Senin, 26 September 2016

Kata Hati yang Bisu


Aku sadari, kita berpisah dengan cara yang salah. Mendustai hati. Dahulu, kukira, kata-kata benci dariku, akan membuat kita mudah untuk saling melupakan. Kau pergi dengan sakit hatimu, dan aku pun tak berharap lagi. Tapi nyatanya, cara itu malah membuatku tak bisa lepas dari bayang-bayangmu. Seakan dihantui dosa-dosa.

Waktu berlalu, telah menjadi kenangan. Kita sudah saling mengenal sejak belum tahu bagaimana rumitnya jatuh cinta. Sangat dekat. Saling berbagi, pura-pura membenci, lalu berdamai lagi. Begitu terus berulang. Sampai akhirnya, kita harus menerima risiko sebuah kebersamaan, bahwa akan selalu ada hati yang enggan berpisah. Ya, kita akhirnya, ingin saling memiliki, selamanya.

Aku paham, kegundahan melandamu di akhir kebersamaan kita. Sebuah perasaan yang sama dengan yang kurasakan. Di detik-detik terakhir itu, kutahu, kau meminta agar aku jujur padamu, tentang apa yang kurasakan. Tapi kupilih membungkam suara hatiku. Membenci cinta, dengan cinta. Seperti bunuh diri.

Masih kuingat, kala itu, kita sedang berteduh di sebuah balai kecil. Terpaksa berteduh karena hujan menjebak di tengah perjalanan. Baru saja kita berkunjung ke sebuah bukit, tempat kita menikmati kebersamaan dalam waktu yang panjang. Di sanalah tempatmu melantunkan lagu-lagu, dengan iringan nada gitar dariku, semasih aku bisa menikmatinya.

Di bukit itu juga, tumbuh sebuah pohon yang rindang. Pada rantingnya, burung-burung bersarang dan beranak-pinak. Kita tak pernah lupa untuk mengamatinya. Wujud persembahan alam yang kita klaim milik bersama. Selalu berharap-harap cemas kalau mereka dimangsa binatang liar sebelum telur-telurnya sempat menetas, sebab merekalah penghiasan angkasa kita.

Dan, di sekitar sarang burung kita, di cabang pohon yang lain, tumbuh bunga anggrek yang sangat memesona. Itu tak pernah kau tahu. 

“Apa?” tanyaku, saat hubungan kita tiba-tiba menjadi dingin, sedingin suasana hujan waktu itu.

Kau menunjuk-nunjuk pada jaket yang kugantung di dinding balai, sambil komat-kamit. Kuartikan kalau kau bermaksud mengatakan: Boleh aku meminjam jaketmu?  

Kita tiba-tiba saja saling menyegani. Seketika melupakan kalau selama ini, barang milikmu, adalah milikku juga, dan sebaliknya. Tak perlu minta izin, apalagi dengan cara yang sopan, untuk menggunakannya. 

“Pakai saja,” balasku, datar, sambil meletakkan jaket yang kau maksud di antara kita, lebih dekat dari sampingmu.

Entah bagaimana aku di pikiranmu waktu itu. Kuduga, kau mencapku sebagai lelaki yang tak berperasaan. Tak perhatian. Sudah seharusnya aku menawarkan perhatian kepadamu, tanpa perlu kau minta. Tapi aku tak bisa apa-apa. Aku berada di tengah kebimbangan. Meski hatiku menginginkanmu, aku merasa tak selayaknya memilikimu. Jadi, aku tak ingin memberimu kesan berlebihan, yang membuatmu merindukanku suatu saat nanti.

Seketika juga, kita saling mendiamkan. Sama-sama memandang tetesan hujan yang menghunjam di tanah. Di tengah keheningan itu, kau menyodorkan sebuah kertas kepadaku. Aku mencintaimu. Itulah yang kau tuliskan.

Aku pun dilanda kekalutan. Secepat mungkin, kucabik-cabik kertas darimu itu. Tanpa perasaan. Lalu, kuhempaskan di tengah butiran hujan, sampai tinta perasaanmu itu, meleleh. “Kau pikir aku suka padamu? Aku tak akan suka wanita jelek sepertimu! Gendut, pesek, sipit!”

Kau terdiam. Mematung. Seperti tak menduga aku akan berucap selancang itu. Membenamkan harmoni wajahmu yang sesungguhnya kukagumi. Ya, aku berbohong kalau hatiku tak memuji kecantikanmu. 

“Kita ini hanya teman. Tak mungkin lebih. Apa yang kau katakan ini, sungguh keterlaluan. Aku tak suka!” sambungku, tegas.

Tanpa membalas, kau berlari pergi, di bawah butiran hujan. Menghilang bersama luka yang sengaja kotorehkan. Itulah terakhir kalinya aku melihatmu.

Kini, semua telah berlalu. Kutahu, betapa menyiksanya menorehkan benci pada hati yang dicintai. 

Di balik kegalauan ini, aku tak pernah menyesal, meski harus terus-terusan tersiksa. Sejujurnya, aku tak ingin kau mencintaiku karena rasa bersalah ataupun rasa kasihan. Yang kuinginkan adalah cinta yang saling menghargai dan saling mengandalkan. Sama-sama membutuhkan untuk merasa saling berarti. Kau pastinya lihai mengalunkan nada, tapi aku tak bisa lagi menghargainya apa-apa. Aku tak bisa diandalkan. Itu bukan salahmu. Itu salahku.

Bagaimana sarang burung kita di bukit? Kau masih menjaganya kan? Begitulah tanya yang  kau tuliskan untukku di waktu lampau. Rangkaian huruf itu, kini hanya bisa kubaca berulang kali, sambil membayangkan wajahmu. Entah kapan aku akan memberimu kabar kalau telur burung kita, telah menetas.

Kini, kuingat lagi peristiwa tragis yang telah menimpaku di waktu lampau. Suatu hari, kuputuskan untuk mengakhiri kemelut perasaanku. Kutanjaki pohon tempat burung kita bersarang. Sampai akhirnya, aku terpeleset. Jatuh. Seketika, indra pendengaranku menghilang. Tuli. Jelas kau tak tahu, aku hendak memetik sebuah bunga anggrek di pohon itu, untuk kupersembahkan padamu. Aku tak pernah jujur tentang itu.

Tanah Para Pelupa

Sumini bergembira sepulang dari sekolah. Gurunya mengabari kalau ia termasuk anggota grup dance untuk lomba kesenian tingkat sekolah dasar. Tentu saja ia sangat senang. Apalagi, itu memang sudah jadi impiannya sejak dahulu. Hasratnya tinggi untuk tampil bak idola. Berlenggak-lenggok di atas panggung demi eluhan dan tepuk tangan para penonton.

Kegembiraan Sumini, awet. Ia tak henti-hentinya berlagak bak seorang penari modern yang profesional. Bergerak lentur dan energik. Tak peduli apa pun kata orang. Ia mengangap semua tempat adalah panggung pertunjukan. Gigih berlatih sekeras mungkin, demi kesempurnaan penampilannya nanti. 

Ayahnya, Suparmin, yang seorang seniman tari tradisional, kini semakin heran melihat perubahan perangai Sumini. Usahanya agar sang anak mencintai dan melestarikan seni tradisional, sepertinya gagal. Apa yang diajarkannya selama ini, sama sekali tak berbekas. Sumini tetap tak berminat pada tarian tradisional. Ia malah menggandrungi tarian kekinian yang entah siapa tuannya.

“Mini, dari pada gaya dan gerakanmu tak jelas begitu, lebih baik kamu siap-siap. Sejam lagi, kita ke sanggar. Kau harus sering-sering latihan dengan anak-anak yang lain,” tutur Suparmin.

Memang, latihan rencananya digalakkan. Empat hari lagi, anak-anak sanggar seni Suparmin, akan berangkat ke negeri seberang. Ada undangan khusus dari komunitas seni tradisional. Di sana, akan diadakan pementasan besar untuk menggelorakan kembali rasa cinta atas kekayaan budaya tradisional.

Itu masih dirahasiakan Suparmin pada sang anak. 

Tapi lagi-lagi, Sumini tampak tak berselera.

“Aku tak usah ikut Ayah. Kan, aku juga sedang latihan. Latihan dance,” balasnya dengan polos, sambil tetap bergerak ke sana-sini. 

Suparmin benar-benar tak habis pikir. “Perasaan, Ayah tak pernah mengajarimu tarian semacam itu. Gerakan tari itu harus teratur. Tidak aur-auran kayak begitu, Nak,” serunya.

“Ini seni, Ayah! Guru kesenianku sendirilah yang mengajariku,” balas Sumini, tanpa menghentikan gerakannya yang bak ulat bulu saja. “Keren loh Ayah. Lihat!”

Kini, kekhawatiran Suparmin dahulu, mulai jadi kenyataan. Sumini lupa diri. Tak lagi mencintai budaya bangsa sendiri.

“Tapi, tarian semacam itu kan bukan kebudayaan kita, Nak,” tutur Suparmin.

“Aku tahu Ayah. Pastilah bukan. Ini kan tarian modern. Tarian orang barat. Lah, yang diajari sama Ayah kan tarian tradisional,” tegas Sumini.

“Karena itulah. Seharusnya kau tak ikut-ikutan menari tak jelas semacam itu. Kita harus mempertahankan budaya ketimuran kita, Nak,” kata Suparmin.

“Tapi tarian ini kan tengah digandrungi anak muda, Ayah. Kalau hebat, nanti aku bisa jadi terkenal loh, dan tentu punya banyak penggemar,” ceplos Sumini. “Kalau tarian tradisional mah, lakunya cuma di kampung, Ayah. Mana bisa aku jadi terkenal kalau melakoni tarian begitu, apalagi masuk televisi.

Suparmin tak bisa berkata apa-apa lagi. Kini, ia harus menerima kenyataan kalau Sumini memang enggan jadi pewarisnya. Tak ada harapan. Mimpi buruknya kalau tarian tradisional suatu waktu akan lenyap, seperti tinggal menunggu waktu untuk jadi kenyataan.

“Sudahlah Pak, biarkan saja anak-anak berkembang sesuai minat dan bakatnya,” tutur Sumiati, istri Suparmin, sembari menuangkan segelas kopi untuk sang suami.

“Kok Ibu malah mendukung anak kita salah jalan? Ibu tak khawatir kalau Sumini nanti jadi lupa diri? Lupa budaya sendiri? Lupa kalau kita ini orang timur yang tak sepantasnya tampil kebarat-baratan?” sergah Suparmin.

“Tapi ini sudah abad ke-21, Pak. Kita sudah di zaman globalisasi. Tak ada lagi sekat-sekat antara orang timur dan barat. Kalau mau maju, ya harus membaur. Kalau pikiran kita tertutup dan kudet terus, mana bisa bangsa kita berjaya,” jawab Sumiati.

“Iya, aku paham, Bu. Tapi maju dan berkembang tanpa melupakan jati diri kita sebagai orang timur, kan bisa,” bantah Suparmin. Emosinya meninggi. Jadi tak berhasrat menyeruput kopi panas di depannya.

“Mana bisa, Pak? Budaya kita, tak laku. Kalau mau maju, ya harus melakoni sesuatu yang bisa mengglobal,” sanggah Sumiati. “Sudahlah pak. Biarkanlah tari-tarian tradisional dengan segala embel-embelnya menjadi kenangan kita yang sudah tua. Tak usah Bapak capek-capek mewariskannya kepada anak-anak muda.”

Benar-benar, semua kenyataan itu pahit bagi Suparmin. Orang terdekatnya saja, tak teguh bersamanya. Kini, ia harus berjuang sendiri di antara orang-orang yang lupa diri. Membiasakan diri sepi dalam kehidupan yang mengabaikan moralitas atas nama modernisasi. Rela terasing di dunia yang telah dibutakan penghargaan semu. 

“Ayah, ini undangan dari guruku,” tutur Sumini, semringah, sambil menyerahkan sepucuk surat.

Dalam hati, Suparmin tak berselera mengetahui isi surat itu. “Surat tentang apa Nak?” tanyanya, tanpa keinginan menyibak sendiri isi surat yang digenggamnya.

“Surat undangan menghadiri pementasan dance-ku Ayah. Acaranya diadakan enam hari lagi, di gedung kesenian sekolahku,” jelas Sumini. Terlihat sangat bersemangat. “Ayah bisa hadir kan?”

Suparmin hanya terdiam. Membayangkan betapa horornya menyaksikan anaknya sendiri menari dengan gaya dan gerakan impor di tengah kerumunan penonton. Sesuatu yang tak pernah dibayangkannya dahulu.

Tiba-tiba terdengar suara ketukan di daun pintu rumah. Suparmin pun segera mengecek siapa gerangan yang bertamu. Ternyata, Karman, guru kesenian Sumini di sekolah.

Mereka pun memulai percakapan dengan basa-basi yang tak jelas. Sampai Karman sendiri mengarahkan percakapan tentang maksud kedatangannya.

“Apa surat dari pihak sekolah sudah disampaikan Sumini, Pak?” tanya Karman.

“Iya, sudah,” jawab Suparmin dengan mimik datar. 

Sedari tadi, sebenarnya, Suparmin tak begitu antusias bercakap-cakap dengan lelaki bertubuh gempal dan berkumis itu. Sisi hatinya kesal sebab tahu Karman adalah otak di balik perubahan watak Sumini.  

“Ah, syukurlah. Kami benar-benar mengharapkan kedatangan Bapak di acara besar itu. Banyak pejabat urusan kebudayaan yang akan datang, Pak,” tutur Karman. “Apalagi, Sumini, anak Bapak yang hebat itu, adalah pemimpin di grup dance.

Suparmin cuma nyengir mendengar pujian bak salah alamat itu. 

“Kukira, pantaslah sebab Ayahnya memang seniman handal,” tambah Karman lagi, lalu berdeham. “Oh ya Pak. Aku sebenarnya punya maksud lain ke sini. Kalau bisa, ke depan, pihak sekolah hendak bekerja sama dengan sanggar tari milik bapak. Kami yakin, di bawah bimbingan Bapak, akan banyak anak-anak yang handal nge-dance kayak Sumini.”

Suparmin tersentak. Mimiknya sontak berubah kecut.

“Bapak tak usah khawatir, masalah keuntungannya, biar dibagi secara adil untuk sanggar dan pihak sekolah,” sambung Karman, sembari tersenyum lebar.

Suparmin tak kuasa bersuara.

“Nah, aku kan sudah bilang Pak, sanggar seni harusnya mengajarkan dance, bukan tarian tradisional,” timpal Sumini yang berdiri di samping ayahnya.

Batin Suparmin seakan terbunuh berkali-kali. Ia hendak berontak, tapi tak ada daya. Semua orang yang ia duga seharusnya sepihak dengannya, malah menjadi pembunuh pertamanya. Ia benar-benar tak habis pikir, betapa nilai-nilai kebudayaan kini, telah diabaikan di lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. 

 “Semuanya akan aku pertimbangkan Pak,” tutur Suaprmin, setelah melewatkan beberapa detik untuk menerawang dalam dirinya sendiri. 

Tapi di balik balasannya itu, Suparmin mengokohkan pendiriannya untuk menghadiri undangan pementasan yang diadakan komunitas seni tradisional di negeri seberang. Ia akan membawa serta istrinya dan anaknya. Dan mungkin, ia tak akan kembali lagi ke tanah para pelupa. 

Minggu, 25 September 2016

Akhir Perlawanan Samin

Tanah subur itu telah berubah. Dahulu hanya pedesaan sepi, tapi kini jadi kawasan perkotaan yang penuh hiruk-pikuk manusia. Hutan liar telah dibabat habis untuk dibanguni hunian mewah. Gedung perindustrian menutupi lahan-lahan perkebunan. Tambak-tambak disulap jadi wahana rekreasi modern. Begitulah katanya kehidupan yang maju.
 
Orang desa pun, tak bisa membendung arus modernisasi. Mereka menjual lahan untuk harga menggiurkan, lalu pergi menyingkir ke pinggiran kota, mencari penghidupan baru. Kemudian, waktu akan menggoda mereka untuk kembali. Mungkin untuk sekadar berbelanja, atau jadi buruh di gedung bertingkat, tepat di bekas tanah penghidupan mereka dahulu.

Tapi Samin punya sikap berbeda. Duda berusia senja itu, tak sedikit pun tertarik menjual tanahnya demi segepok uang. Itu demi masa depan, katanya. Tentang menjaga bumi dari kehancuran, juga menghindarkan manusia dari penjajahan gaya baru. Demi semua harapan besar itu, ia rela dipandang asing oleh mata-mata materialis. 

Samin konsisten. Bahkan permintaan anaknya, Armin, agar lahan sawah miliknya dijual saja untuk harga selangit, tak dikabulkan. Padahal, anak semata wayangnya itu, butuh uang pelicin untuk kuliah di sebuah kampus favorit.  Bagi Samin, menyogok adalah perbuatan hina, walau sang anak menilai tindakan semacam itu sudah lumrah di tengah kehidupan kota yang penuh persaingan. 

Armin pun terpaksa mengangggur, dan baru kuliah setahun berikutnya, setelah dinyatakan lulus melalui jalur seleksi tertulis.

Sama juga waktu Armin butuh uang untuk bertarung pada pemilihan kepala desa. Samin pikir, menjual tanah untuk sebuah kekuasaan politik, bukanlah jalan yang tepat. Apalagi jika kekuasaan itu hanya digunakan untuk menumpuk kekayaan. Baginya, hidup sederhana dari hasil bertani, sudah cukup membahagiakan. 

Nafsu Armin untuk berkuasa, akhirnya kandas di awal jalan.  

Armin jadi tak paham maksud ayahnya mempertahankan sebidang tanah itu. Ia tak mengerti, bagaimana bisa sang ayah, di usia senjanya, masih memedulikan persoalan tanah. Sungguh, Armin merasa tak dikasihi. Tak diberikan kebebasan untuk mengecap sumber kesenangan dunia.

Kini, Armin pun teringat percakapan dengan ayahnya beberapa tahun silam.

“Sejak dari dulu, aku kan sudah sarankan agar tanah ini dijual saja Pak. Nanti, dari hasil penjualannya, kita bisa membeli rumah mewah di tengah kota. Sudah bertahun-tahun ditanami padi, toh, hasilnya juga tak seberapa,” tutur Armin, setelah melihat tanaman padinya bersama sang ayah, tak subur.

“Iya. Aku tahu. Tapi setidaknya, kita yang punya. Seberharga apa pun sesuatu, tapi kalau bukan punya kita, ya tak ada artinya,” balasnya, sembari tetap mencabuti rerumputan di sela tanaman padi.

Armin tak suka jawaban diplomatis seperti itu. Dengan setengah gusar, ia terus menyemprotkan racun hama pada tangki yang digendongnya.

“Kau harus paham, Nak, dahulu, para pahlawan rela menumpahkan keringat dan darahnya untuk merebut tanah air ini dari para penjajah. Tugas kita sekarang untuk mempertahankannya. Sejengkal tahan kita, sedikit pun, tak boleh kita gadaikan kepada bangsa asing dengan cara apa pun,” sambung Samin setelah melihat wajah anaknya bersungut-sungut.

“Gadaikan? Dijual pun, kalau menurutku tak apa-apa. Kan bermanfaat juga. Bisa jadi gedung besar yang akan memacu perkembangan ekonomi di kota ini. Nanti kan banyak orang yang bisa dipekerjakan,” sanggah Armin, terkesan memaksakan pendapatnya.

“Iya. Aku tahu. Tapi kau harus pikirkan juga, siapa yang menuai untung di balik sistem kapitalis itu. Coba bayangkan, bagaimana jadinya jika tanah ini dijual kepada para pemodal asing yang tak punya hati, yang memperalat bangsa kita? Bisa-bisa kita jadi budak di tanah air sendiri,” jelasnya Samin dengan lemah lembut.

Armin pun tak berhasrat lagi mengomentari kata-kata ayahnya. Dipikirnya omong kosong saja, sebab ayahnya hanya tamatan sekolah rakyat yang tak layak bicara soal ekonomi makro. Kalau terus ditanggapi, bisa-bisa, sang ayah malah berkisah lagi tentang masa lalunya melawan penjajah. Padahal, ia bukanlah veteran yang pantas berkisah tentang patriotisme para pahlawan.

Sebenarnya, dari penuturannya tentang sejarah masa lalu, Samin layak dinobatkan sebagai veteran. Buktinya, ia punya senapan tua yang dicurinya dari tentara penjajah dahulu untuk digunakan berjuang. Tapi ia tak ingin balasan apa-apa dari negara. Dipikirnya, negara masih perlu dibangun, bukan malah dibebani. 

Dan kini, Samin telah tiada. Armin pun mulai menyadari betapa pesan ayahnya itu dahulu, begitu berarti.

Hari ini, Armin mengunjungi makan sang ayah setelah dua tahun berpulangnya. Ia memang telah tinggal di pelosok desa nun jauh. Hidup sebagai buruh tani. Hanya sesekali ia berkunjung ke tempat kelahirannya. 

Tapi kini, ia berencana kembali menetap di desa kenangannya yang telah berubah menjadi kota metropolitan itu. Ia berharap bisa mendapatkan penghidupan layak dengan mengandalkan ijazah SMA-nya, sebab ia tak lulus kuliah setelah drop out karena perangai malas dan nakalnya.

“Ayah, ayo kita pulang,” tutur Bagas, anak Armin yang masih berusia enam tahun.

Armin tak menggubris ajakan anaknya. Ia masih saja meratap di pusara almarhum ayahnya. Mengenang semua dosa-dosannya yang tak lagi bisa dimohonkan maaf secara langsung, termasuk kesalahan besarnya mengkhianati amanah sang ayah agar menjaga sebidang tanah yang diwariskan kepadanya. 

Apa mau dikata, Armin telah menjual tanah tempat jasad sang ayah bersemayam. Dan mungkin tak lama lagi, tempat peristirahatan ayahnya itu, sekalian, akan diubah para pemilik tanah dan penguasa modal menjadi pusat perdagangan modern. Ditanami gedung-gedung bertingkat, tempat menjual segala macam barang impor. Menggilas atau menggeser jasad almarhum yang terbaring tenang di dalam tanah peninggalannya.

Air mata Armin pun menetes.

“Kanapa Ayah menangis? Apa Ayah punya salah sama Kekek?” tanya Bagas lagi. Lugu.

“Aku cinta sama Kakek, Nak,” jawab Armin, sembari mengusap-usap rambut sang anak.

Bagas takzim.

Lama Armin bernostalgia dengan bayang-bayang ayahnya. 

Sore pun menjelang. Armin dan anaknya berjalan pulang ke kontrakan sederhananya. Meninggakan kuburan ayahnya yang terlihat biasa saja, sebagaimana permintaannya sebelum meningggal. Jauh berbeda dengan kuburan para penguasa dan hartawan yang terlihat istimewa.

“Ayah tak kerja hari ini?” tanya Bagas.

Bagas memang tahu kalau ayahnya bekerja sebagai satpam di sebuah mal yang mereka lewati selepas dari kuburan. Tapi ia tak tahu kalau gedung megah itu berdiri di atas tanah milik kakeknya dahulu.

“Tidak Nak. Hari ini, Ayah tak ada tugas,” balasnya, sembari tersenyum.

Mereka pun terus berjalan. Menapaki susunan batako dan beton yang menutupi permukan tanah.

“Veteran itu apa Ayah?” Aku dengar, kakek temanku veteran,” tutur Bagas. Ia teringat beberapa hari lalu, ketika teman-teman sekelasnya saling menyombong-nyombongkan kakek-nenek menjelang peringatan hari kemerdekaan. Dan kala itu, ia tak bisa membela diri.

“Veteran itu, orang-orang yang telah berjasa melawan penjajah dahulu, sampai akhirnya bangsa kita merdeka. Mereka itu para pejuang, Nak,” jelas Armin. 

“Apa Kakek seorang veteran?” tanya Bagas lagi.

“Entahlah Nak. Kakekmu memang tak dinobatkan sebagai veteran. Tapi aku yakin, dia itu pejuang. Seorang pahlawan, meskipun tanpa tanda jasa,” tutur Armin.

Ya, kini Armin sadar, betapa almarhum ayahnya, telah berjuang untuk bangsa dan negara seumur hidupnya. Berbeda dengan dirinya yang tak lebih dari seorang penghianat.