Minggu, 31 Juli 2016

Reshuffle Kabinet Semau Presiden?

Salah satu topik pemberitaan yang menjadi polemik belakangan ini adalah keputusan Presiden Jokowi melakukan reshuffle kabinet jilid II. Sejumlah menteri pun diganti, tapi ada juga yang hanya bergeser posisi. Terhitung, ada 12 menteri yang di-reshuffle
 
Dalam pidatonya, Presiden Jokowi mengungkapkan bahwa reshuffle kali ini, ditujukan untuk memperkuat ekonomi nasional dalam menghadapi tantangan global, termasuk dengan memperluas lapangan kerja. Selain itu, juga untuk membuat kabinet bekerja lebih cepat, efektif, dan solid.

Keputusan reshuffle itu pun menjadi bahan analisis sejumlah pengamat, terutama pengamat politik. Sebagian besar di antaranya menyimpulkan kalau reshuffle kali ini, dilatarbelakangi oleh kepentingan politik. Yang paling santer terdengar adalah untuk “mengikat” partai Golkar dan PAN yang baru bergabung dengan pemerintah. Semuanya demi meningkatkan kekuatan partai pendukung pemerintah di legislatif.

Reshuffle kabinet sejak dari dulu, memang dinilai sebagai lahan kekuasaan presiden yang tak bisa direcoki siapa pun. Hak prerogatif istilahnya. Imbasnya, pengamat dan masyarakat biasa yang merasa keputusan reshuffle tidak tepat, bahkan dinilai menghianati kepentingan rakyat, hanya bisa menggerutu dalam hati dan gigit jari.

Demi melindungi kepentingan rakyat, kiranya reshuffle kabinet perlu dikaji dari perspektif hukum, bukan sekadar perspektif politik yang sifatnya prediksi dan konklusinya tidak mengikat. Tujuannya untuk mengelaborasi “rambu-rambu” hukum reshuffle kabinet, agar tak dilakukan secara serampangan. 

Uji Konstitusionalitas

Secara tersurat, dasar konstitusional terkait reshuffle kabinet, tercantum di dalam Pasal 17 ayat (1), (2), (3), dan (4) UUD NRI Tahun 1945. Bunyi ayat-ayat itu berturut-turut: (1) Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara; (2) Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh presiden; (3) Setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan; (4) Pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian negara diatur dalam undang-undang.

Jika diktum konstitusi itu dicermati, maka terkait dengan kewenangan konstitusional presiden dalam pengisian jabatan menteri, hanya gamblang disebutkan pada ayat (2), bahwa menteri diangkat dan diberhentikan oleh presiden. Tapi itu masih perlu dikaji, apakah kewenangan tersebut juga mencakup proses, dalam hal ini memilih sosok menteri, ataukah sekadar mengesahkan pemberhentian/pengangkatan seorang menteri.

Bahasa konstitusi yang umum, memang tidak merinci bagaimana proses pengisian jabatan menteri. Karenanya, berdasarkan konstitusi, belum bisa dikatakan bahwa presiden mengusai wilayah jabatan kementerian secara penuh. Kalau dikatakan menteri harus disahkan oleh presiden, jawabannya: iya. 

Di sisi lain, memang tidak berdasar juga kalau pengisian jabatan menteri dipersyaratkan harus dengan pertimbangan atau persetujuan lembaga lain, semisal harus dengan pertimbangan DPR sebagaimana pengangkatan duta besar. Bisa dikatakan bahwa pengisian jabatan menteri memang merupakan wilayah eksekutif. Namun, itu tidak berarti presiden dapat bertindak semaunya.

Tidak salah kemudian, jika para perumus UUD mengamanahkan pengaturan lebih lanjut tentang kementerian negara sebagaimana disebutkan pada ayat (4). Wujudnya kini adalah UU No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Di situ, diatur secara rinci terkait kelembagaan kementerian, termasuk juga tentang pengisian jabatan menteri.

Dasar pengangkatan menteri diatur secara jelas pada Pasal 22-23 UU tersebut. Syarat pengangkatan menteri di antaranya: memiliki kepribadian dan integritas yang baik, serta tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih. Selain itu, juga tidak merangkap jabatan, baik sebagai pejabat negara, komisaris/direksi di sebuah perusahaan swasta, ataupun sebagai pimpinan organisasi yang dibiayai dari APBN dan APBD.

Selanjutnya, pada Pasal 24 ayat (2) UU tersebut, dinyatakan bahwa menteri diberhentikan karena alasan mengundurkan diri, tidak dapat melaksanakan tugas selama tiga bulan berturut-turut, dipidana karena perbuatan dengan ancaman pidana lima tahun atau lebih, serta melanggar ketentuan larangan rangkap jabatan. 

Memang, pada Pasal 24 ayat (2) huruf e, dinyatakan bahwa presiden dapat menetapkan alasan pemberhentian yang lain. Tapi sama sekali, kewengan tersebut tak boleh mengingkari secara penuh alasan pemberhentian lainnya, yang disebutkan secara tegas. Apalagi kalau alasan presiden itu, tidak ditetapkan menurut formalitas aturan hukum, tetapi hanya berdasar ketetapan batin presiden: suka atau tidak suka, lalu diumumkan secara verbal.

Negara Bukan Perusahaan Keluarga

Berkaca pada konstitusi dan aturan hukum, tak bisa dibantah bahwa pengisian jabatan menteri, memang menjadi kewenangan presiden. Tapi bukan berarti presiden bisa melakukan reshuffle kabinet semaunya. Itu karena konstitusi dan aturan hukum, telah menggariskan syarat-syarat tertentu dalam pengisian jabatan menteri. 

Mengingat menteri adalah jabatan pemerintahan yang memiliki dasar konstitusional serta menggunakan fasilitas kenegaraan, maka selayaknya, pengisian jabatan itu harus dilakukan menurut aturan hukum bernegara. Makanya, keputusan pengangkatan dan pemberhentian menteri, harus disertai dengan alasan-alasan yang rasional sesuai aturan hukum, dan demi kepentingan masyarakat. 

Kalau pun reshuffle dinilai urgen untuk dilakukan, maka berbarengan dengan itu, presiden harus mengemukakan alasan-alasannya kepada rakyat. Tolak ukurnya adalah bagaimana tantangan yang bangsa yang tengah dihadapi, serta bagaimana kinerja seorang menteri. Tak kalah pentingnya, aspirasi masyarakat juga harus dipertimbangkan. Reshuffle harus semata-mata untuk meningkatkan kinerja pemerintahan, bukan untuk kepentingan politik semata.  

Yang terendus pada reshuffle kabinet jilid II kali ini, dan mungkin pada reshuffle sebelum-sebelumnya, bahwa kepentingan politik, selalu saja menjadi dasar utamanya. Tak mengherankan, timbul banyak kekecewaan dari masyarakat. Bahkan diduga kuat, reshuffle dijadikan momen bagi-bagi “kue”. Termasuk juga, menuruti pesanan jabatan “dewa-dewi bayangan” yang selalu menghantui kemerdekaan presiden. 

Sudah waktunya mengembalikan pengisian jabatan menteri untuk kepentingan rakyat. Janganlah menteri sebagai jabatan pemerintahan negara, digadaikan demi kepentingan politik. Janganlah, kerja kementerian menjadi amburadul karena reshuffle berulang-ulang, akibat mengikuti “cuaca politik” yang tak menentu. Terlebih, kedudukan menteri terkait dengan pelaksanaan program pemerintah yang akan berdampak langsung kepada masyarakat, sehingga membutuhkan iklim kerja yang kondusif secara berkesinambungan.

Berdiri di atas diktum negara hukum sebagaimana digariskan Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945, maka selayaknya, perangkat negara dikelola berdasarkan aturan hukum. Bahkan Presiden sebagai pejabat negara pun, harus patuh pada aturan hukum, apalagi selevel konsitusi dan UU. Ini negara, bukan perusahaan keluarga!

Sabtu, 30 Juli 2016

Karma

Tabiat Satria memang unik. Umurnya baru sepuluh tahun. Tapi pemikirannya tentang kehidupan, terlampau dewasa bagi anak-anak seumurannya. Jika sebayanya gemar menonton sinetron atau kartun, ia malah suka berita. Dahulu, ia memang merengek kalau tayangan kesukaannya, dipindahkan. Tapi karena ayahnya suka menonton berita yang katanya informatif dan mendidik, ia pun jadi terbiasa juga.
 
Tayangan berita yang kerap ditontonnya bersama sang ayah adalah tentang penegakan hukum. Wajar, sebab ayahnya, Sudarmono, memang seorang polisi bagian reserse yang berurusan dengan persoalan kriminal. Dan, setiap kali menonton kegagahan para aparat kepolisian di layar kaca, ia akan mengelu-elukan ayahnya. Jadi bangga memiliki memiliki sosok ayah seorang pemberantas kejahatan. 

Rasa kagum dari sang anak, memang diharapkan Sudarmono.

Sudarmono tidak hanya dikagumi sang anak, tetapi juga orang-orang di lingkungan sekitarnya. Apalagi, ia sering muncul di televisi untuk melaporkan serangkaian tindak kriminal yang berhasil diselesaikan timnya. Tampil berbicara lantang, penuh kebanggaan. Semringah memampang wajahnya di depan kemera, sembari menjelaskan detail identitas pelaku kriminal dan tindakannya. Ia bak malaikat, dan penjahat adalah iblis. 

Terakhir, Sudarmono berhasil menguak tindak pencurian buah kakao di lingkungan tempat tinggalnya. Sudah lama warga diresahkan tindakan penilep itu. Secara sigap, ia mampu mengendus sang pelaku dan menangkapnya saat sedang beraksi di gelap malam. Mengejutkan. Ia adalah tetangga Sudarmono sendiri, Sumar, seorang warga miskin yang dikenal baik.  

Kasus Sumar belakangan menyita perhatian publik karena menyentuh sisi kemanusiaan. Sudarmono pun kerap menuturkan perkembangannya kepada awak media. Inti katanya, belas kasih harus digantung di depan hukum. Kejahatan, tetaplah kejahatan. Apa mau dibuat, Sumar harus menerima kenyataan dirinya sebagai penjahat kacangan. 

Atas keberhasilannya menyelesaikan beragam jenis kasus, tidak lama lagi, Sudarmono akan dihadiahi kenaikan pangkat. Ia dianggap sosok penegak hukum yang patut diteladani. 

Di luar aksi heroik Sudarmono penuh puja-puji itu, Satria malah merasa ada yang hilang. Persahabatannya dengan Madun, anak Sumar, retak. Karena itu juga, kali ini, ia merasa kurang senang atas prestasi ayahnya. Ia pun jadi malas menonton berita seperti biasanya.

Bagi Satria, Pak Sumar bukanlah penjahat. Ia tahu betul pesan gurunya di sekolah, kalau manusia tak luput dari kesalahan. Makanya, setiap orang harus senantiasa bertobat kepada Tuhan, dan saling memaafkan sesama manusia. Ia yakin, Pak Sumar hanya khilaf atau terpaksa mencuri kerena tekanan ekonomi. 

Kini, setelah hilang kedekatan dengan Madun, Satria sering berandai-andai, entah bagaimana jika ia adalah Madun. Tentu, sangat memilukan memiliki sosok ayah yang dianggap hina di mata orang-orang. 

Seminggu berlalu setelah penangkapan Pak Sumar, Satria mencoba mengunjungi Madun untuk mengajaknya bermain bersama lagi. Ia menduga, teman dekatnya itu telah menerima kenyataan akan ayahnya. 

“Hai Madun,” sapa Satria. 

Kali ini, Madun tengah bermain kelereng seorang diri di kolong rumahnya. Padahal, harus ada lawan dalam permainan tradisional itu. Apa mau dibuat, karena malu bergaul seperti biasa, ia terpaksa melawan dirinya sendiri.

 “Hai. Ada apa?” tutur Madun setelah menjentikkan bola kelerengnya.

Satria bingung harus bagaimana membalasnya.

“Ayo main,” ajak Madun.

Satria kaget mendengar tutur Madun. Ia tak menduga, temannya yang berpenampilan kucel itu, akan baik-baik saja dengan apa yang telah terjadi di antara ayah mereka. 

“Bagaimana keadaan ayahmu?” Madun bertanya lagi, sembari menatap tegas mata Satria. 

Lagi-lagi, Satria terheran. Ia merasa, pertanyaan itu harusnya meluncur dari mulutnya. “Ya, baik-baik saja. Tapi sejak dua hari lalu, ia tak pulang-pulang. Kata ibuku, ia ada tugas di luar kota,” balas Satria dengan kaku. 

Setelah memosisikan kelerengnya di arena permaian, Madun menyerahkan sebuah kelereng kepada Satria. Mimik datar. Tapi kalau begitu, ia belum tentu memendam perasaan tak enak. Kehidupan yang keras, membuatnya jadi susah tersenyum.

Satria pun menerima kelereng itu, lalu melemparkannya juga ke dalam garis lingkaran, lapangan permainan. “Kau bagaimana? Maksudku, ayahmu, bagaimana kabarnya?” tanya Satria, begitu segan.
“Ya, baik-baik saja. Tadi, aku bicara dengannya lewat telepon,” balas Madun.

“Kau tahu, aku tak pernah sepaham dengan ayahku yang selalu menilai orang itu jahat, harus dibalas dengan derita dan kenistaan,” tutur Satria, lalu lekas terdiam. Ia seperti berpikir, tepatkah kata-kata yang baru saja ia ucapkan. “Maksudku, aku tahu ayahmu. Dia orang yang baik.” Ia terdiam lagi barang beberapa detik. “Madun, maafkan ayahku ya. Aku tak ingin kita saling membenci karena kasus itu.”

Karena kelerengnya lebih mendekati garis tengah, Madun menembak lebih dulu. Jitu. Ia berhasil memukul keluar kelereng Satria. Sekilas, ia tersenyum bangga. 

“Ah, kau tak usah terbebani karena itu. Ayahku memang salah. Ia mengakui perbuatannya. Kurasa, kuharap kasus itu akan menyadarkannya kalau semiskin apa pun kami, pasti ada jalan benar untuk memperoleh rezeki yang halal. Semoga ayahku benar-benar bertobat dan orang-orang memaafkannya,” tutur Madun.

Satria terkesima mendengar ucapan bijak Madun, sampai tak tahu harus berkata apa. Ia kagum menyaksikan ketabahan temannya itu. 

“Oh, ya. Aku harap, ayahmu sabar menghadapi kasusnya. Aku tahu, semua orang percaya kalau dia orang baik. Aku selalu yakin, penjara tak menentukan bahwa seseorang yang khilaf, tak punya masa depan untuk memperbaiki dirinya,” lanjut Madun.

“Maksudmu?” tanya Satria, penuh penasaran. Kali ini, ia bingung.

“Kau tak menonoton televisi belakangan ini?” Madun balik bertanya.

Satria menggeleng. “Tidak.”

“Aku tak ingin menjelaskannya padamu. Sebaiknya, kau segera pulang, lalu menonton berita. Aku harap kau segera tahu,” tutur Madun, kemudian memunguti semua kelereng miliknya. Setelah itu, ia bergegas menaiki rumah panggungnya.

Beserta perasaan yang tak keruan, Satria melangkah pulang ke rumahnya, cepat-cepat. Ia mulai curiga, kenapa dua hari belakangan, ibunya menyarankan agar ia tak menonton televisi. Ia pun sepakat saja, tanpa tahu apa alasan ibunya mendukung keputusannya untuk tak menonton lagi, terutama berita. 

Sesampai di rumah, Satria lekas menyalakan televisi, lalu mencari siaran warta berita. Beberapa detik kemudian, rasa penasarannya berubah menjadi kekalutan, entah bagaimana mengistilahkannya. Seakan separuh nyawanya melayang kala menyaksikan tulisan berjalan di tepi bawah layar: Kompol Sudarmono Diperiksa terkait Kasus Pemerasan Pelaku Kejahatan yang Ditanganinya

Dan, sepertinya, hari-hari esok, giliran Satria menyendiri di rumah, menunggu hari berganti, sampai nanti, Madun datang mengajaknya bermain.

Jasa Tanpa Nama

Sore tadi, penunjuk jalan di dasar bukit menuju rumahku, lenyap. Padahal, tanda jasa itu baru saja terpampang dua hari lalu. Aku baru tahu tengah hari tadi, setelah seorang warga memberi tahuku. Di papan persegi yang terbentang pada tiang balok kayu itu, tertulis sebuah nama: Jumang. Sang pemilik nama adalah almarhum Ayahku sendiri. Selama hidupnya, ia memang berjasa bagi warga di desaku. Hanya segelintir orang yang tahu dan mengakui baktinya, termasuk aku.
 
Sebenarnya, aku tak pernah meminta para mahasiswa KKN (Kuliah Kerja Nyata) untuk membuat plang itu. Tapi, mereka tiba-tiba saja menegakkannya tanpa berkonsultasi denganku. Kuduga, mungkin karena saran dari beberapa masyarakat desa yang tahu jelas sepak terjang Ayahku. Bisa jadi juga karena rumah peninggalan orang tuaku, adalah satu-satunya rumah yang bertahan di bukit, di tengah kebun. Rumah warga lainnya, telah berkumpul di tanah datar, di lembah.

Kuingat lagi pesan ayahku dahulu, kalau keikhlasan adalah sumber kebahagian, juga nyawa dari amalan. Tanpa keikhlasan, kehidupan akan dirisaukan dengan perhitungan-perhitungan duniawi. Jelas, aku terilhami prinsip hidup itu. Karenanya, kuyakini, plang nama tak berarti apa-apa bagi ayahku, dan aku. 

Sampai kini, aku jadi risih sendiri melihat perjibakuan orang-orang demi tanda jasa. Sengaja mengumbar kebaikan, agar dipuji dan dipuja sebagai orang berbakti. Apa-apa, dasarnya pamrih. Parahnya, ada juga yang menobatkan dirinya sendiri sebagai pahlawan. Sungguh memilukan. 

Syukurlah, almarhum Ayahku adalah pendidik sejati. Ia selalu mengajariku hikmah, sampai aku paham betapa menentramkannya ikhlas berbuat baik bagi sesama. Buktinya, ia tak pernah memacing keegoisanku, termasuk membanding-bandingkan pencapaian individualku dengan anak orang lain, sebagaimana kebiasaan orang tua yang menganggap gelar pengakuan adalah segalanya. 

Beberapa tahun lalu, saat aku masih duduk di bangku sekolah, prestasiku tidaklah menonjol. Padahal, jika dipikir-pikir, persaingan tidaklah terlalu berat. Tak ada otak jebolan kota yang katanya pintar-pintar. Sekolahku hanya jadi favorit bagi masyarakat dari beberapa desa. Jarak yang dekat jadi alasan utama. 

Pada halaman sekolah itu, di samping jalan desa, terpampang susunan huruf dari aluminium: SMA Amir Bakti. Ya, sekolah itu hanya sebuah lembaga pendidikan swasta milik Yayasan Amir Bakti, sebuah yayasan yang mengelola sekolah dari jenjang SD sampai SMA. 

Selama sekolah di sana, aku tak pernah meraih ranking I kelas. Paling banter, hanya ranking IV. Prestasiku jelas jauh tertinggal dari Dion Bakara, anak Bapak Amir Bakti, sang pemilik yayasan. Dia selalu ranking I umum. Padahal, ia sering kali tak masuk kelas karena izin turut serta ayahnya ke luar kota.  

Tapi untungnya, setiap kali aku pulang ke rumah dengan menenteng rapor berisi nilai yang tak maksimal, ayahku tak pernah kecewa. Itu tak masalah baginya. Ia memang tak pernah memasang target bahwa aku harus meraih ranking I. Aku saja yang merasa harus mempersembahkan yang terbaik untuknya. Apalagi kutahu, biaya sekolah yang dipatok pihak yayasan, tergolong mahal. Sedangkan penghasilan Ayahku dari hasil kebun jambu mete, tak seberapa. 

Di setiap pengakuanku atas kegagalan, ayahku malah berpesan kalau semua penghargaan untuk diri sendiri, tak lebih berharga daripada berbuat kebaikan untuk sesama, meski tanpa penghargaan sedikit pun. Karena prinsip itu pula, aku diajarinya agar terbiasa berbuat baik bagi sesama, tanpa pamrih.

Salah satu bakti Ayahku bagi masyarakat, adalah kegigihannya membentuk jalan menanjak yang melintas di samping rumahku. Banyak sore yang dilaluinya selama hidup untuk mencangkul sedikit demi sedikit lereng bukit. Sampai akhirnya, jalan itu dapat dilintasi masyarakat dengan kendaraan bermotor menuju ke lahan perkebunannya. 

Plang nama jalan itulah yang kini lenyap.

 “Ayah tidak marah kan kalau aku tak ranking I di kelas?” tanya Suman, anakku yang kini duduk di kelas kelas IV SD. Ia adalah siswa di SD Amir Bakti, sekolahku dahulu. Ia sepertinya tak kuasa untuk segera mengetahui kesanku terhadap isi rapornya, setelah sedari tadi, aku tak menanyainya. 

“Tak mengapa Nak. Ranking itu kan hanya berguna untuk dirimu saja. Yang lebih penting, adalah menjadi berguna bagi banyak orang. Makanya, kau harus bersekolah tinggi-ringgi, bukan untuk mencari ranking dan gelar juara, tapi agar kau berilmu. Nah, nanti kau gunakan ilmumu untuk memberi kemanfaatan bagi orang lain,” pesanku. Sebenarnya, aku hanya mengggulang wejangan Ayahku dahulu.

Diam-diam, meski tak memperoleh ranking, aku akan berusaha menyekolahkan Suman hingga janjang pendidikan formal setinggi-tingginya. Kuharap suatu saat, ia akan memiliki kedudukan, sehingga mampu berkontribusi dalam memperbaiki sistem kehidupan yang telah mencabik-cabik norma. Ia tak boleh sepertiku, seorang petani, tamatan SMA, yang hanya bermimpi tentang keadilan dan keteladanan. 

Entah sudah beberapa kali aku menawarkan diri untuk menjadi guru honorer di Yayasan Umar Bakti, tapi selalu ditolak. Di sana, guru-guru haruslah sanak saudara sang pemilik yayasan. Padahal, aku selalu berhasrat mendidik anak-anak lain agar tak terus-terusan dibutakan predikat duniawi, yang akan membuat mereka lupa diri akan esensinya sebagai manusia. 

Suman yang sedari tadi hanya tertegun setelah mendengarkan balasanku, kembali bersuara, “Eh, Ayah tahu tidak, kalau kepala sekolahku, Bapak Dion, yang teman sekolah ayah itu, tadi dijemput polisi loh. Kata warga sih, dia korupsi uang iuran sekolah,” jelasnya. Mimiknya tak setegang sebelumnya. 

“Oh, ya? Ayah baru tahu.” Aku pura-pura kaget mendengarnya, walau sebenarnya, sejak kemarin aku sudah mengetahuinya. Bahkan jauh sebelumnya, aku telah menduga. “Makanya, selain sekolahmu harus tinggi-tinggi, kau juga harus menjaga kemuliaan hatimu. Tak usah mengejar kakuasaan dan sederet penghargaan, apalagi menjadi orang kaya dari uang haram. Sekolah itu, ya supaya jadi orang benar. Jangan sekali-kali mengambil hak orang lain.”

Ia khidmat mendengar nasihatku. Sambil tersenyum, ia berucap, “Iya, Ayah. Aku akan jadi anak yang baik seperti yang ayah inginkan,” tuturnya. 

“Baiklah, saatnya kau pergi tidur. Besok kan kamu libur. Bangun cepat-cepat, agar kita bisa ke bukit. Saluran air tersumbat lagi. Kau bisa kan bantu Ayah?” tanyaku.

Dua tahun lalu, demi mewujudkan keteladanan Ayahku, memang telah kubangun penampungan air di samping rumahku. Selain untuk keperluan keluarga kecilku, air yang tampungan air dari sungai kecil di lereng bukit itu, juga mengalir ke rumah warga di lembah. Jika dahulu, warga harus membeli air kala musim kemarau berkepanjangan, sekarang tidak lagi. Syukurlah.

“Baik Ayah,” balasnya, takzim.

Di malam yang dingin ini, aku kembali menerawang jauh ke masa laluku. Aku bersyukur, dianugerahi sosok ayah yang begitu berpengaruh bagi kepribadianku.

Kantukku tak tertahankan lagi. Aku pun lekas mematikan api sisa pemasakan, sekaligus penghangat badan dari selimut embun yang dingin. Hanya tersisa bara dari pembakaran kayu plang penunjuk jalan yang diduga hilang oleh warga. Aku sengaja melenyapkannya demi pesan ayahku. Dengan cara itu, aku menjaga penghargaan yang setinggi-tinggi baginya: keikhlasan.