Selasa, 27 Desember 2016

Bersama Benci

Awalnya, kita hanya teman dekat. Saling mengenal tanpa sekat. Membaur. Sama-sama tahu karakteristik, tingkah laku, hingga kebiasaan unik masing-masing. Rahasiamu menjadi rahasiaku juga. Dan kutahu, dalam banyak hal, kita berbeda. Tapi tak ada alasan yang pantas untuk kita berpisah. Kita saling menerima.
 
Sampai akhirnya, kita sampai di satu percakapan. Kala itu, kita tengah berleha-leha di tepi sungai, di depan rumahku, sembari melempar-lemparkan batu di permukaan air. Melepas penat seusai menanam sebuah pohon sebagai lambang persahabatan kita. Setelah puas bergurau, kau pun mengutarakan  rencanamu yang begitu berat kuterima.

“Hadi, besok aku akan pergi ke kota seberang. Aku diterima di kampus favoritku. Hebat kan? Aku akan jadi seorang dokter!” tuturmu, terlihat sangat senang. 

“Kamu kok baru cerita?” sergahku. 

“Memangnya kenapa? Aku beri tahu kau kemarin-kemarin atau hari ini, ya sama saja. Aku tetap akan pergi. Itu adalah jalan terbaik demi cita-citaku di masa depan,” elakmu, santai.

Aku begitu kecewa melihat sikapmu. “Kita telah bersama begitu lama. Kau adalah teman baikku. Lalu, semudah itu kau pergi secara tiba-tiba?” cerocosku. “Aku benar-benar tak paham pandanganmu tentang kita selama ini.”

Kau menoleh padaku. “Kita sudah dewasa, Had. Sudah waktunya kita memilih jalan masing-masing. Ada cita-cita yang harus kita wujudkan. Dan kupikir, kau sebaiknya fokus mengejar cita-citamu sebagai seorang pengacara.”

Seketika, aku merasa gundah mendengar penuturanmu. Takut jika di waktu yang panjang, aku tak bisa bahagia tanpamu. Sampai akhirnya, rasa cemas memaksaku berkata jujur tentang rasa yang kupendam. Diam-diam, hatiku menginginkan kita terikat lebih dari teman biasa, agar beralasan jika aku merindukanmu selama kau jauh. 

Kutatap matamu dalam-dalam. Kukuatkan hatiku. “Rina, salahkah jika aku merasa berat melepasmu pergi? Selama ini kau memang menganggapku sebagai teman biasa, tapi aku? Aku mencintaimu Rina,” tuturku. Mencoba mengiba. “Jadilah pacarku?”

Raut wajahmu datar. Matamu nanar. Kau seperti tak suka mendengar kejujuran hatiku. “Kau tak seharusnya mengucapkan itu! Kau kira semudah itu untuk mengatakan cinta kepada seseorang wanita? Lihat dirimu! Kau ini siapa? Langit dan bumi tak akan merestui kita berdua.” Air mata tergelincir di pipimu. 

Aku tak berkutik.

“Ternyata aku salah menilaimu. Kukira kau seorang teman terbaik, tapi ternyata kau tega menghancurkan semuanya,” pungkasmu, kemudian melangkah pergi.

Sore itu, aku benar-benar kalut. Aku tak menyangka kau akan menolakku mentah-mentah. Mencampakkan perasaan yang telah lama kupendam. Aku pun mengutuk diriku sendiri, yang begitu lancang menawarkan cinta yang hina kepadamu yang sempurna. 

Kuperhatikan kembali dirimu dan diriku. Dan aku sadar, dalam banyak hal, kita memang berbeda. Kau yang cantik jelita, terlahir dari keluarga terhormat dan kaya raya. Sedangkan aku hanya seorang lelaki biasa, yang berasal dari keluarga yang sederhana. Sungguh, aku menyesal telah memaksakan keadaan. 

Akhirnya, aku membencimu karena aku membenci kenyataan diriku. Aku tak terima keadaanku diriku sekarang, menjadi alasanmu menolak cintaku. Menutup matamu tentang gambaran masa depanku yang masih kuperjuangkan. Atas sikapmu, kutekadkan untuk membuktikan kalau aku bisa menjadi orang sukses. 

Setelah semua kenyataan tragis yang kualami tentangmu, semangatku menggebu untuk mewujudkan sebuah misi. Bersama benci, aku menggenggam cita-cita untuk membuatmu menyesal. Aku harap, jika suatu waktu aku menjadi pengacara yang handal, kau akan menyesali keputusanmu yang pernah menolak cintaku.

Dan seiring berjalannya waktu, apa yang aku harapkan, kini menjadi kenyataan. Aku telah menjadi seorang pengacara, meski kau tak pernah menyesali keputusanmu menolak cintaku, dan aku pun tak benar-benar membencimu. 

Semua terjadi begitu cepat. Dendam menuntunku menemukanmu kembali. Tanpa bisa kutahan, rasa rindu mengalahkan benciku. Benih cinta di hatiku, bermekaran lagi. Dan akhirnya, kita ditakdirkan dalam ikatan cinta yang suci.

“Apa kau benar-benar tak menginginkanku, hingga kau menolak perasaanku waktu itu?” selidikku, kala kita duduk di tepi sungai, di bawah rindangnya pohon yang kita tanam di waktu lampau.

Kau berpaling menatapku. “Tidak. Sebenarnya, aku punya perasaan yang sama padamu. Jujur, aku tak tega melakukannya. Tapi semua itu demi kita.”

“Maksudmu?” telisikku lagi.

“Ya. Jika waktu itu kita memadu kasih yang belum saatnya, aku mungkin tak akan menjadi seorang dokter dan kau tak menjadi seorang pengacara. Dan, jika kau tak sesukses sekarang, aku yakin orang tuaku pasti menolak lamaranmu,” ucapmu, sembari menatapku tajam.

Aku tak ingin menyela. Menyimak.

Kau mengalihkan pandanganmu ke aliraan air yang jernih. “Aku ingin cinta kita nyata. Aku tak mau tipuan cinta melenakan kita. Memburamkan masa depan kita. Bagiku, cinta adalah kekuatan yang harus menuntun kita menggapai cita-cita, bukan malah membuat kita larut dalam khayalan tak pasti. Sungguh, aku tak ingin bercinta dengan cara yang menjerumuskan kita ke hal-hal yang tak baik,” sambungmu.

Perasaanku tersentuh mendengar penjelasanmu. Aku terharu. “Bagaimana jika waktu itu, aku benar-benar menutup jalan untuk kita bersama, dan aku malah hidup dengan sosok wanita yang lain?”

“Jika pun kita tak bersama, aku tak mengapa. Bagiku, cinta adalah pengorbanan. Asalkan kau hidup bahagia dengan orang lain, aku ikut bahagia.” Kau membalas dengan sikap yang tenang.

Kita lalu terdiam untuk beberapa detik.

“Apa kau menduga kisah kita akan berujung seperti ini?” tanyaku lagi.

“Ya.” Kau berucap tegas, lalu tersenyum singkat. Terlihat sangat manis. “Aku selalu meyakini kau akan mencari dan menghampiriku, demi melampiaskan rasa bencimu. Kau tahu, benci adalah satu ikatan yang abadi, yang hanya bisa dituntaskan dengan maaf dan cinta. Dan kau telah melakukannya.”

Aku butuh beberapa detik untuk memahami maksudmu. “Apa? Kau benar-benar jahat!” ketusku, sembari mencubit pipimu yang tembam.

Kau hanya tertawa. Tampak  semakin menggemaskan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar