Senin, 27 Juni 2016

Guncangan Dana Desa

Program pembangunan desa menjadi salah satu fokus pemerintah pusat di bawah kendali Presiden Jokowi. Dibentuklah kementerian yang juga fokus mengurusi masalah desa, yaitu Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Pematangan konsep pembangunan desa semakin lengkap pasca disahkannya UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Selain mengatur tentang struktur pemerintahan desa, UU Desa juga melahirkan pos pendapatan desa yang disebut Dana Desa.

Dana Desa berdasarkan Peraturan Menteri Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor  21 Tahun 2015 tentang Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2016 adalah dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diperuntukkan bagi desa yang ditransfer melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/kota dan digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat.

Di tahun 2016, alokasi Dana Desa berjumlah Rp. 46.98 triliun, naik dua kali lipat lebih dari tahun 2015 yang berjumlah 20,7 triliun. Keseluruhan dana tersebut akan disalurkan ke 74.754 desa di 32 Provinsi seluruh Indonesia. Tiga persoalan penting yang menjadi skala prioritas peruntukan Dana Desa adalah pembangunan infrastruktur, pengembangan sarana-prasarana pendidikan dan kesehatan, serta pengembangan kapasitas ekonomi lokal.  

Adanya Dana Desa tentu menjadi sebuah stimulan yang baik bagi pembangunan desa. Apalagi selama ini, terjadi kesenjangan pembangunan anatara desa dan kota yang menyebabkan arus urbanisasi semakin meningkat. Panggunaan Dana Desa secara baik, jelas akan menggairahkan kembali pembangunan di tingkat desa, yang tentu berdampak bagi pembangunan lingkup nasional. Untuk itu, Dana Desa harus dibarengi dengan upaya pengawalan yang baik. Jika tidak, Dana Desa dapat saja menjadi malapetaka.

Dampak Sampingan

Pengadaan Dana Desa untuk keperluan pembangunan desa, tidak lepas dari berbagai masalah. Belakangan, muncul persoalan di tataran masyarakat desa. Rupanya, Dana Desa yang jumlahnya besar, menimbulkan beragam persepsi dari masyarakat desa. Secara umum, sikap masyarakat desa menghadapi Dana Desa dapat berupa keengganan karena kurangnya pengetahuan dan keahlian, ketakutan terjerat sanksi hukum, sampai pada tindakan penyimpangan atau korupsi.

Salah satu masalah pengaplikasian Dana Desa adalah kurangnya pengetahuan dan pengalaman masyarakat desa dalam persoalan sistem administrasi-birokrasi. Tak pelak, banyak timbul masalah dalam penyusunan peraturan desa, rencana pembangunan desa, sampai pada perencanaan dan pelaporan penggunaan Dana Desa. Padahal, efektivitas penggunaan Dana Desa, sangat membutuhkan keahlian terkait administrasi pemerintahan, khususnya tentang persoalan keuangan.

Keahlian masyarakat dalam penguasaan teknologi, juga menjadi persoalan tersendiri. Pelaporan dan pemantauan penggunaan Dana Desa yang menggunakan sistem komputerisasi, jelas menyusahkan bagi masyarakat desa yang selama ini kurang tersentuh dunia teknologi. Imbasnya, perangkat pemerintahan desa menjadi kalang-kabut dalam menindaklanjuti Dana Desa. Di samping itu, masyarakat desa yang gagap teknologi, juga tidak bisa melakukan pemantauan secara memadai terhadap penyaluran dan penggunaan Dana Desa, mengingat sistem informasi, penyaluran, dan pelaporan Dana Desa, serba teknologi.

Persoalan lain pengaplikasian Dana Desa adalah timbulnya ketakutan di tataran masyarakat desa, terutama perangkat pemerintahan desa, terkait penggunaan Dana Desa. Ketakutan itu terkait dengan sanksi hukum yang akan menyertai kesalahan-kesalahan dalam penggunaan Dana Desa. Ketakutan itu semakin menjadi-jadi jika keahlian administrasi dan pengusaan teknologi para perangkat desa masih rendah. Tak mengherankan jika ditemukan fenomena orang desa yang takut mengemban amanah sebagai perangkat desa, akibat takut salah dalam mengaplikasikan Dana Desa.

Bentuk lain penyikapan Dana Desa di tengah masyarakat adalah munculnya aksi penyimpangan yang sengaja dilakukan oleh oknum tertentu. Dana Desa yang jumlahnya fantastis, bahkan diupayakan meningkat dari tahun ke tahun, menjadi “lahan basah” yang menggiurkan bagi orang-orang yang punya nafsu untuk memperoleh keuntungan secara tidak halal dan melawan hukum. Hal ini rentan terjadi jika ada persekongkolan terselubung oknum pemerintah daerah, perangkat desa, dan pihak swasta dalam pengerjaan proyek pembangunan desa. Apalagi, masyarakat desa yang berpendidikan rendah, kurang mengerti administrasi, dan gagap teknologi, jelas tak akan mampu melakukan pengawasan secara baik.

Dari banyak persoalan di atas, jika tidak dilakukan upaya pembenahan dan pengawalan secara optimal, dapat saja berujung pada konflik horizontal. Masyarakat desa yang dulunya hidup damai dalam kesederhanaan dan penuh kegotong-royongan, malah terguncang, bahkan saling bertikai dengan adanya Dana Desa. Sentimen politik pun dapat semakin meruncing, serta persoalan hukum akan menyebar di tataran desa. Bukannya menjadi stimulus pembangunan, Dana Desa dapat menjadi akar masalah yang luas dan pelik jika pengaplikasiannya tak dilakukan secara baik.

Masyarakat Butuh Bimbingan

Pada dasarnya, pengadaan Dana Desa memiliki semangat baik untuk menggenjot pembangunan di tataran desa. Sudah menjadi cita-cita bangsa Indonesia untuk memajukan pembangunan di desa, sehingga kesejahteraan dan keadilan sosial, dapat terwujud. Meski begitu, tujuan baik harus tetap dibarengi dengan konsep pengimplementasian yang baik pula. Maka dari itu, konsep penyaluran Dana Desa yang berskala luas, harus dibarengi dengan pembinaan dan pengawasan yang baik di tataran masyarakat desa.

Masyarakat desa dengan sistem hidup berdasarkan kearifan lokal, jelas akan menghadapi kesulitan dalam menyelenggarakan Dana Desa. Itu dapat terjadi karena sistem yang digunaan masih sarat administrasi-birokrasi, dan berbasis pada teknologi modern. Karena itulah, dalam penyaluran dan penggunaan Dana Desa, masyarakat desa, terutama perangkat pemerintahan desa, harus mendapatkan bimbingan dan pendampingan yang baik. 

Bimbingan harus menyentuh tataran teknis, tidak lagi terkait konsep mengawang-awang, sebagaimana tersebar di dalam peraturan perundang-undangan dan peraturan kebijakan yang begitu banyak. Masyarakat desa yang terbiasa berpikir sederhana dan bertindak efektif, hanya membutuhkan pelatihan teknis. Untuk itu, pembinaan terkait Dana Desa, jangan lagi sekadar seminar, dialog, atau istilah lain yang substansi informasinya, malah menimbulkan kebingungan dan ketakutan bagi masyarakat desa. Bimbingan itu, semisal cara membuat peraturan desa, rencana pembangunan, serta rencana dan pelaporan penggunaan Dana Desa.

Adanya perangkat Pendamping Desa, Pendamping Teknis, dan Tenaga Ahli Pemberdayaan Desa menjadi penting diarahkan untuk memberikan bimbingan teknis kepada masyarakat desa. Perangkat itu, harus memahami masalah dan kebutuhan masyarakat desa secara terperinci, sebagai dasar dalam melakukan fungsi pendampingan, koordinasi, dan pembinaan. Tak kalah pentingnya, perangkat tersebut juga harus mampu memberikan motivasi dan menghilangkan ketakutan masyarakat desa dalam penggunaan Dana Desa. 

Pengaplikasian Dana Desa di tataran masyarakat harus mendahulukan pendekatan kearifan lokal, bukan pendekatan hukum yang kaku. Masyarakat desa yang hidup sentosa, tak boleh ditakut-takuti dengan segala macam sanksi pidana atas penggunaan Dana Desa. Jangan sampailah orang desa yang punya niat baik untuk membangun desanya, menjadi tak bersemangat, bahkan dipaksa mendekam di balik jeruji hanya karena ketidaktahuannya dalam pengaplikasian Dana Desa. Untuk itu, penting ditekankan bahwa ketidaktepatan penggunaan Dana Desa, tak selamanya menjadi kesalahan masyarakat desa. Bisa jadi, itu karena ketidakmampuan pemerintah dalam membangun sistem yang baik, ataukah kegagalan pemerintah dalam membimbing masyarakat desa.

Dana Desa yang bertujuan baik, janganlah menjadi bola panas yang dibiarkan saja bergulir di tengah masyarakat desa, bahkan menjadi bahan bakar yang menyulut konflik horizontal. Jangan sampailah masyarakat desa yang sarat dengan persatuan dan gotong-royong, malah terpecah-belah dengan adanya Dana Desa. Jika pemerintah tidak mampu menjamin bahwa Dana Desa akan disalurkan bersamaan dengan pemberian bimbingan yang memadai, maka sepertinya penting untuk memikirkan ulang bahwa pendanaan desa lebih tepat ditumpukan kembali di tingkat pemerintah daerah.

Rumah Tua

Keadaan telah banyak berubah. Rumah panggung di hadapanku, bukan yang dulu lagi. Hunian pengganti itu, tak lebih baik dari yang digantikan. Kondisinya miring. Berdiri ditopang delapan batang kayu yang mulai digerayangi rayap. Dindingnya yang terbuat dari susunan bambu, juga mulai lapuk dimakan waktu. Seingatku, rupa yang tetap bertahan adalah empat pohon rambutan di setiap sisi rumah. Keempatnya tampak semakin menjulang, melampaui atap yang terbuat dari jerami. 

Dua tahun sudah aku menetap di kota. Berada di tempat yang jauh, bersama kenangan pahit yang tak henti menggerogoti memoriku. Aku sengaja tak kembali untuk waktu yang lama. Aku enggan mengecap kenangan pilu tentang rumah tua, rumah yang telah lenyap, hanyut terseret banjir. Peristiwanya terjadi pada satu malam yang lampau, saat rumah beserta isinya itu, terbawa arus entah ke mana. Dan seiring bergantinya hari, aku dapat kabar bahwa Kakekku, satu-satunya penghuni rumah, tidak ditemukan.

Sekelumit cerita malam itu, jelas membuat rasa bersalah membekas di hatiku sampai saat ini. Aku merasa tak berguna jika teringat lagi sikapku yang tak menjaga Kakek sebagaimana janjiku pada Ibu. Padahal waktu itu, aku tahu, dia sudah tua renta. Jelas tak berdaya melakukan apa-apa kalau petaka terjadi. Dia tak lagi bisa berdiri. Hanya bisa menyeret tubuhnya serupa siput yang lelet. Penglihatan dan pendengarannya pun tak bisa diandalkan. Tapi teganya, tanpa beban, di malam saat kejadian itu, aku meninggalkannya seorang diri.

Yang lebih kusesalkan, pengabaianku pada Kakek kala itu, bukan karena alasan yang patut diterima. Kepergianku bukan untuk persoalan penting dan bermanfaat. Semua dilandasi sikap kekanak-kanakanku yang tak ada untungnya. Sebagaimana yang sering kulakukan, aku meninggalkannya demi kesenanganku sendiri. Aku beranjak ke kota untuk menikmati malam pergantian tahun dengan pesta meriah. Aku punya banyak alasan untuk pergi, sedang dia yang renta, tak punya daya untuk menyelidik.

Atas peristiwa kelam itu, aku memang pantas dikutuk sepanjang waktu. Aku telah melalaikan tanggup jawab yang harusnya kutunaikan dengan baik. Aku tak menjaga Kakek, sebagaimana ia telah memperlakukan aku sepeninggal Ayahku. Padahal, dialah yang menemaniku di saat-saat sepi. Dialah yang menggantikan kasih kedua orang tuaku sepanjang waktu, kala ibuku lebih sering menetap di kota, mengais rezeki sebagai buruh pabrik.

Dan demi berdamai dengan dosa-dosaku, akhirnya aku memberanikan diri untuk kembali ke sini, tepat di titik rumah tua dahulu berdiri. Jelas, aku datang dengan rasa bersalah atas dosa yang telah kuperbuat kepada seisi rumah tua, dahulu. Aku telah berkhianat. Ditambah lagi, sejak kejadian malam itu, aku menghilang begitu saja, tanpa berkabar kepada siapa-siapa. Aku sengaja bersembunyi dari rasa bersalah, sembari melipatgandakan dosa-dosa yang masih kurahasiakan sendiri.

Kupandangi lagi jarum jam tangan yang melingkar di pergelanganku. Sudah jam 8 malam. Hampir setengah jam berlalu, tapi aku cuma duduk di halaman rumah, di bawah pancaran sinar rembulan yang terang. Hanya mengamati sekeliling, sambil mengingat-ingat kepingan masa lalu. Hingga, dengan berat hati, kuseretlah kaki menanjaki anak tangga. Tapi setelahnya, lagi-lagi, aku berhenti di teras depan rumah. Perasaaanku kalut membayangkan betapa geramnya Ibu saat ia tahu, aku, sang pengkhianat, telah kembali tanpa permisi.

Seketika, terbersit lagi keinginanku untuk menghilang, kembali ke kota, membatalkan maksudku untuk mengimpaskan rasa bersalah yang menghantuiku sepanjang waktu. Tapi terlambat. Terlanjur sudah. Keberadaanku akhirnya dirasa juga oleh penghuni rumah. Kudengar, ada detakan kaki di lantai, bergerak mengarah ke pintu, disusul desisan serupa suara pengusir binatang. Degup jantungku pun mengencang mendengar sumber suara semakin mendekat.

Akhirnya, pintu pun berderit.

“Dirto?” tebak Ibu. Seperti tak percaya aku akan kembali. “Dirto!” ulangnya sekali lagi.

“Iya, Bu. Aku Dirto!” balasku.

Ia lalu menggantung pelita pada sebuah pengait yang menjuntai. Dengan seketika, ia memelukku, memandangi wajahku, lalu memelukku lagi. Itu berulang. Ia seakan butuh meyakinkan diri, bahwa akulah yang berada di depannya.

“Ini betul kamu kan, Nak?” Ia terlihat mulai yakin. Senyum bercampur haru, terukir di wajahnya. “Di mana saja kau selama ini, Nak? Siapa yang menyelamatkanmu?”

Sebagaimana dugaanku, selama ini, ia ternyata menganggapku telah tiada. Hilang terbawa arus.

“Sebenarnya, aku…. Aku diselamatkan seseorang di hilir sungai yang jauh di sana, Bu. Ya, seseorang telah menyelamatkan dan merawatku dengan baik. Bersama keluarganyalah aku tinggal sepanjang waktu. Mereka sangat baik, Bu” terangku. Kuduga, itulah penjelasan terbaik untuk sementara waktu.

“Tin,  ada tamu ya? Kenapa tak diajak masuk,” seru suara parau dari dalam rumah. 

Aku tak tahu siapa pemilik suara itu. Tapi kuduga, aku telah memiliki ayah baru.

Dengan agak sungkan, aku melangkahkan kaki melewati gerbang pintu, mengikuti Ibu yang mengarah ke sumber suara. Seiring itu, mataku menyorot ke segala arah, mengamati setiap perubahan yang terjadi. Sampai akhirnya, aku terheran-heran kala melihat sesosok lelaki tua di depanku. Jelas aku mengingatnya. Dia bukan orang baru di rumah ini. Dia adalah kekekku sendiri. Ya, dia!

“Kakek!” seruku, lalu mendekat dan memeluknya erat-erat. Seiring itu, pikiranku mengatakan, untuk sementara, sebaiknya aku bersikap tenang, meski kenyataan ini adalah kejutan luar biasa

“Kamu siapa,” tanyanya, sambil memicingkan mata. Ia berusaha menghimpun berkas cahaya pelita yang temaran untuk menyorot wajahku. 

Aku menggenggam tangannya, lalu kutempatkan di pipiku. “Ini aku, Kek. Cucu Kekek sendiri. Dirto!”

“Apa? Rinto? Rinto Siapa?” tanyanya lagi. Ia tak mendengar jelas kataku.

“Dirto, Pak,” sahut Ibuku dengan cara mengeja yang khas. Ia tahu cara tepat berbicara dengan Kakek.

“Dirto? Cucuku!” serunya. Ia balas memelukku. “Dari mana saja kamu selama ini, Nak? Bukankah kau telah…?

“Aku di kota, Kek,” selaku seketika, “Aku diselamatkan seseorang dari banjir."

Lagi-lagi, telinga Kakek tak menangkap ucapanku dengan baik. Ibu lalu mengeja kata-kataku itu, seperti sebelumnya, dan berhasil.

“Bagaimana Kakek bisa menyelamatkan diri?” tanyaku, sambil menatap wajahnya yang legam dan berkeriput. Aku yakin, ia tak akan mendengarnya. Tapi aku tahu, Ibu akan membantu.

“Dia diselamatkan warga di kecamatan sebelah. Syukurlah, saat malam kejadian, ia terus berpegangan dan mengapung pada balok kayu, sampai akhirnya ia bisa menepi,” jelas Ibu. “Kau tak perlu khawatir. Dia baik-baik saja, walaupun tuli dan rabunnya semakin menjadi-jadi.”

Aku melemparkan senyuman pada Ibu.

“Syukurlah kita bisa berkumpul kembali. Ibu janji tidak akan pergi meninggalkan kalian ke kota dengan alasan apa pun,” sambungnya.

Aku mengangguk penuh haru.

“Di sini, sedari dulu, kami sangat merindukan kehadiranmu, Nak. Kenapa tak kembali dari dulu, Nak?” tanya Ibu, sambil mengusap-usap kepalaku.

“Maafkan aku, Bu. Aku tak tahu harus bagaimana. Ketika kudengar kabar bahwa Kakek terbawa arus bersama seisi rumah, aku yakin, ia tak akan selamat. Aku sungguh merasa bersalah, sebab tak bisa melakukan apa-apa untuk menyelamatkannya. Rasa bersalah itulah yang membuatku enggan untuk pulang, Bu. Tapi, ya, aku memang tak bisa apa-apa waktu itu. Saat itu, aku tengah di kebun untuk menjaga tanaman jagung kita dari babi hutan. Hingga akhirnya arus banjir menyeretku seketika,terangku dengan raut wajah yang memelas.

“Kau tak perlu menyalahkan dirimu, Nak. Aku percaya, kau selalu berusaha menjaga Kakekmu. Tapi aku tahu, saat itu, kau memang tak mungkin bisa membantunya. Aku paham, Nak,” balas Ibu dengan sikap yang penuh pengertian.

Aku bingung harus berucap apa lagi. Semakin aku berucap, kebohonganku semakin menumpuk-numpuk. Akhirnya, aku memilih diam seribu tanya, kemudian memeluk Ibu, juga memeluk Kakek. Kami pun tampak bersatu kembali sebagai keluarga kecil, tapi dengan segala kebohongan yang kututup-tutupi, entah sampai kapan.

Hantu Begal Geng Motor


Aksi sadis kawanan begal geng motor, semakin mendapatkan kecaman dari masyarakat. Tindakan tegas pun diambil pihak kepolisian untuk menumpas kejahatan begal, termasuk mengadakan patrol malam dan penyisiran ke sarang-sarang geng motor. Tujuannya tentu untuk melindungi masyarakat dari kejahatan begal yang jelas merupakan tindak pidana, khususnya berdasarkan Pasal 365 KUHP, terkait pencurian dengan kekerasan.

Tidak tanggung-tanggung, seruan untuk menindak tegas para begal, juga meluncur dari mulut Panglima Kodam III/Siliwangi Mayor Jenderal Hadi Prasojo. Ia menginstruksikan kepada jajarannya agar menembak para begal jika melakukan perlawanan terhadap aparat. Ketegasan itu merupakan buntut dari meninggalnya anggota Kopassus Prajurit Satu Galang Suryawan, di Kota Bandung, Ahad dinihari, 5 Juni 2016. Pelakunya diduga kuat adalah kawanan geng motor.

Baru-baru ini, sikap tegas juga diluntarkan Gubernur Sulawesi Selatan, Syahrul Yasin Limpo. Ia  membangun sistem koordinasi antara pemerintah, Pangdam, dan Kapolda untuk menuntaskan aksi begal, khususnya di Kota Makassar. Bahkan, ia melontarkan keinginannya agar kawanan begal ditumpas habis. Keresahan itu akhirnya dijawab Panglima Kodam (Pangdam) VII Wirabuana, Agus Surya Bakti dengan kesiapan untuk membantu Kapolda, bahkan siap menurunkan prajuritnya jika dibutuhkan.

Tegas, Jangan Kebablasan

Tindakan tegas, bahkan “keras”, kepada begal geng motor, tentu merupakan angin segar bagi masyarakat yang selama ini dihantui hantu geng motor. Namun di samping itu, perlu dipastikan bahwa pemberantasan begal, tetap sesuai prosedur. Hal ini penting untuk memberikan jaminan bahwa upaya penegakan hukum tidak dilakukan secara membabi buta, hingga menimbulkan masalah baru. Jangan sampai penuntasan begal geng motor malah menjadi hantu baru bagi masyarakat, akibat khawatir menjadi objek salah sasaran.

Di sisi lain, mengingat persoalan begal geng motor menyangkut keamanan dan ketertiban masyarakat, pemberantasannya harus menjadi tanggung jawab utama aparat kepolisian. Kehadiran prajurit TNI,  harus dianggap sebagai penyokong, dan tetap di bawah koordinasi pihak kepolisian. Pentingnya penempatan kekuatan itu sesuai fungsinya, tidak lain untuk menjaga wibawa negara, khususnya untuk mengembalikan muruah lembaga penegak hukum, kepolisian. Jika daya dan upaya institusi kepolisian dikerahkan secara baik, maka penuntasan begal bukanlah persoalan besar. Langkah taktis itu tentu membutuhkan instruksi secara kelembagaan, sebagaimana terjadi di tubuh TNI.

Penumpasan begal geng motor secara tidak terkoordinasi dan tak sesuai prosedur, malah akan membuat keadaan semakin runyam. Selain akan membuat pelaksanaannya tidak berjalan efektif dan efisien, perlawanan terhadap geng motor secara berlebihan, bisa jadi penanda bahwa aparat kepolisian telah kalah. Di sisi lain, kenyataan itu dapat menjadi kebanggaan bagi para oknum begal geng motor, sebab merasa telah berhasil mengganggu ketertiban masyarakat, bahkan mengancam pertahanan negara. Intinya, ketegasan dalam pemberantasan geng motor tetaplah diperlukan, tetapi jangan sampai kebablasan. 

Hindari Pengadilan Jalanan

Sikap main hakim sendiri terhadap pelaku pembegalan yang saring terjadi, tidak lain sebagai wujud rasa kesal dan amarah masyarakat. Pelampiasan itu, sangat sulit dihindari seiring menumpuknya kegusaran masyarakat terhadap pelaku begal. Tidak sedikit pelaku begal dimassa masyarakat sampai luka berat, bahkan meregang nyawa. Kejadian itu bahkan sering dipertontonkan, sampai menggugah kemirisan kita, betapa rasa kemanusiaan sedikit demi sedikit terkikis karena dendam yang menumpuk. 

Melawan pelanggaran hukum dengan cara-cara yang melanggar hukum, seperti pengadilan jalanan, jelas tindakan yang salah. Meski di satu sisi, tindakan begal meresahkan masyarakat dan melanggar hukum, namun mengeroyok pelaku begal juga adalah pelanggaran hukum yang diancam pidana sesuai Pasal 351 KUHP tentang pengeroyokan. Jika tidak dilakukan pencegahan terhadap tindakan main hakim sendiri, jelas akan membuat hukum terus terpojok dan diabaikan.

Tidak ada cara efektif untuk menghindari pengadilan jalanan, selain dengan mewujudkan kembali penegakan hukum yang gagah dan berwibawa. Penegakan hukum harus dilakukan secara konprehensif, dengan menggunakan upaya pencegahan dan penindakan secara tepat. Jika aparat kepolisian yang bertanggung jawab atas keamanan dan ketertiban masyarakat melaksanakan tugasnya dengan baik, maka pengadilan jalanan tak akan terjadi.

Penegakan hukum terhadap pelaku begal geng motor, harus juga berlaku bagi pelaku pengeroyokan terduga begal, bahkan kepada aparat yang melakukan penegakan hukum yang tidak sesuai prosedur. Hukum harus tegas kepada siapa pun, sesuai kesalahannya. Hal ini penting sebab penegakan hukum tak seharusnya tak sebatas pemberantasan aksi begal, tetapi juga untuk menjaga sisi kemanusiaan setiap orang agar tidak luntur akibat dendam pada hantu begal geng motor. 

Memelihara Generasi Muda

Pelaku begal geng motor kebanyakan masih kategori usia pemuda bahkan remaja. Kenyataan ini tentu memiriskan, mengingat di tangan generasi mudalah, kejayaan bangsa ditumpukan. Untuk itu, memandang masalah ini dari sisi lain, bahwa pelaku begal, juga merupakan korban dari kerasnya hidup di zaman modern, juga perlu dipertimbangkan. Perspektif ini perlu digunakan, agar pemberantasan begal, tidak lagi fokus sekadar pada pemberian efek jera kepada pelaku begal yang nota bene pemuda dan remaja, tetapi juga mengutamakan upaya pencegahan.

Upaya memelihara generasi muda, menjadi penting untuk segera dilakukan. Memelihara berarti melindungi dari melakukan tindakan negatif, semisal terlibat dalam aksi pembegalan. Upaya melindungi berarti menghindarkan generasi muda dari kungkungan lingkungan yang memaksa, atau setidaknya, memberi sugesti kepada mereka untuk melakukan aksi pembegalan. Ruang lingkup perlindungan ini misalnya memberantas penyalahgunaan miras dan narkotika, juga pergaulan bebas.

Melindungi generasi muda dari tayangan-tayangan yang mempertontonkan contoh yang tak baik, juga perlu dilakukan. Sinetron Anak Jalanan yang belakangan tenar di tengah masyarakat, misalnya. Jelas, sinetron ini ditujukan untuk menyasar para penonton berusia muda dengan mempertontonkan adegan yang dianggap “keren” bagi ukuran anak labil. Imbasnya, usia remaja dan pemuda yang masih pada tahap pencarian jati diri, terpengaruh. Anggapan ini sejalan dengan keluarnya teguran kedua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) terhadap tayangan sinetron itu tanggal 12 Februari 2016, setelah terguran pertama 11 Januari 2016. Alasannya, sinetron  tersebut memuat adegan pekelahian dan pengeroyokan oleh geng motor, balap-balapan di jalan raya, penggunaan kata-kata kasar, sampai adegan berciuman pipi antarlawan jenis. 

Di sisi lain, upaya memelihara generasi muda juga berarti mewadahi, yaitu menyediakan lingkungan yang baik agar mereka disibukkan dengan kegiatan-kegiatan positif. Larut dalam kegiatan positif, akan membuat para generasi muda tak berpikir untuk melakukan tindakan yang bersifat negatif. Aktualisasi diri, dapat mereka lakukan secara baik dan positif. Bentuk nyata dari mewadahi generasi muda adalah menyediakan lingkungan kreativitas, baik di lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat. Wujudnya dapat dengan mengadakan kegiatan keagamaan, olahraga, dan seni secara semarak dan berkelanjutan.