Sabtu, 11 Juni 2016

Abaikan Aku yang Tak Rupawan!

Adakah kejujuran saat mengatakan kehidupan ini adil? Nyatanya, kesenjangan terjadi di mana-mana. Hidup penuh perbandingan. Semua harus tentang menang dan kalah, kaya dan miskin, cantik dan jelek, dan seterusnya. Jadinya, yang dipandang tak lebih baik, dianggap lebih rendah. Hina.

Sulit menemukan jawaban menentramkan, tentang mengapa harus ada perbedaan? Apa gunanya Tuhan menciptakan kejelekan jika nyatanya kecantikan itu objektif di mata manusia berdasarkan kriteria tertentu? Bukankah itu adalah akar ketidakadilan? Jadi, jangan heran jika pertikaian tak pernah berakhir, sebab ketidaksetaraan terus ada. 

Hidup ini jelas tak adil. Buktinya, tak seorang pun tertarik padaku. Aku jelas tak rupawan. Jelek! Kurasa, tak ada kualifikasi kecantikan yang kumiliki menurut pandangan mata manusia. Jadi, bohong jika ada yang mengatakan semua wanita cantik. 

Lalu, di mana keadilan ketika yang lain diciptakan cantik, sedangkan aku tidak? Hidungku tak mancung, mataku terlalu sipit, bibirku tak tipis, kulitku juga tak cerah. Jika dirinci satu per satu, tak ada sedikit pun nilai kecantikan di ragaku, menurut standar manusia zaman sekarang 

Entah aku bisa masuk ke dalam kategori keelokan apa. Mungkin tak ada. Aku tidaklah cantik, menarik, manis, apalagi imut. Aku jauh dari kata rupawan. Bukan berarti aku tak menyukuri keadaanku. Semua vonis itu berdasarkan bukti, bahwa tak seorang pun tertarik padaku. Bahkan sampai saat ini, tak ada seorang pun yang sudi sebatas memujiku. Sungguh!

Jujur saja, baru akhir-akhir ini aku mengutuk keras keadaanku. Bagaimana tidak, sosok lelaki yang kuidamkan, mengabaikanku tanpa perasaan. Sungguh menyakitkan tentunya, jika seorang yang diharapkan, malah mencampakkan. Sakitnya makin menjadi-jadi jika sikap tak acuh sang dambaan, dikarenakan ketertarikannya kepada orang lain. Karena perbandingan, lagi.

Aku ceritakan saja kepahitanku. 

Pada suatu hari, aku hendak mengembalikan novel milik lelaki impianku, Dion, secara langsung,. Sikapku memang terkesan lancang dan terlalu berani. Aku tak akrab dengannya. Alasannya lagi, novel miliknya itu kupinjam melalui teman dekatnya, yang juga teman dekatku, Dini. Gadis itulah yang menawarkannya padaku. Karena itu, seharusnya, aku mengembalikan novel tersebut melalui wanita manis itu juga. Tapi karena hasratku sudah begitu menyesakkan, waktu itu, kuputuskan untuk memulai pendekatan padanya.

“Permisi, ini novel punya Kakak yang aku pinjam kemarin. Maaf, aku meminjamnya dari Dini,” tuturku, mencoba bertutur semenarik mungkin. 

Dia tampak heran dengan sapaanku. Mimiknya penuh kebingungan. Sorot matanya tak fokus. Gerak-geriknya terlihat mati gaya. 

Dia lalu mengambil dan menyibak lembaran novel itu satu per satu. Setelah itu, ditutupnya segera. “Ok, baiklah. Dini mana?” tanyanya cepat. Berbasa-basi denganku sepertinya tak penting menurutnya dibanding bertemu dengan Dini.

Aku tentu sangat kecewa waktu itu. Tak sedikit pun ia bersikap lebih baik dari biasanya. Tetap cuek atau mungkin abai. Padahal aku tak terlalu berharap. Mauku, setidaknya, ia bertanya perihal kesanku terhadap novelnya itu. 

“Terima kasih Kak,” tuturku lagi. Kekalutan membuatku jadi lupa menjawab pertanyaannya.

“Iya,” balasnya dengan mata yang menyorot ke segala arah, melewatkan bola mataku. “ Aku harus menemui Dini.”

Dia lalu beranjak pergi. Suasana segera menjadi lengang. Hampa di jiwaku. Waktu membawanya pergi tanpa ada kesan berarti. Tak sekali pun ia bersikap tegas ke arahku, apalagi merekahkan senyumnya. Entah dia segan atau memang enggan.

Kepercayaan diriku, runtuh sejak saat itu. Mulai kubiasakan diri tak menghiraukan tentangnya. Tak kupermasalahkan lagi jika ia mengabaikanku terus-menerus. Sudah kurelakan jika ia dekat dan nyaman dengan wanita lain, bersama mereka yang rupawan, termasuk dengan Dini. Kutahu, wanita itulah yang mampu membuatnya merasa berharga. Keduanya memang sepasang rupawan. Serasi.

Diam-diam, aku yakin, mereka berdua, Dion dan Dini, telah memiliki hubungan yang lebih dari sekadar pertemanan. Aku pastikan itu dari pengakuan tertulis Dion di salah satu lembaran novelnya yang telah kupinjam tempo hari. Ada goresan puisi di sana. Kuyakin, gubahnya itu untuk Dini. 

Bidadari Tuhan, apa kabarmu?
Jika kau menyibak tirai jendela di pagi hari ini, aku adalah embun
Diam-diam memata-mataimu sepanjang malam tadi
Jika kau terjaga saat matahari meninggi, aku telah menghilang, berubah jadi awan
Besok-besok, aku akan datang berupa butir-butir hujan
Memberimu ketenangan, atau menghapus jejakku sendiri
 
Puisi itu tak mungkin untukku.

***

Beruntunglah, bersamaan ketidakadilan, selalu ada kejutan. Memastikan sesuatu dengan tolok ukur indra manusia, ternyata tak ada jaminan. Nyatanya, di dunia ini, ketidakmungkinan adalah sesuatu yang mungkin jika Tuhan menghendaki. Itu persis dengan kisah kami. Aku tak pernah menduga, dia, Dion, yang bagiku sangatlah tampan, akhirnya menambatkan hatinya padaku yang tak rupawan 

Ketidakyakinanku sebelumnya, bukan saja karena aku merasa tak layak untuknya, tetapi juga karena perbandingan sesatku. Aku selalu yakin, dia akan memilih Dini sebagai pendamping hidupnya. Wanita berwajah indo itu memang tampak lebih cocok dengannya. Tapi bagaimana ketidakmungkinan ini bisa terjadi?

“Bukankah dulu sebaiknya kau memilih Dini? Dia lumayan cantik. Kurasa dia juga menyukaimu?” tanyaku, sambil membelai rambut Jinan, putri kami yang wajahnya kurasa lebih mirip dengan Dion, suamiku.

Dia sontak berpaling padaku. Sepertinya ia tak menduga kalau aku akan bertanya tentang itu. “Kenapa kau berpikir begitu? Memangnya kau benar-benar rela kalau aku bersama Dini?”

Pertanyaan baliknya membuatku kalang-kabut sendiri. Tentu terlalu bodoh jika kukatakan kalau sedari dulu, aku memendam perasaan mendalam padanya. Itu akan membuatnya semakin besar kepala, sampai aku tak punya harga diri lagi di matanya. “Aku malah ragu kau tega berpaling dariku sejak dahulu. Apalagi, dia juga tak lebih dariku. Aku yakin kau masih punya mata untuk melihat siapa yang lebih cantik: aku!” balasku, sambil menunjuk ke arah wajahku sendiri, berusaha tampak percaya diri.

“Ya, kau memang lebih cantik, menarik, manis, imut, atau apalah. Terserah kamu!” balasnya, dengan mimik yang terkesan meledek. 

Aku tak menghiraukan sikapnya, berusaha menunjukkan sikap protes secara diam.

Berselang, tiga detik, Dia berbalik dan berucap, “Kaulah wanita tercantik di mata dan hatiku.” Ekspresinya tampak sungguh-sungguh. Seperti sadar sendiri kalau ledekannya yang berlalu, tidak pantas dianggap lelucon. “Aku menggantungkan segenap cinta di dalam sukmaku, bukan pada kerupawanan fisikmu yang lekang oleh waktu. Aku ingin abadi bersamamu. Karena itu, aku selalu rindu menanti saat kita dianugerahi keturunan yang akan memadukan dan mengabadikan kita, sampai tak terhingga generasi. Sejak mengenalmu, aku melihat keluargaku yang bahagia.”

Katung air mataku tergelitik. Terharu. Aku tak menduga dia handal juga menyanjung. “Gombal!”

“Terus terang, aku merasa sangat beruntung memilikimu. Kau tahu, dahulu, aku tak pernah percaya diri akan bisa meruntuhkan perasaanmu. Kau orang yang serius, tertutup, dan sulit ditebak. Tipemu waktu itu tak cocok diajak bercanda, apalagi dipermainkan. Itu sebabnya, aku tak berani memperlakukanku sebagaimana teman wanita kita yang lain. Aku segan padamu,” tuturnya. 

Aku memandang lekat-lekat matanya, sambil meredam otot pipiku yang memaksa mengembang.

“Kau mungkin merasa beruntung mendapatkanku. Entahlah. Tapi kau harus tahu, akulah yang beruntung mendapatkanmu. Kau mungkin merasa tak sempurna di mataku. Tapi kau juga perlu tahu, aku tak pernah merasa sempurna di matamu. Karena itu, aku selalu ingin memberikan yang terbaik untukmu. Kuharap kau juga begitu padaku,” sambungnya

Aku masih belum ingin berkata-kata. Aku suka dia meneruskan sanjungannya.

“Kau tahu, kenapa kita sama-sama menerima untuk saling melengkapi? Karena setiap orang tak pernah merasa sempurna di mata orang lain. Sama juga aku terhadapmu, dan sebaliknya. Di situlah letak keadilan Tuhan, kala tak ada manusia yang merasa sempurna, maka setiap orang merasa wajar menerima kekurangan orang lain,” terangnya.

Sudah saatnya aku bersuara. “Aku tak pernah merasa beruntung mendapatkanmu.” Aku pura-pura menyanggah. “Kau memang jauh dari kata sempurna, bukan aku. Karena itu, kau yang membutuhkanku, tidak sebaliknya. Enak saja!”

“Ya, aku memang tak sempurna. Aku hina, tak rupawan,” tuturnya dengan mimik wajah yang kembali terkesan meledek.

Kami akhirnya tertawa lepas untuk beberapa detik.

“Lalu, bagaimana dengan kejujuran di novel milikmu yang kupinjam melalui Dini. Apa kau ingin menyangkalnya? Jujur sajalah kalau dahulu, kau memang menyukainya,” vonisku lagi.

Dia hanya tertawa pendek mendengar kata-kataku. “Kau kira tulisan itu untuk Dini? Tulisan itu, sejujurnya, pengakuan diam-diamku padamu. Waktu itu, aku malu-malu mengungkapkannya secara langsung padamu. Aku tulislah di lembaran novel itu. Nah, suatu hari, Dini mengambil buku itu dariku tanpa kutahu, lalu memberikannya padamu. Aku tahu, waktu itu, dia mengatakan padamu bahwa buku itu milikku, dan aku ingin kau membacanya. Padahal itu hasil karangannya saja,” balasnya.

Lagi-lagi, aku merasa teristimewa. Tapi itu belum jelas. Aku masih penasaran. “Lalu bagaimana dengan perubahan sikap Dini setelah itu. Dia terlihat makin tertutup. Bukankah itu karena hubungan kita?” tanyaku lagi.

Dia sontak berbalik dan tersenyum kecut padaku. “Aku yang memintanya mencontoh penampilanmu. Aku ingin dia semakin cantik di mata Tuhan, bukan di mata manusia. Kuharap ia bisa mendapatkan jodoh yang baik, tentunya, ya, seperti aku,” tuturnya, tampak sangat percaya diri. “Kau masih cemburu padanya? Kau cemburu dengan iparmu sendiri?”

“Maksudnya,” tanyaku.

“Dini itu saudara tiriku. Kau tak tahu?” tuturnya. “Ah, sudahlah. Semakin kau bicara, semakin jelas kalau kau adalah penggemar beratku sejak dahulu kala.”

Sekarang, aku enggan berkata-kata lagi. Dalam hati, aku merasa telah  mengumbar rahasia batinku tanpa sadar. Sungguh!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar