Senin, 31 Oktober 2016

Jessica dan Objektivitas Hakim

Pada hari Kamis, 20 Oktober 2016, drama kopi bersianida, berakhir sudah. Tepat di sidang ke-32, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang dipimpin Kisworo, akhirnya memvonis Jessica bersalah. Ia dijatuhi hukuman 20 tahun penjara atas tindakan pembunuhan berencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 340 KUHP. Putusan hakim itu, selaras dengan dakwaan penuntut umum.
 
Majelis hakim menilai Jessica, perempuan yang masih berusia 27 tahun, terbukti membunuh sahabatnya sendiri, Wayan Mirna Salihin, secara berencana. Ia diyakini membubuhkan sianida ke dalam secangkir es kopi Vietnam yang diteguk mirna, saat mereka temu kangen di Kafe Olivier. Motifnya diduga kuat karena Jessica memendam sakit setelah sahabatnya itu, menasihati ia agar meninggalkan pacarnya, Patrick, yang berperilaku bobrok.

Vonis bersalah terhadap Jessica, belakangan menimbulkan pro-kontra di kalangan masyarakat. Sebagian menilai jessica harusnya dibebaskan karena lemahnya bukti-bukti. Beberapa alasannya adalah tidak dilakukannya otopsi yang akhirnya menimbulkan keraguan bahwa Mirna meninggal karena sianida, rekaman CCTV yang dinilai bukan barang bukti, serta tidak jelasnya motif pembunuhan yang dinilai penting sebagai penguat terpenuhinya unsur “sengaja” dalam Pasal 340 KUHP.

Di sisi lain, sebagian pihak menilai vonis terhadap Jessica sudah tepat. Fakta-fakta persidangan dianggap telah meyakinkan hakim dan memenuhi prayarat minimum alat bukti untuk menjatuhkan hukuman. Hal itu jelas terlihat dari amar putusan majelis hakim yang membenarkan bukti-bukti dalam dakwaan penuntut umum, terutama alat bukti keterangan ahli. Akhirnya, Otto Hasibuan, penasihat hukum Jessica, menyatakan penyesalannya kepada majelis hakim yang ia nilai tidak mempertimbangkan pembelaannya.

Pascavonis, pendapat masyarakat terkait proses persidangan, tak berarti apa-apa. Persidangan yang sarat dengan perdebatan keilmuan itu, telah menemukan kepastiannya di bawah ketukan palu sidang hakim. Semua pihak pun, mau tak mau, harus menerima. Akhirnya, muncul pertanyaan, sejauh mana objektivitas hakim dalam sebuah persidangan, terutama dalam mempertimbangkan fakta-fakta persidangan yang diajukan oleh penuntut umum dan penesehat hukum. Inilah yang akan penulis ulas, tanpa mau terjebak pada pilihan suka atau tidak suka atas vonis tersebut.

Kemerdekaan Hakim

Pasal 24 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman bersifat merdeka untuk menyelenggarakan peradilan. Ini berarti, hakim independen dalam menjalankan tugasnya. Meski begitu, dinyatakan juga bahwa kemerdekaan hakim harus semata-mata untuk menegakkan hukum dan keadilan. Ini berarti, seorang hakim bukan sekadar terompet aturan, tetapi pribadi ahli yang wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, sebagaimana ditegaskan Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Jelas sudah bahwa hakim sebagai profesi pelaksana fungsi peradilan, wajib mendasarkan putusannya pada nilai-nilai keadilan. Menjadi pemutus akhir sebuah perkara, menuntut hakim untuk menjadi penengah yang adil di antara kepentingan semua pihak, baik korban, pelaku, maupun masyarakat secara umum. Semua fakta-fakta hukum yang mencuat dalam persidangan, harus dipertimbangkan oleh hakim, baik yang disodorkan oleh penuntut umum, maupun penasihat hukum.

Dalam memutus sebuah perkara, hakim pun tak boleh sewenang-wenang, tetapi harus berpatokan pada sistem pembuktian yang ada. Pada perkara pidana, Pasal 183 KUHAP jelas menyatakan hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali atas sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, hakim memperoleh keyakinan akan kesalahan terdakwa. Hal itu sejalan dengan Pasal 6 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Ini berarti bahwa, terpenuhinya dua alat bukti yang sah belum cukup untuk memvonis seseorang bersalah, tetapi hakim berdasarkan rasio dan rasanya, harus meyakini adanya keterhubungan antara alat bukti dan peristiwa pidana yang ada.

Pada kasus Jessica, hakim menilai barang bukti yang diajukan oleh penuntut umum, telah mencukupi untuk terpenuhinya minimum alat bukti yang sah, serta telah meyakinkan. Pada dua hal inilah yang kemudian menimbulkan pertanyaan, yaitu bagaimana jika terpenuhinya alat bukti menurut hakim, hanya merujuk pada bukti dan argumentasi penuntut umum, lalu mengesampingkan pembelaan penasihat hukum? Pertanyaannya yang lebih pelik adalah, bagaimana mengukur bahwa alat bukti benar-benar telah meyakinkan hakim?

Bisa dipastikan, kecenderungan hakim, entah pada argumentasi pihak penuntut umum atau penasihat hukum, akan mengarahkan keyakinannya. Hakim yang tak jeli, ataukah menetapkan keberpihakannya sebelum bukti-bukti dari kedua belah pihak digelar secara tuntas, rentan menjatuhkan vonis yang tak adil. Ia bisa jadi, tanpa sadar, mengesampingkan fakta-fakta hukum yang tidak terungkap atau tidak diungkapkan dalam persidangan. Untuk itu, hakim harus aktif dalam membentuk keyakinannya sendiri, yaitu menggali kesaksian dari semua pihak secara adil, tidak sekadar pasif untuk disuguhi argumentasi yang bisa saja dikarang-karang oleh pihak tertentu.

Objektivitas Hakim

Diterima atau tidak, hasil akhir dari sebuah persidangan, mungkin hanya cerminan dari pertimbangan hakim secara merdeka, kalau tidak mau dibilang subjektivitas hakim. Kemerdekaan hakim dalam memutus sebuah perkara berdasarkan kayakinannya, bak buah simalakama. Atas “kebebasan” hakim itu, putusan bisa saja sewenang-wenang, karena tak ada yang benar-benar tahu keyakinan hakim kecuali dirinya sendiri dan Tuhan. Tapi bisa juga menjadi sangat adil, karena hakim bisa keluar dari kungkungan formalitas dan aturan secara tekstual, sehingga leluasa menggali nilai-nilai keadilan. 

Mempertaruhkan keadilan pada rasa hakim, jelas kenyataan yang tak bisa dihindari. Hakimlah yang diserahi kekuasaan untuk memutus sebuah perkara dengan seadil-adilnya. Di palu hakimlah, tujuan hukum berupa kepastian, keadilan, dan kemanfaatan, dipasrahkan. Selogis apa pun sebuah argumentasi hukum dipaparkan dalam sebuah persidangan, tak akan berarti apa-apa jika hakim menilainya tak valid ataukah tidak dapat menggugah keyakinannya. 

Bukti bahwa hakim tak bisa lepas dari pertimbangan pribadinya, dapat dilihat dari adanya beda pendapat (dissenting opinion) di antara hakim dalam memutus sebuah perkara. Atas kemerdekaannya, seorang hakim bisa tak sependapat dengan hakim yang lain. Putusan pun akhirnya diambil berdasarkan suara terbanyak dari anggota mejelis hakim. Dalam sistem peradilan Indonesia, beda pendapat antarhakim, jelas diakui, bahkan dijamin berdasarkan Pasal 14 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Mengatasi potensi penyelewengan kemerdekaan hakim, maka ke depan, seyogianya hakim mendasarkan putusannya pada kebenaran intersubjektif. Kebenaran dan keadilan hukum seyogianya tidak menjadi monopoli hakim belaka, tetapi harus digali dari argumentasi rasional segenap pihak, sehingga semua merasa mendapatkan keadilan. Kepentingan masyarakat secara umum pun, tak boleh dikesampingkan. Di luar itu, para pihak harus tunduk dan berserah pada wewenang hakim untuk memutus (Widodo Dwi Putro, 2011: 254). Maka, untuk mendamaikan semua kepentingan yang ada, putusan hakim tidak boleh sekadar demi kepastian hukum, tetapi juga demi keadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat.

Upaya lain yang juga penting dilakukan demi menjaga dan meningkatkan kualitas putusan hakim adalah menata dan mengoptimalkan kembali yurisprudensi sebagai sumber hukum yang dapat digunakan hakim dalam memutus perkara. Ini penting untuk menghindari disparitas putusan untuk kasus serupa, yang malah menimbulkan rasa ketidakadilan di tengah masyarakat dengan istilah: keadilan tergantung hakimnya. Di samping itu, masyarakat harus dilibatkan dalam melakukan pengawasan terhadap proses peradilan. Masyarakat harus aktif mengadu ke pihak yang berwenang, jika mendapati penyelewengan atas “kemerdekaan” hakim. Tak kalah pentingnya, pendidikan untuk meningkatkan profesionalitas dan intergritas hakim, juga harus dilakukan. Hakim tidak boleh hanya tahu aturan untuk sekadar memvonis, namun menjadi tak progresif dan abai terhadap “roh” dari aturan itu sendiri (baca: keadilan dan kemanfaatan).

Pemegang Kendali

Sekarang, aku dan dia berpapasan untuk kali pertama. Kami bertemu di pelataran kampus secara tak terduga. Tanpa kusadari, ia tiba-tiba muncul dan berjalan ke arahku. Hanya berjarak sekitar 20 meter saja. Aku jelas tak bisa menghindar. 
 
Kuteruskan saja langkahku. Menunduk serendah mungkin. Memandangi susunan tegel yang retak-retak. Sesekali, kuturuti rasa penasaranku untuk menengadah. Memandanginya selintas saja. Dan, tanpa rencana, mata kami bertabrakan. Seakan terhipnotis, kami bersetatap hampir sedetik.

Segera kupalingkan pandangan darinya. Menyembunyikan wajahku yang mungkin terlihat aneh. Kikuk. Sampai akhirnya, kami saling membelakangi. Saling menjauh. Suasananya seperti baru saja melewati masa-masa kritis. Selega lolos dari kemacetan, kala waktu tes final semester, hampir saja mulai.

Tanpa rencana sebelumnya, kuarahkan langkahku menuju toilet. Aku mendadak butuh cermin untuk mengecek, apakah penampilanku baik-baik saja saat kami berpapasan. Seperti paranoia. Jelas aku tak ingin kalau di awal kami bersetatap, dia menyimpan kesan yang buruk tentangku.

“Hei!” Dia menyahut, dua kali.

Aku coba meyakinkan diri, kalau dia tak bermaksud padaku. Terus kupercepat langkah untuk segera menemukan tikungan dan menghilang dari pantauannya.

“Hei, Rani,” tuturnya lagi, diikuti suara tapak sepatu yang terdengar mendekatiku.

Apa? Kau menyebut namaku?Bukankah kita belum pernah berkenalan, selain di cerita imajinasiku tentang kita pada buku cacatan harianku yang entah di mana?

 Terpaksa, aku menyerahkan diri. Berbalik dan memajang wajah lugu padanya. “Ya, ada apa?”

“Ini milikmu kan?” sangkanya, sambil menyodorkan sebuah kartu mahasiswa. “Tadi, aku menemukannya di jalan. Wajahmu mirip dengan yang di fotonya.”

Kuambil kartu itu darinya. Aku merasa tenang, sebab ketakutanku tentang catatan harian itu, hanya ketakutanku. “Iya, ini punyaku.” Kuperiksa tasku, dan kudapati ada sobekan di dasarnya. “Terima kasih,” tuturku, sambil bertekad untuk segera berlalu.

Dia mengangguk dengan senyum simpul yang manis. “Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?”

Rancana pelarianku, tertahan. “Kurasa belum pernah,” jawabku, sembari menggaruk-garuk bahu tangan tanpa alasan. 

Matanya menatapku tajam. “Tapi aku sepertinya pernah melihatmu sebelumnya,” duganya lagi.

“Bisa jadi kau melihatku tanpa aku tahu. Dunia memang kadang terasa sempit,” pungkasku, lalu melangkah pergi. Beruntung, dia tak menahanku lagi.

Kupikir, ia tak akan tahu tentang aku yang telah memata-matainya selama ini, kecuali sekadar tahu nama, wajah, dan identitas umumku yang lain. Itu  pun wajar sebab aku telah mengirimkan permintaan pertemanan padanya melalui Facebook. Ia mungkin menelusuri profilku sepintas, kala mengecek daftar orang-orang yang menanti untuk jadi temannya di dunia maya.

Sebaliknya, aku jalas banyak tahu tentangnya. Aku senang menguliknya di dunia maya sejak beberapa bulan terakhir. Namun karena semua peristiwa yang telah terjadi, aku jadi takut sendiri ia mengenalku lebih dalam. Kuputuskanlah untuk segera membatalkan permintaan pertemananku di Facebook, dan tetap menjadi pengagum rahasianya. 

Tapi sial, ia terlanjur mengonfirmasi permintaan pertemananku setelah menggantung selama seminggu.

Sebuah pesan masuk, juga dikirimkannya: Hai, Rani. Salam kenal.

Aku tak berhasrat segera meresponsnya. Selain malu, kupikir, sekarang giliranku untuk memegang kendali atas rasa penasarannya, kalau pun khayalan tingkat tinggiku tepat. 

Tak berselang lama, dia mengirim pesan lagi: Oh, iya. Kapan kamu ada waktu kan? Aku ingin bertemu. Ada sesuatu yang ingin kuberikan padamu.

Aku dibuatnya penasaran. Terpaksa kubalas: Salam kenal. Sesuatu yang kau maksud apa?

Dijawabnya: Milikmu sendiri. Aku ingin mengembalikannya. Sebuah catatan harian. Aku menemukannya seminggu yang lalu.

Tiba-tiba, aku tak berkutik. Kupastikan, dia banyak tahu tentangku, termasuk yang selama ini kupendam saja.

Peringatan Tanpa Khidmat

Waktu terus berulang dalam ukuran tertentu. Dalam hitungan jam, hari, bulan, hingga tahun. Perulangan itu, lalu menghadirkan nuansa nostalgia. Selalu ada peristiwa yang dianggap penting untuk dikenang. Maka, setiap kali momennya tiba, diperingatilah dengan berbagai cara. Mungkin untuk dirayakan, atau juga diresapi.
 
Manusia jelas tak luput dari beragam peringatan. Ruang lingkupnya pun beragam. Ada peringatan skala individu, ataupun skala kemasyarakatan. Selain itu, peringatan juga melingkupi segenap dimensi kehidupan. Peringatan dapat dijumpai dalam ruang keagamaan, kebudayaan, politik, dan sebagainya.

Jika merujuk pada makna kebahasaannya, peringatan memiliki makna teguran. Peringatan menyimbolkan kejadian tententu yang dinilai penting dan tak boleh dilupakan. Penting sebab mengandung pelajaran hidup yang berguna. Bisa dijadikan pedoman untuk mawas diri, agar tak terjerembat pada lubang keburukan. 

Berbicara tentang peringatan, berarti terkait erat dengan perihal memelihara sejarah. Di dalamnya, ada upaya untuk memperbarui ingatan tentang nilai-nilai masa lalu. Namun sayangkan, unsur esensial inilah, yang sering diabaikan. Itu karena peringatan dilakukan sekadar perayaan, tanpa berkhidmat. 

Peringatan tanpa berkhidmat adalah jalan menuju kehampaan. Peringatan hanya diisi dengan tindakan foya-foya sesaat, lalu selanjutnya tak berarti apa-apa. Hanya jadi serupa hura-hura. Ataukah kekosongan itu karena peringatan hanya dijadikan ajang “balas dendam”, ketimbang sebagai momentum untuk merefleksikan kembali nilai-nilai kehidupan masa lalu. 

Peringatan hari kelahiran atau hari raya keagamaan menjadi contoh peringatan yang sering kali diisi dengan kebiasaan tak berkhidmat. Setidaknya, itulah yang mewakili peringatan sebagai ajang hura-hura, dan peringatan sebagai ajang balas dendam. Di dalamnya, tak ditemukan makna dan semangat hidup yang baru, karena hakikat peringatan dilupakan.

Contoh nyata yang masih hangat tentang peringatan tak berkhidmat, terlihat di Hari Sumpah Pemuda. Pada hari di mana semua pemuda harusnya merefleksikan kedudukan mereka untuk kemajuan bangsa dan negara, yang terjadi malah sebaliknya. Salah satunya adalah aksi pembakaran beberapa sepeda motor oleh mahasiswa yang sama sekali tak ada korelasinya dengan semangat Sumpah Pemuda.

Di titik yang kritis ini, perlu dilakukan penyadaran kembali, bahwa peringatan harus berangkat dari hakikat sebuah peristiwa. Peringatan hari-hari kenegaraan, seyogianya memperkokoh nasionalisme. Peringatan hari keagamaan, seharusnya memuliakan budi pekerti. Peringatan hari kelahiran, mestinya mengingatkan pada kematian. Banyak lagi.

Peringatan, dengan begitu, sudah saatnya didudukkan kembali sebagai momentum untuk menyentuh “keakuan”. Setiap peringatan, harusnya mampu membarui jiwa setiap insan, sejalan dengan hakikat peristiwa yang diperingati. Meski secara kasat mata melibatkan banyak orang, peringatan harus selalu didudukkan sebagai refleksi berbasis individual.

Akhirnya, keberhasilan sebuah peringatan, tak boleh lagi dilihat pada seberapa banyak orang yang “turut meramaikan”, tapi apakah setiap orang yang turut, berhasil memetik pelajaran hidup, lalu mewujudkannya dalam tindakan nyata. Intinya, peringatan harus meremajakan kembali hati dan pikiran seseorang, meski melalui cara-cara yang senyap.

Demi Katanya


Di bahu jalan yang ramai
Bersoraklah dia yang lupa diri
Meneriakkan keadilan atas nama semua
Tentang hidup yang mencukupi
Demi bangsa katanya

Di rumah-rumah suci
Bercelotehlah juga sambil menunjuk ke langit
Mengajak untuk berdarah di jalan kebenaran
Menuju cita hidup yang abadi
Demi umat katanya

Abaikan
Semua hanya muslihat
Di dunia para pendusta
Pada hidup yang berkubang nafsu
Tak ada nilai tanpa matematika
Dapat apa? Harta, tahta, wanita?
Semua inginnya

Sebaiknya, pulanglah
Pada rumah yang biasa saja
Di dunia yang penuh warna
Turutlah pada kata hati
Pasrahkan hidup
Menyembah tanpa perhitungan
Agar jelas beda
Antara aku dan kita, dia dan mereka
Antara ilusi dan kenyataan

Selasa, 25 Oktober 2016

Ulang Tahun Pernikahan

Gita merisaukan keadaan rumah tangganya. Meski usia pernikahannya baru tepat setahun, tanda-tanda keretakan, mulai terasa. Jika ia tak pintar dan sabar menanggapi masalah, mungkin beberapa kali sudah persoalan sepele menyulut percekcokan. Pemicunya beragam. Mulai dari  sangkaan pengabaian tanggung jawab sebagai istri, sampai adanya indikasi perselingkungan. 

Hari ini, ia bertekad meredam kekisruhan batin yang nyaris meledak. Tugasnya sebagai ibu rumah tangga, akan ia tunaikan dengan sempurna. Rencananya, seusai membersihkan dan merapikan rumah, ia akan memasak makanan favorit sang suami. Namun, belum apa-apa, sebuah pertanda tak terduga, dijumpainya. Sepulang dari pasar, ia terkejut melihat sebuah kertas di atas keset bertuliskan: Selamat pagi sayang.

Pesan mesra yang ia diduga dari sang suami, membuat kekalutannya tiba-tiba menghilang. Keretakan rumah tangga pun, dinilainya sebagai kesimpulan sesat semata. Ia merasa lega, sebab tiga kata di secarik kertas, membuktikan kalau cinta dan kasih-sayang suaminya, masih terjaga. Keyakinannya mengatakan kalau ucapan itu hanyalah awal dari kejutan yang lebih besar. Sebuah rangkaian romantis sebagai peringatan hari ulang tahun pernikahan mereka. 

Segera juga, ia menyibak pintu dengan penuh gairah. Kemudian, tampaklah sejumlah tanda-tanda yang membuatnya berkesimpulan, bahwa sang suami sedang merancang sebuah kejutan dengan ending yang tak terduga. Tanpa pikir panjang, ia pun mengikuti arti gambar anak panah, simbol penunjuk arah, yang terpampang di dinding rumah. Ia terus melangkah, beserta perasaan yang menggebu.

Sampai akhirnya, ia selesai menunaikan penunjuk arah yang kelima, yang terakhir. Serangkaian istruksi itu, membawa dirinya ke lantai III rumah, tepat di depan ruang penyimpanan barang bekas. Sebuah ruang berukuran kecil yang tak pernah dihiraukannya selama ini, kecuali untuk menumpuk barang yang tak terpakai lagi. 

Nafsu Gita untuk segera menyingkap tabir, harus tertahan kembali. Pada gagang pintu, tergantung sebuah kain berwarna hitam. Dan di depan pintu, menempel secarik kertas berisi pesan: Masuklah ke ruangan ini dengan mata yang tertutup kain. Pastikan untuk tidak mengintip. Yakinlah, kau pasti tak mengira apa yang akan kau lihat. Sebuah kejutan sayang! 

Tanpa ada keengganan atau ketakutan sedikit pun, ia menurut saja. Rasa penarasan dan kecurigaannya, teredam oleh keyakinan bahwa semua akan berujung pada kejutan yang luar biasa. Sebagaimana dahulu sebelum menikah, sang suami begitu lihai memberikan hadiah dengan cara yang mengesankan. Tak pernah mengecewakan.

“Sayang, aku sudah menuruti semua perintahmu. Apa aku sudah boleh melihat kejutannya sekarang?” tanya Gita yang tak sabar menanti. “Aku jadi penasaran, sayang. Cepat dong. Jangan-jangan nanti aku malah jadi bosan dan kejutannya tak asyik lagi.”

Tak ada respons apa-apa.

Di halaman, Riko, suaminya, datang dari kantor. Di jam istirahat kali ini, ia pulang untuk mengambil berkas yang terlupa. Dan seketika, langkah kakinya berhenti setelah memasuki rumah. Pandangannya terpaku pada simbol penunjuk arah yang tertempel di dinding rumah. Ia pun yakin, istrinya sedang merancang sebuah kejutan untuk memperingati hari ulang tahun pernikahan mereka.

Dalam sekejap, kecurigaannya bahwa sang istri tak lagi mencintainya, buyar seketika. Pesan singkat dari pengirim misterius yang masuk telepon genggamnya, yang mengatakan kalau istrinya bermain serong, juga tak ia risaukan lagi. Bahkan ia tak mengacuhkan lagi anggapan yang membebaninya sendiri, kalau ia bukanlah penguni pertama di hati istrinya. Kepedulian sang istri untuk memperingati hari ulang tahun pernikahan mereka, dinilainya sebagai bukti atas cinta yang tak lekang oleh apa pun.

Bersama rasa cintanya yang menggebu, seperti pada kali pertama menatap sang istri, ia mengikuti isyarat di lembaran kertas tanpa keraguan dan kecurigaan sedikit pun. Hingga akhirnya, ia menyelesaikan penunjuk arah yang terakhir. Namun, tak ada tanda apa-apa. Ia pun hanya berdiri dan menoleh ke segala arah. Menunggu sang istri tiba-tiba muncul beserta sebuah kejutan.

Beberapa detik dalam penantian, ia mendengar rintihan dari dalam gudang yang berada tepat di depannya.

“Sayang, jangan dramatis begitu dong. Untuk apa pakai adegan menangis segala?” singgungnya.

Tak ada balasan apa-apa. Dan seketika, suara tangisan itu, berhenti.

Kemudian, terdengar desisan dan suara entakan dari ruang yang sama.

“Sayang, sudahlah. Itu tidak lucu!” tuturnya lagi.

Suara dari dalam gudang, terdengar semakin gaduh.

“Sayang?” sapanya.

Tanpa pikir panjang lagi, ia pun mendobrak pintu. Setelah tersibak, tampaklah olehnya seorang lelaki bertopeng tengah berdiri di samping kursi, tempat sang istri duduk tersekap. Lelaki bertubuh kekar nan misterius itu, melintangkan pisau tepat di leher istrinya yang tak berdaya. 

“Siapa kau?” tanya Riko dengan membentak.

Lelaki bertopeng itu, membalas dengan tawa. “Selamat datang di momen spesial ini Riko. Lelaki biadab! Kau tahu, harusnya akulah yang berbahagia bersama si cantik di hari ini.”

Dengan mulut yang tersumpal, Gita tak berhenti menangis dan meronta. Riko dengan posisi siaga, masih bingung harus memulai aksinya dari mana.

“Harusnya Gita menikah denganku dahulu. Bukan denganmu, bangsat!” bentak si lelaki misterius. 

Mendengar ancaman itu, pikiran Riko melayang jauh, menjelajah kenangannya. Sampailah ia pada masa-masa kuliah. Teringatlah olehnya sosok Hengky, lelaki yang dahulu menaksir istrinya lebih dulu. Bahkan dari lelaki berandal itulah, ia mengenal sang istri.

“Heng, aku mohon jangan sakiti dia. Kami adalah suami-istri sekarang. Kau harusnya mengerti,” nasihat Riko. 

“Jadi, kau masih mengenalku rupanya,” tutur lelaki itu sembari tertawa terbahak-bahak, kemudian menyibak topeng kain yang menutupi wajahnya. “Aku tak akan menyakitnya, asalkan kau bisa memutar waktu, sehingga akulah yang jadi suaminya. Bisa?”

Senyap-senyap, ikatan pada tangan Gita, terlepas. Seketika, ia menepis todongan pisau Hengky yang mendatar di depan lehernya. Pisau itu pun terhempas jauh ke arah Riko. 

Riko lalu bergegas ke arah Hengky, kemudian menghujaminya dengan bogem mentah beberapa kali. Pukulannya mendarat tepat di wajah, perut, dan dada hengky. Lelaki pemabuk itu pun tersungkur tak berdaya. 

Keadaan berbalik. Giliran Hengky yang tersekap untuk sementara waktu, sampai akhirnya polisi datang menjemputnya.

“Maafkan aku, jika dahulu, aku adalah lelaki yang berada di antara kau dan dia,” tutur Riko pada sang istri.

“Kamu ini berkata apa sayang. Kau ini suamiku sekarang. Kau adalah cintaku yang sesungguhnya. Percayalah, tak sedikit pun rasa cintaku pada lelaki bejat itu dahulu, juga pada lelaki lain selain dirimu. Aku sengaja mendekatinya, hanya untuk mencari kemungkinan dekat denganmu. Sungguh!” tutur Gita, sambil merebahkan badannya di pelukan suaminya.

Kini, mereka pun damai dalam cinta, sebab rahasia tentang awal kebersamaan mereka yang tak pernah dipertanyakan, kini terkuak sudah.