekotak kadonya bisa hilang.

Anggi mengangguk. “Aku tahu kau tak doyan mencuri, kecuali berbohong.”

Mereka pun tergelak tawa.

Dalam benaknya, Disti mengulas kembali tingkah lakunya di hari kemarin. Kini, ia memastikan kalau kado yang telah ia serahkan kepada Ringgo secara sembunyi-sembunyi, adalah kado yang dimaksud sahabatnya. Jelas, ia tak menduga. Kenyataan itu membuatnya terharu.

Disti tersadar dari lamunannya. “Kau tak usah pikirkan itu lagi. Persahabatan kita lebih berharga daripada apa pun, apalagi dibandingkan dengan sekotak kado. Lagian menurutku, tak mesti ada kado saat ulang tahun. Doamu untuk kebaikan kita, jauh lebih berharga.”

Anggi mengangguk-angguk dengan wajah mengeyel. “Tapi jika kau tahu isi kadoku, mungkin kau tak akan bertutur sebijak itu. Kau bisa menebaknya?”

Disti menggeleng. Jelas saja ia tak tahu. Ia sedikit pun tak mengutak-atik kado yang dimaksud. Kemarin, ia langsung saja menyelundupkan kado itu di medan Ringgo, seorang lelaki yang diduganya menjadi dambaan Anggi. Ia menempatkannya di atas bangku taman kampus, tempat Ringgo sering menghabiskan pagi dan sorenya seorang diri, bersama buku.

Tindakan Disti beralasan. Sedari awal, ia menduga kalau kado itu akan diberikan Anggi kepada Ringgo. Tapi karena perasaan gereget melihat sikap pemalu Anggi, ia pun memberanikan diri mendahului segala rencana. Ia tak ingin lagi seperti dahulu, saat rasa malu menjadi penganjal utama sahabatnya itu untuk menambatkan perasaan pada seorang lelaki. 

Disti memang wanita pemberani, namun tak percaya diri. Karena itu, ia sering berkhayal, jika saja dirinya adalah Anggi, sedari dulu ia akan mengungkapkan perasaannya pada Ringgo. Tapi sayang, ada satu hal yang membuatnya selalu mengalah untuk mengungkapkan perasaan pada lelaki: ia selalu merasa tak lebih cantik dan cerdas di antara wanita yang lain, termasuk terhadap Anggi.

“Isinya buku,” tutur Anggi, setelah menunggu jawaban Disti begitu lama.

“Untuk apa kau memberiku buku. Kau kira aku doyan membaca?” sergah Disti.

“Iya. Aku tahu kau lebih suka menonton sinetron dari pada membaca. Makanya imajinasimu tak berkembang. Pikiranmu jadi kolot,” ledek Anggi. “Tapi kado itu kuberikan untukmu, untuk kau berikan pada Ringgo. Aku tahu genre buku kesukaannya.”

“Apa?” Disti terkaget.
 
Anggi malah tertawa melihat ekspresi wajah sahabatnya. “Iya, untuk kau berikan pada si Ringgo. Hari ini kan hari ulang tahunnya. Dia sepertinya menyukaimu. Dan aku tahu kalau kau juga menyukainya. Kan?”

Disti tak habis pikir. Menjadi bingung. “Tapi….”

“Lah, kok kau terlihat sangat khawatir. Toh, kado itu kan hilang entah ke mana. Atau jangan-jangan?” singgung Anggi lagi, lalu meneguk sebotol teh instannya.

“Kau tak menulis namaku kan?” tanya Disti, terlihat gusar dan penasaran.

“Tidak. Aku tak bisa meniru tulisan tanganmu. Lagian, aku ingin kau sendiri yang menuliskan isi hatimu untuknya,” jawab Anggi.

Napas panjang pun, terembus dari mulut Disti. Di tengah kekalutannya, ia masih bisa tenang, sebab Ringgo pasti tak akan tahu tentang sosok pemberi dan pemilik kado.

Hari menjelang malam. Mereka pun berpisah. Anggi pulang terlebih dahulu. Rasa penasaran Disti pun memuncak. Ia segera melangkah menuju sebuah bangku taman, tempatnya meletakkan sekotak kado pagi tadi. Di salah satu sisinya, ia pun telah menuliskan sebuah klu: Untuk Ringgo, selamat ulang tahun. Dari seorang gadis pengagummu, “RA”.

Sesampainya pada bangku yang dimaksud, Disti pun mendapati secarik kertas. Di sana tertulis: Terima kasih, siapa pun kau. Aku harap suatu saat kita berkenalan.

Dan, Disti pun baru menyadari kalau inisial namanya serupa dengan inisial nama Anggi: Radisti Aurum dan Radiah Anggita. 

Kini, sedikit pertanda yang berawal dari kesalahpahaman, telah membuka kemungkinan-kemungkinan yang harus dijajaki.

Sungguh, sekotak kado itu telah menjadi bola liar bagi Disti. Telah menggantungkan arah hatinya di antara kerelaan untuk berkorban demi seorang sahabatnya, atau memperjuangkan benih perasaannya yang mulai bermekaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar