Sabtu, 31 Desember 2016

Pohon Mangga


Zaky dan Akra adalah dua orang saudara kandung. Umur mereka hanya terpaut satu tahun. Zaky berumur 7 tahun, sedangkan Azka hampir 6 tahun. Maka, sebagai seorang kakak, Zaky sering bertindak otoriter terhadap Azka. Memaksakan kehendak. Namun Azka bukanlah adik yang manut saja. Sesekali ia melawan.

Di usia anak-anak, jelas, emosi mereka masih labil. Persoalan kecil selalu berpotensi memicu pertengkaran. Rebutan makanan, mainan, batas tempat tidur, adalah sebagian dari sebab pertikaian. Mau tak mau, ayah-ibu mereka harus turun tangan sebagai juru damai jika terjadi konflik serius. 

Kegemaran bersilang pendapat di antara mereka, akhirnya menimbulkan sikap saling curiga. Mudah saling menuduh untuk perihal yang belum jelas sebab-musababnya. Bahkan, tiga bulan lalu, mereka beradu jotos tanpa alasan yang pasti. Ceritanya, mereka saling menuduh atas hilangnya buah mangga milik mereka masing-masing, buah pemberian tetangga, yang mereka taruh di dalam kulkas. Dan belakangan ketahuan, kakak sulung merekalah pelakunya.

Untuk menghindari pertengkaran berulang gara-gara mangga, maka setelah perkelahian itu, Harmi, sang ibu, menyarankan agar mereka menanam pohon mangga. Saran itu mereka terima. Mereka pun menanam biji mangga pemberian tetangga di halaman belakang rumah.

Sampai akhirnya, pagi ini, keegoisan dan kesinisan di antara mereka, kembali memicu percekcokan. Pokok masalahnya terkait pohon mangga yang baru mereka tanam beberapa bulan lalu. Entah bagaimana ceritanya, pohon mangga mereka, tercabut dari tanah. Tanpa benar-benar tahu penyebabnya, mereka langsung saja saling menuduh.

“Azka! Ke sini cepat!” teriak Zaky. Kaget melihat mangganya tercerabut saat hendak membubuhkan pupuk.

Tak berselang lama, Azka pun segera menemuinya di halaman belakang rumah. “Ada apa?”

“Kamu jangan pura-pura! Apa maksudmu mencabut pohon manggaku?” bentak Zaky. Menyeringai. Matanya melotot.

Azka mendekat ke lahan mangga Zaky. “Bukan aku pelakunya.”

“Lalu siapa lagi kalau bukan kau?” Zaky menjadi semakin geram. “Aku tahu, kau pasti iri kan karena pohon manggaku lebih subur dari punyamu. Iya kan?”

“Jangan asal menuduh. Serius, bukan aku pelakukanya. Aku tak akan melanggar kesepakatan kita,” tutur Azka. Sedikit gugup.

Zaky tak membalas. Hanya terdiam meredam amarahnya.

Azka lalu berbalik. Hendak memeriksa tanamannya sendiri. Dan tenyata, pohon mangga miliknya, juga tercabut. Bahkan, sobekan karung yang melingkupinya, juga porak-poranda. “Kenapa Kakak melakukan ini? Kan bukan aku yang mencabut mangga milik Kakak,” tuturnya, sembari terisak tangis.

“Bukan aku yang melakukannya. Serius!” tutur Zaky. Sikapnya berubah drastis melihat adiknya menangis.

Tanpa bicara lagi, Zaky berlari ke dalam rumah. Hendak mengadu kepada ayah-ibunya seperti biasa.

Kemudian, tak berselang lama, ayah mereka, Mustari, turut melihat perihal yang mereka permasalahkan. 

“Aku yakin, pelakunya bukan kalian berdua. Kalian tahu, setiap malam, babi selalu berkeliaran di sekitar sini untuk mencari makanan. Aku yakin, babilah yang mencabut pohon mangga kalian,” tutur Musatari di hadapan kedua anaknya.

Zaky dan Azka saling menatap sepintas. Amarah di antara mereka berangsur-angsur mereda.

“Lain kali, kalian jangan saling menuduh. Sebagai saudara, kalian harusnya saling percaya dan saling membantu. Jangan benci-bencian seperti ini,” sambung Mustari. “Sudahlah. Besok, temani ayah ke kebun. Sebaiknya, kalian menanam mangga di sana.”

Zaky dan Azka kompak menunjukkan ekspresi tak suka. Jelas, mereka ogah-ogahan jika harus menelusuri semak belukar menuju kebun.

“Terus, siapa yang akan menjaganya, Pak? Kebun kan jauh, harus menanjaki bukit,” protes Zaky. “Biar kami tanam di sini lagi, Pak.”

Azka mengangguk. Setuju dengan kakaknya.

“Tak usah khawatir. Biar kita buat pagar pelindungnya bersama-sama. Aku tahu caranya. Yang penting jangan menanam mangga di sini lagi. Kalian tahu, pohon mangga itu, tak seperti pohon tomat. Kalau kalian menanam mangga dengan jarak dua meter saja, aku yakin, kelak keduanya akan saling mengganggu. Lahan di sini sempit, Nak,” jelas Mustari.

Mereka berdua tak membantah.

“Apalagi, kalau mangga kalian besar, bisa-bisa menggangu rumah kita dan rumah tetangga,” sambung Mustari.

Mereka berdua pun mengangguk. Sama-sama tampak setuju.

Mustari pun merasa tenang, sebab kedua anaknya bisa mengerti dan menerima penjelasannya. Padahal sesungguhnya, tanpa kedua anaknya tahu, semalam, dialah yang bertindak sebagai babi. Ia mencabut tanaman mangga kedua anaknya untuk beberapa alasan yang kini telah mereka terima. 

Hujan Bulan Desember

Suasana lengang. Udara dingin di bawah langit yang gelap. Aku duduk menepi di sebuah halte. Berlindung dari guyuran hujan yang datang tiba-tiba. Hanya duduk, menatap titik-titik air yang menghujam jalan beraspal. Tak ada siapa-siapa. Mungkin semua orang tengah singgah berteduh, pada persimpangan masing-masing. Menikmati hujan yang menjebak. Meresapi sepi, seperti yang kurasakan.

Hingga akhirnya, kejutan datang. Di tengah derai hujan, kulihat seseorang perempuan dengan rok panjang dan jaket tebal, berjalan di bawah payung. Ia menuju ke arahku. Langkahnya hati-hati, menghindari aliran air yang mencapai mata kaki. Dan, dari jarak sepuluh meter, kuterawang wajahnya baik-baik. Aku mengenalinya. Dia adalah teman sekampusku.

Setelah sampai, ia bergegas melipat payung, kemudian menepis-nepis air hujan yang menyerap di jaket hitamnya. Sejenak, bola matanya menatapku, sambil tersenyum. Ada kesan ia juga mengenaliku. Aku bisa membacanya. Lalu, tanpa berkata-kata, ia duduk dengan segan. Hanya termenung, menunggu hujan reda, entah sampai kapan, seperti yang kulakukan.

Kehadirannya jelas membuat perasaanku tak keruan. Itu karena sudah sejak lama, aku mengaguminya secara diam-diam. Upaya penguntitan pun rela kulakukan, sekadar untuk mengetahu identitas dasarnya. Dan hasilnya, kutahu kalau ia bernama Dini, tepatnya  Rahmita Andini. Informasi itu kuperoleh dari daftar hadir di satu kelas mata kuliah, yang kami program bersama. 

Berbekal nama lengkapnyalah, aku mulai menjerumuskan diri dalam serangkaian rutinitas bodoh. Kuketik namanya di mesin pencari internet, hingga kutemukan semua bilik-bilik kehidupannya. Akhirnya, aku tak bisa melewatkan hari tanpa mengecek aktivitas hidupnya di semua lini media sosial. Aku seperti kecanduan.

Jelas, jebakan hujan kali ini, membuat perasaanku dilematis. Aku takut jika ia mengetahui aktivitas terselubungku selama ini, yang suka memata-matainya. Sungguh memalukan jika itu benar-benar terjadi. Namun, aku juga tak bisa manampik, kalau ini adalah kesempatan emasku untuk memulai pendekatan nyata padanya, tak hanya sekadar menjadi pengagum rahasianya.

Setelah hampir sepuluh menit saling mendiamkan, akhirnya, aku memutuskan untuk memulai sebuah percakapan. Kupikir, akan lebih memalukan jika ia mencapku sebagai lelaki pemalu, yang tak punya nyali memulai obrolan dengan seorang perempuan.

Kulepas earphone di telingaku, kemudian berdeham keras. Aku lalu berpaling padanya, sambil tersenyum.

Dia pun menoleh padaku. Membalasku dengan sesimpul senyuman.

“Dini, mau ke fakultas?” tanyaku, sok akrab. Memberi tanda kalau aku mengingatnya sebagai teman sekelas. 

Dia menggeleng. “Tidak. Aku hendak ke gedung kesenian. Aku ada acara di sana.”

Aku mengangguk. Diam-diam, memahami apa yang dia maksud. Aku telah  mengamati info aktivitasnya hari ini, melalui media sosial.

“Ada acara apa di sana?” tanyaku, sekadar berbasa-basi.

“Aku ada pementasan tari adat untuk acara organisasi kesenian yang kugeluti,” jawabnya, segan. “Kalau ada waktu, mampirlah ke sana.”

Aku tersenyum singkat. “Terima kasih. Kalau waktuku lowong, aku akan sempatkan menonton penampilanmu. Aku yakin, pasti mengagumkan,” pujiku.

Dia balas tersenyum. Sangat manis.

Lalu, kami pun terdiam. Suasana menjadi hening. 

Hujan mereda. Yang ada hanya rintik-rintik saja.

“Dimas, aku pamit duluan. Mumpung reda,” tuturnya, memecah keheningan.

Sungguh, aku merasa senang mendengar ia mengeja namaku dengan tutur kata yang menggetarkan. “Biar aku antar?” tawarku.

“Tak usah,” tolaknya seketika. “Seseorang menjemputku di seberang jalan.”

Aku menoleh ke depan. Dan kulihat, sesosok lelaki menunggunya dengan sikap yang mencurigakan.
“Sayang, ayo,” seru lelaki itu.

“Aku duluan ya?” pungkasnya, kemudian beranjak dengan setengah berlari. Pergi tanpa menanti kata-kata penutup dariku.

Perasaanku kembali membeku. Sepi. Dingin yang kurasa, menggerogoti relung sukmaku. Setumpuk khayalanku tentangnya pun, jadi serupa racun. Menyebar dan melumpuhkan sekujur tubuhku. Sungguh, aku menyesal telah menghabiskan banyak waktu mengaguminya secara diam-diam.

Bersama separuh nyawa yang tersisa, kutuntun arah jalanku pulang. Berdialog dengan diri sendiri di atas sepeda motor yang kupandu pelan. Merenungi nasib. Lalu, dengan perasaan kalut, kubungkam telingaku dari suara rintik hujan yang terdengar lirih. Dari earphone, mengalun indah lagu Efek Rumah Kaca, Desember, untuk kesendirianku.

Selalu ada yang bernyanyi dan berelegi di balik awan hitam
Semoga ada yang menerangi sisi gelap ini
Menanti seperti pelangi setia menunggu hujan reda

Tiba-tiba, hujan deras kembali mengguyur tubuhku. Aku tak peduli. Seiring waktu, aku yakin, hujan akan berhenti dengan sendirinya. Hujan akan mengakhiri segalanya, termasuk perihku. Dan aku yakin, di ruang yang lain, kelak, ada sosok yang akan memupuskan lukaku. 

Aku selalu suka sehabis hujan di bulan desember

Sampai nanti ketika hujan tak lagi meneteskan duka, menetas duka
Sampai hujan memulihkan luka

Salah Perhitungan

Karyo senang bukan kepalang. Ia tak henti berkhayal tentang wanita pujaannya, Husni. Itu karena hari ini, setelah gajian, ia akan menunaikan janjinya untuk membawa gadis cantik itu berjalan-jalan, menelusuri seluruh penjuru kota. Hingga sepulang kerja, ia mengebut sepeda motornya. Tak tahan untuk segera berjumpa dengan sang idaman. 
 
Alur perjalanan romantisnya kali ini, telah dirancang Karyo jauh-jauh hari. Di awal, akan ada prosesi santap makan di sebuah restoran elit. Di situlah ia hendak mengungkapkan maksudnya meminang Husni. Ia yakin perasaannya tak tertolak. Setelah itu, ia akan mengajak Husni membeli perhiasan mewah. Sepasang cincin yang akan dijadikan simbol ikatan cinta suci mereka, kelak.

Sungguh, perasaan Karyo berbunga-bunga. Ia bak seorang pengeran yang hendak menjemput seorang putri yang cantik jelita. Ia benar-benar terlena dengan angan-angannya. Sebagaimana orang yang jatuh cinta, ia merasa dunia hanya miliknya bersama sang kekasih. Segenap suara pun jadi serasa bernada, segala bebauan jadi harum, dan semua tampakan bak lukisan surga.

Demi khayalannya, Karyo tak mau ada yang mengganggu rencananya hari ini. Selain untuk Husni, semua akan ia abaikan.

Hingga akhirnya, kala masih di tengah perjalanan, seorang Ibu tua, mencoba menahan laju motornya. Sambil menenteng sebuah keranjang, Ibu itu terlihat melambaikan-lambaikan tangan. Berseru, sambil tersenyum. Seperti memberi pesan kalau ia ingin diberi tumpangan di tengah terik matahari yang mengendap di aspal. 

Namun, tekad Karyo kuat. Sekali lagi, tak ada yang boleh merecoki hari spesialnya. Ia tak ingin menghiraukan siapa pun, apalagi orang yang tak dikenalnya. Apalagi, ada kemungkinan si Ibu tua bertempat tinggal di tempat yang jauh. Jelas, itu bisa membuat ia ingkar janji pada Husni, untuk datang  menjemputnya tepat waktu. Maka, tanpa rasa bersalah, ia pun melewatkan si Ibu begitu saja.

Seiring sikap pengabaiannya, seberkas wajah yang mirip si Ibu, terlintas di benaknya seketika. Tapi tentang kapan dan di mana wajah itu dilihatnya, ia tak tahu pasti. Seperti de javu. Dan, sekeras apa pun ia coba mengingat-ingat, tetap tak berhasil. Maka, tanpa mau pusing lebih lama, ia pun mengebut kembali laju sepeda motornya.

Tak berselang lama, Karyo akhirnya sampai di rumah Husni. Seusai memastikan penampilannya baik-baik saja, ia pun melangkah penuh wibawa, menuju teras rumah. Setelah berdeham dua kali terlebih dahulu, ia lalu mengetuk daun pintu. Berharap segera disambut dengan senyuman termanis. 
Tanpa menunggu lama, gadis pujaannya, muncul dengan dandanan yang belum kelar. “Ayo masuk.”

Karyo pun melangkah ke ruang tamu.

“Kamu tunggu di luar dulu ya,” pesan Husni. “Maaf ya, aku belum siap. Bisa tunggu sebentar lagi kan?” tuturnya, sambil terus meratakan bedaknya yang belepotan.

Karyo mengangguk tegas. “Iya. Seberapa lama pun, aku akan menunggumu kok,” balasnya.

Husni pun kembali ke ruang belakang untuk menyelesaikan dandanannya.

Kala ditinggal sendiri, mata Karyo pun terarah ke seluruh penjuru ruangan. Hingga sebuah foto berbingkai yang menggantung di dinding, menyita perhatiannya. Dan setelah kembali menerawang ingatannya dalam-dalam, ia pun tahu, siapa sosok Ibu yang mencoba menahannya di tengah jalan tadi.

Husni datang kembali. Tampilannya terlihat sangat menawan. “Ayo, berangkat! Aku sudah siap!” tegasnya, penuh semangat.

Karyo masih termenung. Tak menghiraukan seruan gadis pujaannya.

Husni jadi heran. “Kamu kenapa?”

“Ibumu di mana?” Karyo malah balik bertanya.

“Dia ke pasar. Mungkin sebentar lagi datang,” balas Husni dengan raut wajah yang menggemaskan.

“Apa ibumu mengenal betul wajahku?” tanya Karyo lagi.

Husni tampak bingung. “Iya. Aku juga sering memperlihatkan fotomu padanya. Memangnya kenapa?”

Karyo menggeleng. “Tak mengapa,” balasnya, lalu terdiam beberapa detik. Seperti berdialog dengan dirinya sendiri. “Oke, ayo berangkat.”

Husni tersenyum manis. “Kau akan membawaku ke mana?”

Wajah Karyo datar saja. Tak sesemringah di awal kedatangannya. “Ya, seperti janjiku, kita akan melahap makanan terenak di restoran,” jawabnya, sembari berusaha menyembunyikan kekalutannya.

Rencana Karyo berubah. Tak ada lagi tentang cincin, kecuali setelah ia mengeles dan sungkem pada sang calon mertua.

Emosi Jalanan


Jam 7 lewat 5 menit, pagi. Aku berangkat ke kantor dengan membawa sejumlah berkas yang kuperlukan. Jika tak ada halangan, aku bisa sampai 15 menit kemudian. Aku jelas tak ingin terlambat. Sebagai pegawai negeri yang baru terangkat, aku harus menunjukkan kepatuhan. Selain menunaikan tanggung jawabku sebagai abdi negara, juga penting bagiku menjaga citra di hadapan atasan, demi karir. 

Tapi di kota, perencanaan sering kali hanya awang-awang. Selalu ada peristiwa tak terduga yang membuat semua hanya indah di angan. Dan hari ini, aku mengalaminya lagi. Di tengah perjalanan, lagi-lagi, aku terjebak macet. Kendaraan menumpuk. Sampai seiring waktu, aku tahu, penyebabnya karena para pedagang pasar membuka lapak hingga ke bahu jalan. Sungguh menyebalkan.

Ujian kesabaranku, masih berlanjut. Di menit ke-10 perjalanan, peristiwa khas kota, kembali menjebakku. Dua orang pengendara, meluapkan emosinya tanpa menghiraukan pengendara lain. Selagi kendaraan mereka menutupi setengah bahu jalan, mereka beradu argumen dengan nada tinggi, hanya karena saling senggol. Mereka baru meluluh setelah pengendara lain menunjukkan emosi yang tak kalah garang.

Selepas dari jebakan manusia yang tak tahu aturan, aku segera mengebut gas mobilku. Melaju sekencang mungkin pada ruang jalan yang kosong, sambil menggumamkan sumpah serapah. Hingga, tanpa terduga, aku hampir saja menabrak seorang yang menyeberang jalan bukan di zebra cross. Emosiku pun mendidih. Tanpa kendali, aku mencacinya dengan kata-kata kotor, dalam ruang mobilku yang tertutup.

Setelah menenangkan diri sejenak, aku melanjutkan perjalanan. Hingga sampailah aku di sebuah lampu merah. Lagi-lagi, kendaraan berhenti secara tidak teratur. Sejumlah kendaraan bahkan menutupi lintasan penyeberangan. 

Dan, kulirik jam tanganku, ternyata, lima menit berlalu lagi. Waktuku tersisa 10 menit. Aku harap bisa sampai di kantor tepat waktu, agar aku dapat mengawali rutinitasku dengan tenang. 
  
Lampu hijau menyala, tapi kendaraan dari arah lain, terus saja melaju. Jelas saja aku kesal. Maka, kusegerakan untuk memajukan kendaraan. Mencari celah yang memungkinkan untuk menyalip. Tapi akhirnya, usahaku gagal. Saat aku tepat di baris depan, lampu merah kembali menyala. Aku pun harus berhenti, menunggu lampu hijau untuk kedua kalinya. 

Sambil menanti waktu 30 detik berlalu, aku mencoba menyalakan radio. Mencari siaran yang kira-kira bisa menghibur. Tapi ruang ketenanganku, terusik lagi. Di balik kaca jendela mobil, menggerayang para pengais rezeki jalanan. Ada penjual asongan, pengamen, dan pengemis. Mereka silih berganti membujukku. Menawarkan perihal yang mereka bisa jual. 

Aku tak ingin menggubris mereka. Kututup jendela mobilku rapat-rapat, sambil pura-pura tak mengacuhkan. Meredam rasa belas kasihku yang sudah terlalu sering dikhianati. Aku selalu curiga, sedekahku kemarin-kemarin, tak digunakan mereka secara baik. Karena itu, aku tak ingin memberikan harapan, sehingga mereka bertahan menawarkan barang dan jasanya dengan cara yang terkesan memalak.

Akhirnya, lampu hijau menyala kembali. Aku ingin segera lepas jadi paradoks batinku tentang cara penghuni pinggiran kota mencari nafkah. Aku merasa tak punya urusan dengan mereka. Maka, kukebut kembali kendaraanku, lebih kencang dari sebelumnya. Beruntung, arus kendaraan lancar di atas bahu jalan yang lebar. Sungguh melegakan.

Sekarang, dua menit lagi jam setengah 8. Tapi ternyata, rintanganku belum usai. Sesampainya di depan kantorku, aku melihat sejumlah orang sedang berkerumun. Mereka berunjuk rasa tepat di gerbang masuk kantor. Mereka berteriak sembari membentangkan spanduk yang bertuliskan tuntutan agar upah buruh dinaikkan. 

Otomatis, tak ada ruang untukku masuk dan memarkir mobil di halam kantor. Emosiku pun kembali mendidih. Aku terpaksa memarkir kendaraanku di sisi lain kantor, di halaman belakang. Setelahnya, aku pun menyelinap masuk ke gedung melalui pintu belakang. Aku tak ingin menjadi sasaran teriakan dan olok-olokan para demonstran. 

Kilirik kembali jam tanganku. Sudah jam 7 lewat 31 menit. Jelas, aku terlambat mengisi absen. Maka dengan tergopoh-gopoh, aku setengah berlari menuju ruang administrasi untuk mengisi kolom tanda tangan kehadiranku. Dan, ternyata, ruangan masih lengang. Hanya ada beberapa pegawai yang mendahuluiku.

“Ibu tak ikut unjuk rasa?” tanyaku pada Yuni, pegawai alih daya yang dikontrak sebagai tukang bersih-bersih kantor.

“Aku takut dipecat. Aku cari aman saja. Statusku sebagai pegawai alih daya, sangat rentan pemecatan, Pak,” tuturnya, terlihat semringah seperti biasa. “Ngomong-ngomong, Bapak rajin benar datang ke kantor?”

Aku sedikit tersipu mendengar pujiannya. “Ini kan sudah tanggung jawab saya, Bu.”

Dia tersenyum tersipu. “Tapi Bapak kok rapi sekali?”

Aku memerhatikan setelah bajuku. Khawatir kalau sebenarnya, ia cuma meledek. “Ya, kan aturannya harus seperti itu, Bu. Harus pakai sepatu, jas, dasi, macam-macam,” tangkisku. “Yang lain mana, Bu. Kok sepi? Apa ada rapat mendadak atau kunjungan pejabat di kantor ini?”

Tiba-tiba, tawanya pecah. “Aduh, Bapak. Ini kan tanggal 1 Mei, Hari Buruh,” tuturnya.

“Memangnya kenapa kalau Hari Buruh?” sergahku.

“Itu artinya tanggal merah, Pak,” tegasnya, sambil tergelak.

Seketika, aku merasa bodoh sendiri.