Selasa, 27 Desember 2016

Kacamata Baca

Sejak senja berlalu, kekhawatiran mendalam, melanda perasaan Hartono dan Ainun. Sepasang suami istri itu, tak henti-hentinya berdoa agar anaknya, Alian, pulang ke rumah dengan selamat. Hanya itu yang bisa mereka lakukan, sebab segala upaya telah ditempuh. Warga desa telah menelusuri aliran sungai dan hamparan bebukitan. Tapi hasilnya tetap nihil. Anak kelas 2 sekolah dasar itu, hilang tanpa jejak.

Keadaan sungguh mencemaskan. Alian memang sering keluyuran untuk bermain di lapangan desa, bermandi ria di sungai, atau menjelajah perkebunan di bukit untuk mencari jambu biji yang tumbuh liar, tapi semua itu dilakukannya sepulang sekolah, bersama teman-temannya yang lain. Sebelum pergi bermain, ia bahkan senantiasa berpamitan, lalu pulang sebelum gelap. 

Kekalutan atas kehilangan sang anak, membuat Ainun dan Hartono terlibat dalam perdebatan sengit. Mereka saling menyalahkan untuk sebab yang belum pasti. Hartono menduga Alian pergi karena istrinya terlalu memanjakan sang anak, sehingga menjadi anak yang tak hormat dan patuh pada pesan orang tua. Sebuah metode pendidikan yang jelas tak disukainya. 

Di sisi lain, Ainun menilai Alian minggat karena didikan sang suami yang terlalu keras. Ia tak henti-hentinya menyinggung sejumlah hardikan suaminya kepada Alian, hanya karena anak mereka itu, melakukan kenakalan yang sebenarnya masih wajar untuk ukuran anak-anak. Ainun yakin Alian pergi untuk menghindari hukuman atas kesalahannya yang entah apa. 

Waktu terus berjalan. Lewat jam 8 malam, terdengarlah ketukan di daun pintu. Suara serak menyahutkan salam, diiringi tangis seorang anak lelaki. Suara tangis itu, jelas tak asing di telinga Ainun. Ia pun segera menyibak pintu dengan setengah berlari. Dan benar saja, di samping Karto, lelaki tua yang sehari-hari bekerja sebagai petani singkong, Alian berdiri-tertunduk, sambil menyeka air matanya. 

“Aku menemukannya, tertidur di balai kebunku, Bu. Ia sepertinya kelelahan,” jelas Karto.

Ainun berlutut di depan sang anak, kemudian memeluknya. Seketika, ia turut meneteskan air mata. “Terima kasih banyak, Pak.”

“Sama-sama, Bu,” balas Lelaki tua itu, lalu pergi.

“Kau baik-baik saja kan, Nak? Kau benar-benar membuat kami khawatir,” telisik Ainun seketika.

Alian berat untuk membalas. Rasa bersalah membuat tangisnya semakin menjadi-jadi. “Maafkan aku, Bu,” balasnya terbata-bata. “Aku ketiduran di rumah kebun Pak Karto.”

Hartono datang menyusul. “Dari mana saja kamu? Kenapa baru pulang?” timpal Hartono. Nada suaranya meninggi, meski rasa iba membuatnya tak segarang sebelumnya.

Ainun segera mencampak betis sang suami. Memberikan isyarat untuk bersikap lebih lembut. “Ibu selalu memaafkanmu, Nak. Tapi Ibu minta, kalau kau ada masalah apa-apa, cerita saja pada Ibu,” pinta Ainun. 

Hartono menahan kata-katanya, sambil berupaya melekat-lekatkan dua sisi gagang kecamata bacanya yang patah tepat di tengah, antara lensa kanan dan kiri. Lem yang digunakannya pagi tadi, ternyata tak mempan. Terpaksa ia mengamati kondisi anaknya, hanya dengan menggunakan satu sisi lensa kacamatanya.

“Sekarang kau berkemas-kemas, makan, lalu beristirahat,” tuntun Ainun.

“Ya, istirahatlah cepat,” sergah Hartono. “Besok, kau harus membantuku memperbaiki kacamata yang patah ini. Pagi-pagi, kau harus bangun dan membeli lem di warung sebelah. Beli lem yang daya rekatnya bagus.”

Ainun melotot. Ia tak terima dengan sikap sang suami. “Berkemas-kemaslah cepat, Nak. Besok, biar aku yang memperbaiki kacamata Ayahmu,” sanggahnya, sembari mengusap-usap rambut sang anak. “Lagian, bukan kau juga yang merusak kacamata itu. Itu salah Ayahmu sendiri. Lah, masa kacamata ditaruh di bawah telapak kaki. Memang mata kaki bisa rabun?” ledeknya.

Hartono sedikit kecewa. Ia merasa hukuman ringan itu harusnya disetujui sang istri.

“Tapi…” Alian seperti ingin memperjelas sesuatu.

“Tak ada tapi-tapian lagi. Ayo, bergegas,” tutur Ainun, sambil menuntun sang anak untuk segera berkemas.

Seketika, Alian bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Ia heran, bagaimana bisa Ayah-Ibunya tak curiga. Padahal, pagi tadi, ia tak sengaja menjatuhkan kacamata baca itu ke lantai, hingga terpisah menjadi dua bagian.

Beberapa detik berlalu, ia berhasil membuat kesimpulan berdasarkan perkataan Ayah-Ibunya. Hatinya pun tenang, sebab sungguh, tak ada kesalahan yang ia lakukan atas patahnya kacamata baca itu. Ia baru tahu. 

Dan kini, alasannya untuk minggat dari rumah, akan menjadi rahasianya sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar