Selasa, 27 Desember 2016

Lebih dari Teman

Tami adalah seorang wanita penyendiri. Suka melakukan segala hal seorang diri. Terasa lebih bebas menurutnya. Ia pun enggan bergumul dengan kawanan orang-orang. Tak seperti siswa-siswi pada umumnya, ia bukanlah bagian dari geng atau komunitas apa pun. Karena itu, ia dicap aneh. 

Sampai suatu hari, Rion yang terkenal sebagai idola kaum hawa di sekolah, mulai mendekatinya. Kenyataan itu membuat siswi lain iri dan melontarkan singgungan. Apalagi, Tami yang tomboi, dipandang tak serasi dengan Rion. Tak pelak, Tami pun jadi risih dan mencoba menghindar. Bukan karena malu, tapi ia memang belum berpikir untuk memulai hubungan dengan seorang lelaki.

Akhirnya, usaha Rion yang tak henti, membuahkan hasil. Ia jadi akrab dengan Tami. Di lingkungan sekolah, ia pun terkenal sebagai teman dekat wanita judes itu. Makan di kantin, membaca di perpustakaan, hingga pulang-pergi ke sekolah, sering mereka lakukan bersama. Hubungan seperti itulah yang sedari awal diinginkan Rion.

Dan, terjadilah hal yang ditakutkan Rion. Sikap Tami semakin berubah. Aura keperempuanannya semakin tampak. Seperti perempuan pada umumnya, ia mulai mengikuti tren mode masa kini. Ia mulai mewarnai wajahnya, hingga membalut tubuhnya dengan sejumlah aksesoris. Rion jelas khawatir kalau semua perubahan itu, terjadi karenanya.

Sampai suatu hari, ketakutan itu semakin menjadi-jadi. Tami tiba-tiba kesal. Seakan Rion melakukan sebuah kesalahan besar. 

“Jangan dekati aku lagi!” tegas Tami, saat Rion menawarkan tumpangan di motornya untuk pulang sekolah.

“Kamu kenapa? Aku punya salah apa padamu?” tanya Rion. Ia jelas tak mengerti sebab-musababnya.

“Pokonya, jangan dekat denganku lagi!” bentak Tami, lalu pergi tanpa memberikan penjelasan yang berarti. Menghilang di balik angkutan kota.

Jelas saja, sikap Tami membuat Rion tak habis pikir. Keadaan itu membuat Rion was-was, kalau-kalau misinya untuk lebih dekat dengan lingkungan kehidupan Tami, gagal total. Sebuah misi penting yang harus ditunaikannya.

Di ruang hatinya yang lain, ada juga rasa takut yang terus menahan. Ia takut kalau Tami menafsirkan maksud kedekatannya secara berlebihan. Takut jika ia melukai perasaan Tami, padahal tak sedikit pun maksudnya bermain hati.

Tiba-tiba telepon genggam Rion berdering. Ada panggilan dari ayahnya, Rudi.

“Hei, kau melakukan apa pada Tami? Aku dengan kabar dari ibunya kalau dia ngambek,” tutur Rudi di ujung telepon.

“Aku juga tak tahu Ayah. Tiba-tiba saja, dia marah padaku tanpa sebab,” jawab Rion, segan.

“Kau sudah berikan kado padanya?” tanya Rudi lagi.

“Maksud Ayah,” sergah Rion.

Rudi berdecak-decak sejenak. “Dua hari lalu kan aku sudah memperingatkanmu, kalau hari ini adalah hari ulang tahunnya. Kau lupa?”

Rion tersadar. “Maaf Ayah. Aku benar-benar lupa. Aku akan segera mencarikan kado untuknya,” akunya, terkesan memelas. “Ayah ada saran tidak, kado apa yang tepat?”

“Kau pikir saja sendiri. Asalkan kadonya melambangkan persaudaraan, dan cocok untuk seorang perempuan,” saran Rudi. “Aku mohon, perlakukanlah dia dengan baik. Kau kan tahu sendiri, kalau tak ada halangan, dua minggu lagi, kalian akan resmi menjadi saudara tiri.”

Rion terdiam sejenak. “Baik, Ayah,” pungkasnya.

Tiba-tiba, Rion merasa terbebani untuk memberikan sebuah kado ulang tahun pada Tami. Lagi-lagi, ada kekhawatiran di hatinya, jika Tami menafsirkan maksudnya secara berbeda. Ia khawatir Tami menilai dirinya ada maksud untuk dekat lebih dari sekadar teman, kecuali sebagai saudara.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar