Rabu, 07 Desember 2016

Ruang Senyap

Kemarin, aku datang dari pulau seberang. Kembali berpijak di kota kenanganku. Di sinilah dahulu, kusimpan sebuah harapan. Kutinggalkan bersama doa-doa yang terus kuhaturkan setiap waktu. Sebuah harapan agar kau tetap sendiri selama aku jauh. Sebab aku telah berjanji pada diriku sendiri, untuk pulang meminangmu.
 
Nyatanya, aku harus bersabar. Yang terjadi, sebaliknya dari harapanku. Memilukan. 

Sekarang, aku hanya meratap. Berdiam diri dalam kesunyian. Telentang sambil memandangi langit-langit kamar. Berkhayal tentang kita, andai waktu bisa diputar kembali. Menelusuri masa lalu, untuk sejenak mengabaikan kenyataan yang ada. Hingga buku, novel, album foto, dan gitar yang merekam tentangmu, memancarkan sebuah dilema. 

Dan lagi, aku melakukan sebuah rutinitas terkutuk. Mencari jawaban atas rasa penasaranku tentang dirimu di media sosial. Melakoni komunikasi satu arah secara diam-diam. Sekadar untuk mengetahui bahwa kau baik-baik saja, tanpa ada maksudku mengusik. Mengulik apa pun tentangmu, meski kusadari kalau itu tak sepatutnya lagi kulakukan. 

Rindu dan penyesalan yang tak tertahankan, mengaduk-aduk perasaanku. Seketika, aku terdorong mengulas kembali percakapan panjang kita di media sosial. Mengecap-ngecap kenangan  kala kita masih begitu dekat. Menelaah maksud hatimu di balik simbol dan kata-kata yang kau kirimkan. Aku selalu suka menebak-nebak tentang perasaanmu padaku waktu itu.

Akhirnya, penghayatanku menjurus pada satu fase percakapan kita di Facebook:

“Kau jadi pindah ke pulau seberang?” tanyamu, setelah jari kita lelah berbasa-basi, mengulas kenangan kita di masa kuliah.

Kuduga kau mulai cemas. “Iya. Pamanku menunggu. Ia berharap aku membantunya mengembangkan perusahaannya. Memangnya kenapa?” tanyaku, sambil berharap kau mengirimkan kata-kata permohonan agar aku tak pergi.

Sekitar lima menit kau lewatkan untuk mengonsepkan balasanmu. Aku pun menduga hatimu tengah dilanda kerusuhan. “Oh, semoga kau sukses di sana.”

Atas balasanmu, kepercayaan diriku sedikit menciut. Tapi kuduga, kau hanya berusaha menutupi kegundahanmu. “Kalau aku jauh, kau tak merindukanku setengah mati, kan?” singgungku, berharap kau membalas dengan candaan yang selalu kutafsirkan sebagai ucapan hatimu yang sesungguhnya.

“Ya, tidaklah. Aku yakin suatu saat kau akan kembali.” Itulah jawaban absurdmu. Kutafsirkan kalau kau rela melepasku pergi, tapi kau masih berharap atas kedatanganku. Entah bagaimana menyikapinya.

“Jika ada kepentingan, aku pasti pulang. Kau akan menungguku, kan?” tanyaku lagi. Butuh diyakinkan kalau aku tak salah kaprah tentang perasaanmu.

Kau hanya membalas dengan ikon aneh. Sebuah simbol senyuman. Pesan multitafsir itu, jelas membuat khalayanku semakin menjadi-jadi. Bimbang, di antara yakin atau ragu atas perasaanmu kepadaku. Aku gamang, sekaligus berharap. 

Setelah fase percakapan itu berakhir, aku berjanji pada diriku sendiri untuk berhenti berbagi pesan denganmu, kecuali kau yang memulai. Aku ingin menguji ketangguhanmu dalam memendam perasaan. Juga menguji sekuat apa kau meredam rindu yang menggugat di antara jarak dan waktu yang memisahkan kita.

Setelah puas bernostalgia, aku pun bangkit dari pembaringan. Kembali menguatkan hati untuk memangku gitar kenanganku. Memetik senarnya untuk mengiringi suara sederhanaku yang melantunkan sebuah lagu patah hati. Ya, aku memang lebih handal memadu-padankan melodi gitar daripada bernyanyi. 

Dan kuingat lagi kebersamaan kita di masa lampau. Kebersamaan aku, kau, dan dia:

“Nyanyikan sebuah lagu untukku dong?” pintamu, saat kita bertiga tengah menghabiskan waktu di bawah rindangnya pepohonan di taman kampus.

Jelas saja aku merasa tersanjung. Sungguh, permintaan semacam itu, selalu diimpikan semua lelaki. “Baiklah. Aku akan menyanyikan sebuah lagu favorit kita berdua,” balasku, kemudian mulai bersenandung.

Kau seketika meredam suara gitarku dengan tanganmu. Raut kesal, tampak di wajahmu. “Aduh. Biar dia saja yang menyanyi. Kau cocoknya main gitar saja.”

Aku jelas kecewa. Tapi demi melihatmu senang, aku tak mempermasalahkannya. 

Dia pun mulai bernyanyi dengan iringan nada gitar dariku. Ya, dia, seorang lelaki, sahabat baikku, yang dahulu kuperkenalkan kepadamu untuk menjadi teman barumu. 

Kita bertiga pun larut dalam kehebohan.

Mengingat-ingat peristiwa itu, membuatku tak berselera lagi melanjutkan lantunan lagu untukmu di ruang sepiku. Ada rasa sesal dan kecewa yang mengalun dari gitar merah itu, tentang kita.

Nada telepon genggamku berdenting. Ada pesan masuk:

“Besok kamu datang ke acara kami, kan?” tanya dia, seorang lelaki yang kumaksud. Lelaki di antara kita.

Aku mendiamkan pertanyaan itu. Aku tak tahu bagaimana harus bersikap. Apalagi, itu bukan acara biasa. Itu adalah prosesi pengikatan cinta. Tapi bukan itu yang membuatku dirundung pilu setengah mati, tapi karena sosok yang ada dalam kata ganti “kami” adalah kau dan dia.

Dan setelah itu, aku segera menghapus semua percakapan kita di akun media sosial. Meski kutahu, aku tak akan pernah bisa melupakan semua kesan darimu, sampai kapan pun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar