Adakah
kejujuran saat mengatakan kehidupan ini adil? Nyatanya, kesenjangan terjadi di
mana-mana. Hidup penuh perbandingan. Semua harus tentang menang dan kalah, kaya
dan miskin, cantik dan jelek, dan seterusnya. Jadinya, yang dipandang tak lebih
baik, dianggap lebih rendah. Hina.
Sulit
menemukan jawaban menentramkan, tentang mengapa harus ada perbedaan? Apa
gunanya Tuhan menciptakan kejelekan jika nyatanya kecantikan itu objektif di
mata manusia berdasarkan kriteria tertentu? Bukankah itu adalah akar ketidakadilan?
Jadi, jangan heran jika pertikaian tak pernah berakhir, sebab ketidaksetaraan
terus ada.
Hidup
ini jelas tak adil. Buktinya, tak seorang pun tertarik padaku. Aku jelas tak
rupawan. Jelek! Kurasa, tak ada kualifikasi kecantikan yang kumiliki menurut
pandangan mata manusia. Jadi, bohong jika ada yang mengatakan semua wanita
cantik.
Lalu,
di mana keadilan ketika yang lain diciptakan cantik, sedangkan aku tidak? Hidungku
tak mancung, mataku terlalu sipit, bibirku tak tipis, kulitku juga tak cerah. Jika
dirinci satu per satu, tak ada sedikit pun nilai kecantikan di ragaku, menurut
standar manusia zaman sekarang
Entah
aku bisa masuk ke dalam kategori keelokan apa. Mungkin tak ada. Aku tidaklah
cantik, menarik, manis, apalagi imut. Aku jauh dari kata rupawan. Bukan berarti
aku tak menyukuri keadaanku. Semua vonis itu berdasarkan bukti, bahwa tak
seorang pun tertarik padaku. Bahkan sampai saat ini, tak ada seorang pun yang
sudi sebatas memujiku. Sungguh!
Jujur
saja, baru akhir-akhir ini aku mengutuk keras keadaanku. Bagaimana tidak, sosok
lelaki yang kuidamkan, mengabaikanku tanpa perasaan. Sungguh menyakitkan tentunya,
jika seorang yang diharapkan, malah mencampakkan. Sakitnya makin menjadi-jadi
jika sikap tak acuh sang dambaan, dikarenakan ketertarikannya kepada orang
lain. Karena perbandingan, lagi.
Aku
ceritakan saja kepahitanku.
Pada
suatu hari, aku hendak mengembalikan novel milik lelaki impianku, Dion, secara
langsung,. Sikapku memang terkesan lancang dan terlalu berani. Aku tak akrab
dengannya. Alasannya lagi, novel miliknya itu kupinjam melalui teman dekatnya, yang juga teman dekatku, Dini.
Gadis itulah yang menawarkannya padaku. Karena itu, seharusnya, aku mengembalikan
novel tersebut melalui wanita manis itu juga. Tapi karena hasratku sudah begitu
menyesakkan, waktu itu, kuputuskan untuk memulai pendekatan padanya.
“Permisi,
ini novel punya Kakak yang aku pinjam kemarin. Maaf, aku meminjamnya dari Dini,”
tuturku, mencoba bertutur semenarik mungkin.
Dia
tampak heran dengan sapaanku. Mimiknya penuh kebingungan. Sorot matanya tak
fokus. Gerak-geriknya terlihat mati gaya.
Dia
lalu mengambil dan menyibak lembaran novel itu satu per satu. Setelah itu,
ditutupnya segera. “Ok, baiklah. Dini mana?” tanyanya cepat. Berbasa-basi
denganku sepertinya tak penting menurutnya dibanding bertemu dengan Dini.
Aku
tentu sangat kecewa waktu itu. Tak sedikit pun ia bersikap lebih baik dari
biasanya. Tetap cuek atau mungkin abai. Padahal aku tak terlalu berharap.
Mauku, setidaknya, ia bertanya perihal kesanku terhadap novelnya itu.
“Terima
kasih Kak,” tuturku lagi. Kekalutan membuatku jadi lupa menjawab pertanyaannya.
“Iya,”
balasnya dengan mata yang menyorot ke segala arah, melewatkan bola mataku. “
Aku harus menemui Dini.”
Dia
lalu beranjak pergi. Suasana segera menjadi lengang. Hampa di jiwaku. Waktu membawanya
pergi tanpa ada kesan berarti. Tak sekali pun ia bersikap tegas ke arahku,
apalagi merekahkan senyumnya. Entah dia segan atau memang enggan.
Kepercayaan
diriku, runtuh sejak saat itu. Mulai kubiasakan diri tak menghiraukan
tentangnya. Tak kupermasalahkan lagi jika ia mengabaikanku terus-menerus. Sudah
kurelakan jika ia dekat dan nyaman dengan wanita lain, bersama mereka yang
rupawan, termasuk dengan Dini. Kutahu, wanita itulah yang mampu membuatnya
merasa berharga. Keduanya memang sepasang rupawan. Serasi.
Diam-diam,
aku yakin, mereka berdua, Dion dan Dini, telah memiliki hubungan yang lebih
dari sekadar pertemanan. Aku pastikan itu dari pengakuan tertulis Dion di salah
satu lembaran novelnya yang telah kupinjam tempo hari. Ada goresan puisi di
sana. Kuyakin, gubahnya itu untuk Dini.
Bidadari Tuhan, apa kabarmu?
Jika kau menyibak tirai jendela di pagi
hari ini, aku adalah embun
Diam-diam memata-mataimu sepanjang malam tadi
Jika kau terjaga saat matahari meninggi, aku telah menghilang, berubah jadi awan
Besok-besok, aku akan datang berupa
butir-butir hujan
Memberimu ketenangan, atau menghapus
jejakku sendiri
Puisi
itu tak mungkin untukku.
***
Beruntunglah,
bersamaan ketidakadilan, selalu ada kejutan. Memastikan sesuatu dengan tolok
ukur indra manusia, ternyata tak ada jaminan. Nyatanya, di dunia ini, ketidakmungkinan
adalah sesuatu yang mungkin jika Tuhan menghendaki. Itu persis dengan kisah
kami. Aku tak pernah menduga, dia, Dion, yang bagiku sangatlah tampan, akhirnya
menambatkan hatinya padaku yang tak rupawan
Ketidakyakinanku
sebelumnya, bukan saja karena aku merasa tak layak untuknya, tetapi juga karena
perbandingan sesatku. Aku selalu yakin, dia akan memilih Dini sebagai
pendamping hidupnya. Wanita berwajah indo itu memang tampak lebih cocok
dengannya. Tapi bagaimana ketidakmungkinan ini bisa terjadi?
“Bukankah
dulu sebaiknya kau memilih Dini? Dia lumayan cantik. Kurasa dia juga
menyukaimu?” tanyaku, sambil membelai rambut Jinan, putri kami yang wajahnya
kurasa lebih mirip dengan Dion, suamiku.
Dia
sontak berpaling padaku. Sepertinya ia tak menduga kalau aku akan bertanya
tentang itu. “Kenapa kau berpikir begitu? Memangnya kau benar-benar rela kalau aku
bersama Dini?”
Pertanyaan
baliknya membuatku kalang-kabut sendiri. Tentu terlalu bodoh jika kukatakan kalau
sedari dulu, aku memendam perasaan mendalam padanya. Itu akan membuatnya
semakin besar kepala, sampai aku tak punya harga diri lagi di matanya. “Aku
malah ragu kau tega berpaling dariku sejak dahulu. Apalagi, dia juga tak lebih
dariku. Aku yakin kau masih punya mata untuk melihat siapa yang lebih cantik:
aku!” balasku, sambil menunjuk ke arah wajahku sendiri, berusaha tampak percaya
diri.
“Ya,
kau memang lebih cantik, menarik, manis, imut, atau apalah. Terserah kamu!”
balasnya, dengan mimik yang terkesan meledek.
Aku
tak menghiraukan sikapnya, berusaha menunjukkan sikap protes secara diam.
Berselang,
tiga detik, Dia berbalik dan berucap, “Kaulah wanita tercantik di mata dan
hatiku.” Ekspresinya tampak sungguh-sungguh. Seperti sadar sendiri kalau
ledekannya yang berlalu, tidak pantas dianggap lelucon. “Aku menggantungkan segenap
cinta di dalam sukmaku, bukan pada kerupawanan fisikmu yang lekang oleh
waktu. Aku ingin abadi bersamamu. Karena itu, aku selalu rindu menanti saat
kita dianugerahi keturunan yang akan memadukan dan mengabadikan kita, sampai
tak terhingga generasi. Sejak mengenalmu, aku melihat keluargaku yang bahagia.”
Katung
air mataku tergelitik. Terharu. Aku tak menduga dia handal juga menyanjung.
“Gombal!”
“Terus
terang, aku merasa sangat beruntung memilikimu. Kau tahu, dahulu, aku tak
pernah percaya diri akan bisa meruntuhkan perasaanmu. Kau orang yang serius,
tertutup, dan sulit ditebak. Tipemu waktu itu tak cocok diajak bercanda,
apalagi dipermainkan. Itu sebabnya, aku tak berani memperlakukanku sebagaimana
teman wanita kita yang lain. Aku segan padamu,” tuturnya.
Aku
memandang lekat-lekat matanya, sambil meredam otot pipiku yang memaksa mengembang.
“Kau
mungkin merasa beruntung mendapatkanku. Entahlah. Tapi kau harus tahu, akulah
yang beruntung mendapatkanmu. Kau mungkin merasa tak sempurna di mataku. Tapi
kau juga perlu tahu, aku tak pernah merasa sempurna di matamu. Karena itu, aku
selalu ingin memberikan yang terbaik untukmu. Kuharap kau juga begitu padaku,”
sambungnya.
Aku
masih belum ingin berkata-kata. Aku suka dia meneruskan sanjungannya.
“Kau
tahu, kenapa kita sama-sama menerima untuk saling melengkapi? Karena setiap
orang tak pernah merasa sempurna di mata orang lain. Sama juga aku terhadapmu, dan
sebaliknya. Di situlah letak keadilan Tuhan, kala tak ada manusia yang merasa sempurna,
maka setiap orang merasa wajar menerima kekurangan orang lain,” terangnya.
Sudah
saatnya aku bersuara. “Aku tak pernah merasa beruntung mendapatkanmu.” Aku
pura-pura menyanggah. “Kau memang jauh dari kata sempurna, bukan aku. Karena
itu, kau yang membutuhkanku, tidak sebaliknya. Enak saja!”
“Ya,
aku memang tak sempurna. Aku hina, tak rupawan,” tuturnya dengan mimik wajah yang
kembali terkesan meledek.
Kami
akhirnya tertawa lepas untuk beberapa detik.
“Lalu,
bagaimana dengan kejujuran di novel milikmu yang kupinjam melalui Dini. Apa kau
ingin menyangkalnya? Jujur sajalah kalau dahulu, kau memang menyukainya,”
vonisku lagi.
Dia
hanya tertawa pendek mendengar kata-kataku. “Kau kira tulisan itu untuk Dini? Tulisan
itu, sejujurnya, pengakuan diam-diamku padamu. Waktu itu, aku malu-malu mengungkapkannya
secara langsung padamu. Aku tulislah di lembaran novel itu. Nah, suatu hari,
Dini mengambil buku itu dariku tanpa kutahu, lalu memberikannya padamu. Aku
tahu, waktu itu, dia mengatakan padamu bahwa buku itu milikku, dan aku ingin
kau membacanya. Padahal itu hasil karangannya saja,” balasnya.
Lagi-lagi,
aku merasa teristimewa. Tapi itu belum jelas. Aku masih penasaran. “Lalu
bagaimana dengan perubahan sikap Dini setelah itu. Dia terlihat makin tertutup.
Bukankah itu karena hubungan kita?” tanyaku lagi.
Dia sontak berbalik dan tersenyum kecut padaku. “Aku yang memintanya mencontoh
penampilanmu. Aku ingin dia semakin cantik di mata Tuhan, bukan di mata
manusia. Kuharap ia bisa mendapatkan jodoh yang baik, tentunya, ya, seperti
aku,” tuturnya, tampak sangat percaya diri. “Kau masih cemburu padanya? Kau
cemburu dengan iparmu sendiri?”
“Maksudnya,”
tanyaku.
“Dini
itu saudara tiriku. Kau tak tahu?” tuturnya. “Ah, sudahlah. Semakin kau bicara,
semakin jelas kalau kau adalah penggemar beratku sejak dahulu kala.”
Sekarang,
aku enggan berkata-kata lagi. Dalam hati, aku merasa telah mengumbar rahasia batinku tanpa sadar.
Sungguh!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar