Sabtu, 31 Desember 2016

Salah Perhitungan

Karyo senang bukan kepalang. Ia tak henti berkhayal tentang wanita pujaannya, Husni. Itu karena hari ini, setelah gajian, ia akan menunaikan janjinya untuk membawa gadis cantik itu berjalan-jalan, menelusuri seluruh penjuru kota. Hingga sepulang kerja, ia mengebut sepeda motornya. Tak tahan untuk segera berjumpa dengan sang idaman. 
 
Alur perjalanan romantisnya kali ini, telah dirancang Karyo jauh-jauh hari. Di awal, akan ada prosesi santap makan di sebuah restoran elit. Di situlah ia hendak mengungkapkan maksudnya meminang Husni. Ia yakin perasaannya tak tertolak. Setelah itu, ia akan mengajak Husni membeli perhiasan mewah. Sepasang cincin yang akan dijadikan simbol ikatan cinta suci mereka, kelak.

Sungguh, perasaan Karyo berbunga-bunga. Ia bak seorang pengeran yang hendak menjemput seorang putri yang cantik jelita. Ia benar-benar terlena dengan angan-angannya. Sebagaimana orang yang jatuh cinta, ia merasa dunia hanya miliknya bersama sang kekasih. Segenap suara pun jadi serasa bernada, segala bebauan jadi harum, dan semua tampakan bak lukisan surga.

Demi khayalannya, Karyo tak mau ada yang mengganggu rencananya hari ini. Selain untuk Husni, semua akan ia abaikan.

Hingga akhirnya, kala masih di tengah perjalanan, seorang Ibu tua, mencoba menahan laju motornya. Sambil menenteng sebuah keranjang, Ibu itu terlihat melambaikan-lambaikan tangan. Berseru, sambil tersenyum. Seperti memberi pesan kalau ia ingin diberi tumpangan di tengah terik matahari yang mengendap di aspal. 

Namun, tekad Karyo kuat. Sekali lagi, tak ada yang boleh merecoki hari spesialnya. Ia tak ingin menghiraukan siapa pun, apalagi orang yang tak dikenalnya. Apalagi, ada kemungkinan si Ibu tua bertempat tinggal di tempat yang jauh. Jelas, itu bisa membuat ia ingkar janji pada Husni, untuk datang  menjemputnya tepat waktu. Maka, tanpa rasa bersalah, ia pun melewatkan si Ibu begitu saja.

Seiring sikap pengabaiannya, seberkas wajah yang mirip si Ibu, terlintas di benaknya seketika. Tapi tentang kapan dan di mana wajah itu dilihatnya, ia tak tahu pasti. Seperti de javu. Dan, sekeras apa pun ia coba mengingat-ingat, tetap tak berhasil. Maka, tanpa mau pusing lebih lama, ia pun mengebut kembali laju sepeda motornya.

Tak berselang lama, Karyo akhirnya sampai di rumah Husni. Seusai memastikan penampilannya baik-baik saja, ia pun melangkah penuh wibawa, menuju teras rumah. Setelah berdeham dua kali terlebih dahulu, ia lalu mengetuk daun pintu. Berharap segera disambut dengan senyuman termanis. 
Tanpa menunggu lama, gadis pujaannya, muncul dengan dandanan yang belum kelar. “Ayo masuk.”

Karyo pun melangkah ke ruang tamu.

“Kamu tunggu di luar dulu ya,” pesan Husni. “Maaf ya, aku belum siap. Bisa tunggu sebentar lagi kan?” tuturnya, sambil terus meratakan bedaknya yang belepotan.

Karyo mengangguk tegas. “Iya. Seberapa lama pun, aku akan menunggumu kok,” balasnya.

Husni pun kembali ke ruang belakang untuk menyelesaikan dandanannya.

Kala ditinggal sendiri, mata Karyo pun terarah ke seluruh penjuru ruangan. Hingga sebuah foto berbingkai yang menggantung di dinding, menyita perhatiannya. Dan setelah kembali menerawang ingatannya dalam-dalam, ia pun tahu, siapa sosok Ibu yang mencoba menahannya di tengah jalan tadi.

Husni datang kembali. Tampilannya terlihat sangat menawan. “Ayo, berangkat! Aku sudah siap!” tegasnya, penuh semangat.

Karyo masih termenung. Tak menghiraukan seruan gadis pujaannya.

Husni jadi heran. “Kamu kenapa?”

“Ibumu di mana?” Karyo malah balik bertanya.

“Dia ke pasar. Mungkin sebentar lagi datang,” balas Husni dengan raut wajah yang menggemaskan.

“Apa ibumu mengenal betul wajahku?” tanya Karyo lagi.

Husni tampak bingung. “Iya. Aku juga sering memperlihatkan fotomu padanya. Memangnya kenapa?”

Karyo menggeleng. “Tak mengapa,” balasnya, lalu terdiam beberapa detik. Seperti berdialog dengan dirinya sendiri. “Oke, ayo berangkat.”

Husni tersenyum manis. “Kau akan membawaku ke mana?”

Wajah Karyo datar saja. Tak sesemringah di awal kedatangannya. “Ya, seperti janjiku, kita akan melahap makanan terenak di restoran,” jawabnya, sembari berusaha menyembunyikan kekalutannya.

Rencana Karyo berubah. Tak ada lagi tentang cincin, kecuali setelah ia mengeles dan sungkem pada sang calon mertua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar